33. Perhatian

2.9K 112 2
                                    

Hai semuanya! Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca cerita ini.

Jangan lupa untuk mengikuti akun saya dan vote cerita ini jika kalian menikmatinya.

Love you all!

HAPPY READING

Helena terjatuh dengan dramatis, air mata mengalir deras di pipinya. Adrian, yang melihat adegan itu, langsung bergegas menghampiri Helena dan membantunya berdiri.

"Lady Helena, ada apa?" tanya Adrian dengan nada khawatir, memeluk Helena erat.

Helena menunjuk Clarissa dengan jari gemetar, isakannya memenuhi aula yang hening. "Dia... dia baru saja merendahkanku, Adrian," ucapnya terbata-bata. "Dia bilang aku pencuri dan penipu!"

Mata Adrian membelalak, amarah membuncah dalam dirinya. Dia berbalik menatap Clarissa dengan tatapan tajam, seakan-akan ingin membunuhnya.

"Clarissa!" bentak Adrian, suaranya menggelegar di seluruh aula. "Bagaimana bisa kau begitu kejam pada Helena? Dia wanita yang lemah lembut dan tidak pernah menyakiti siapa pun!"

Clarissa tercengang. Dia tidak menyangka Adrian akan langsung menuduhnya tanpa mencari tahu kebenarannya terlebih dahulu. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, tapi dia berusaha keras untuk tetap tegar.

"Adrian, aku tidak melakukan apa pun!" bantah Clarissa dengan suara bergetar. "Helena berbohong!"

"Berbohong?" Adrian mendengus sinis. "Kau pikir aku bodoh, Clarissa? Aku melihat sendiri bagaimana kau memperlakukan Helena. Kau selalu iri padanya, selalu berusaha menjatuhkannya."

"Adrian, tolong dengarkan aku," pinta Clarissa dengan suara lirih, air mata mengalir deras di pipinya. "Aku tidak bersalah. Helena yang memulai semuanya."

Adrian melepaskan pelukannya dari Helena, namun tatapannya pada Clarissa tetap dingin dan penuh penghinaan. "Cukup, Clarissa!" serunya dengan nada tajam, "Aku muak dengan dramamu. Kau selalu mencari perhatian, selalu berusaha membuat semua orang kasihan padamu."

Clarissa terhuyung mundur, seolah-olah ditampar oleh kata-kata Adrian yang kejam. Dia tidak menyangka Adrian akan begitu mudah mempercayai Helena dan menuduhnya tanpa bukti.

"Adrian, aku mohon, percayalah padaku," pinta Clarissa lagi, suaranya bergetar karena menahan tangis. "Aku tidak pernah berbohong padamu tentang hal ini."

Adrian mendecih, "Percaya padamu? Setelah semua kebohongan yang kau ucapkan padaku? Kau pikir aku bodoh, Clarissa?"

Clarissa merasa hatinya hancur berkeping-keping. Dia tidak menyangka Adrian akan begitu kejam padanya. Dia merasa tidak berharga dan tidak dicintai.

"Adrian, aku..." Clarissa mencoba menjelaskan, tapi suaranya tercekat di tenggorokan.

"Sudahlah, Clarissa," potong Adrian dengan nada lelah. "Aku tidak ingin berdebat denganmu lagi. Aku sudah muak dengan semua dramamu."

Adrian berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Clarissa yang terpaku di tempatnya. Clarissa merasa seperti telah kehilangan segalanya. Dia kehilangan cinta Adrian, kepercayaan Adrian, dan bahkan harga dirinya sendiri.

"Kenapa, Adrian?" bisik Clarissa lirih, air matanya terus mengalir. "Kenapa kau tidak percaya padaku? Apa aku tidak pernah berarti apa-apa bagimu?"

Clarissa merasa seperti ditampar oleh kata-kata Adrian. Dia tidak menyangka Adrian akan begitu mudah mempercayai Helena dan tidak mau mendengarkan penjelasannya. Dia merasa tidak berharga dan tidak dicintai.

"Aku sudah berusaha menjadi istri yang baik untukmu, Adrian," bisik Clarissa dalam hati. "Aku sudah berusaha membuatmu bahagia. Tapi apa yang aku dapatkan? Hanya pengkhianatan dan penghinaan."

Clarissa duduk di bangku taman istana, berusaha keras menahan air mata yang terus mengalir. Bayangan Adrian yang memeluk Helena dengan lembut masih terngiang di benaknya, menusuk hatinya yang sudah terluka. Dia merasa begitu bodoh karena pernah berharap Adrian akan berubah.

"Nyonya..." suara Mary terdengar lirih, penuh kekhawatiran.

Clarissa tidak menjawab, hanya menggelengkan kepalanya pelan. Dia tidak ingin Mary melihatnya dalam keadaan lemah seperti ini. Dia harus kuat, demi dirinya sendiri dan demi butiknya.

Tiba-tiba, sebuah bayangan jatuh di atas Clarissa. Dia mendongak dan melihat seorang pria tampan dengan rambut pirang keemasan berdiri di hadapannya. Pria itu mengenakan seragam militer yang gagah, dengan pedang tersampir di pinggangnya. Wajahnya yang tampan dihiasi dengan senyum hangat.

"Sepertinya Anda membutuhkan ini, Nyonya," kata pria itu, sambil mengulurkan sapu tangan putih bersih ke arah Clarissa.

Mary, yang berdiri di samping Clarissa, langsung mengenali pria itu. Dia membungkuk hormat, "Yang Mulia Putra Mahkota."

Clarissa terkejut. Dia tidak menyangka Putra Mahkota Edward akan berada di taman istana pada jam seperti ini. Dia menerima sapu tangan itu dengan ragu-ragu, lalu mengusap air matanya dengan lembut.

"Terima kasih, Yang Mulia," ucap Clarissa dengan suara serak.

Edward tersenyum ramah. "Tidak perlu sungkan, Nyonya Duchess. Saya hanya ingin membantu."

Clarissa menatap Edward dengan tatapan penuh tanya. Dia tidak mengerti mengapa Putra Mahkota begitu baik padanya, padahal dia baru saja dipermalukan di depan umum.

"Anda tidak perlu memaksakan diri untuk tersenyum, Nyonya Duchess," kata Edward, seolah-olah bisa membaca pikiran Clarissa. "Saya tahu Anda sedang sedih."

Clarissa tertegun. Dia tidak menyangka Edward akan begitu peka terhadap perasaannya.

"Terima kasih, Yang Mulia," ucap Clarissa lagi, kali ini dengan tulus.

Edward duduk di samping bangku Clarissa. "Bolehkah saya menemani Anda sebentar, Nyonya Duchess?" tanyanya dengan sopan.

Clarissa mengangguk, merasa nyaman dengan kehadiran Edward. Mereka berdua duduk dalam diam selama beberapa saat, menikmati keindahan taman istana.

"Saya mendengar tentang apa yang terjadi di peragaan busana tadi," kata Edward akhirnya, memecah keheningan. "Saya turut prihatin atas apa yang Anda alami, Nyonya Duchess."

Clarissa tersenyum tipis. "Terima kasih, Yang Mulia. Saya tidak menyangka Anda akan peduli."

Edward menatap Clarissa dengan tatapan lembut. "Anda adalah wanita yang kuat dan berbakat, Nyonya Duchess. Jangan biarkan siapa pun menjatuhkan Anda."

Kata-kata Edward seperti balsam yang menenangkan hati Clarissa yang terluka. 

Second Life  Villain's |END|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang