37. Kemarahan

3.7K 120 2
                                    

Hai semuanya! Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca cerita ini.

Jangan lupa untuk mengikuti akun saya dan vote cerita ini jika kalian menikmatinya.

Love you all!

HAPPY READING

"Jangan sentuh aku!" Clarissa menepis tangan Adrian dengan kasar, matanya berkobar dengan api kemarahan. Dia mundur selangkah, menjaga jarak dari Adrian yang masih memegangi lengan Helena. 

Suasana di gang sempit itu terasa mencekam, hanya ada suara napas mereka yang memburu.

Adrian tercengang oleh reaksi Clarissa yang tidak terduga. Dia tidak pernah melihat Clarissa semarah ini sebelumnya. "Clarissa, ada apa denganmu?" tanyanya dengan nada bingung.

"Kau yang seharusnya bertanya pada dirimu sendiri, Adrian!" Clarissa membalas dengan suara tajam. "Kau munafik! Kau menuduhku dekat dengan pria lain, tapi kau sendiri berselingkuh dengan Helena!"

Adrian terdiam, tidak bisa membantah tuduhan Clarissa. Dia memang masih bertemu dengan Helena secara diam-diam, tapi dia tidak bisa mengakui hal itu di depan Clarissa.

"Helena hanya masa laluku, Clarissa," jawab Adrian akhirnya, suaranya terdengar lemah. "Aku sudah memilihmu."

Clarissa tertawa sinis, "Masa lalu? Kau pikir aku bodoh, Adrian? Kau masih menemuinya diam-diam! Kau pikir aku tidak tahu?"

Air mata mulai mengalir di pipi Clarissa, namun dia segera menghapusnya dengan kasar. Dia tidak ingin terlihat lemah di depan Adrian.

"Aku melihatmu tadi malam, Adrian," lanjut Clarissa dengan suara bergetar. "Kau pergi ke rumahnya. Kalian menghabiskan waktu bersama hingga larut malam. Kau pikir aku tidak tahu?"

Adrian terdiam, tidak bisa berkata-kata. Dia tidak menyangka Clarissa akan mengetahui perselingkuhannya dengan Helena. Dia merasa terpojok dan malu.

"Clarissa, aku bisa jelaskan," kata Adrian dengan suara lirih.

"Jelaskan apa, Adrian?" potong Clarissa dengan nada sinis. "Bahwa kau masih mencintai Helena? Bahwa kau tidak pernah mencintaiku?"

Adrian menundukkan kepalanya, tidak berani menatap mata Clarissa. Dia tahu dia telah menyakiti Clarissa, tapi dia tidak bisa melepaskan Helena.

Clarissa menarik napas dalam-dalam, berusaha meredakan gejolak emosi yang menguasai dirinya. Dia menatap Adrian dengan mata berkaca-kaca, namun tatapannya tajam dan penuh luka.

"Kau pikir aku buta, Adrian?" suaranya bergetar, namun setiap kata yang keluar dari bibirnya terasa seperti belati yang menusuk jantung Adrian. 

"Kau pikir aku tidak bisa melihat bagaimana kau memandangnya? Kau pikir aku tidak merasakan sakit setiap kali kau menyentuhnya?"

Adrian terdiam, terpaku oleh kata-kata Clarissa yang begitu jujur dan menyakitkan. Dia tidak bisa menyangkal kebenaran dalam setiap ucapan Clarissa.

"Clarissa, aku..." Adrian mencoba menjelaskan, namun suaranya tercekat di tenggorokan.

"Jangan coba-coba membela diri, Adrian!" potong Clarissa dengan suara lantang, air matanya kini mengalir deras. "Kau sudah menyakitiku terlalu banyak. Aku tidak bisa lagi hidup dalam kebohongan ini!"

Clarissa melangkah mundur, menjauh dari Adrian. Dadanya naik turun dengan cepat, menahan isak tangis yang ingin keluar.

"Kau tahu, Adrian," lanjutnya, suaranya bergetar, "setiap kali kau menyentuh Helena, aku merasa seperti ada ribuan jarum yang menusuk hatiku. Setiap kali kau memujinya, aku merasa seperti diriku tidak berharga. Dan setiap kali kau berbohong padaku, aku merasa seperti kau sedang membunuhku perlahan-lahan."

Adrian hanya bisa diam, tidak mampu berkata-kata. Dia tidak pernah menyadari betapa besar luka yang dia torehkan di hati Clarissa. Dia merasa seperti monster yang telah menghancurkan wanita yang dicintainya.

"Aku sudah berusaha menjadi istri yang baik untukmu, Adrian," lanjut Clarissa, suaranya semakin lirih. "Aku sudah berusaha membuatmu bahagia. Tapi apa yang aku dapatkan? Hanya pengkhianatan dan penghinaan."

Clarissa menghapus air matanya dengan kasar. "Aku tidak bisa lagi hidup seperti ini, Adrian," ucapnya dengan suara tegas. "Aku tidak bisa terus-menerus disakiti olehmu."

Adrian ingin meraih tangan Clarissa, ingin memeluknya dan meminta maaf, tapi dia tahu dia tidak pantas mendapatkannya. Dia telah menyakiti Clarissa terlalu dalam.

Clarissa berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Adrian yang berdiri terpaku di tempatnya. Dia merasa kosong dan hampa, seperti kehilangan bagian dari dirinya sendiri.

Adrian melangkah keluar dari ruang makan dengan langkah berat, amarah membara di dadanya. Kata-kata Clarissa terus terngiang di telinganya, menusuk hatinya yang terluka. Dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa Clarissa telah mengetahui perselingkuhannya dengan Helena.

"Wanita itu berani sekali menuduhku!" geram Adrian dalam hati, rahangnya mengeras. "Dia pikir dia siapa? Dia tidak berhak menghakimiku."

Adrian melangkah menuju halaman belakang istana, di mana terdapat sebuah arena latihan pedang. Dia mengambil pedang latihan dari rak senjata, lalu melemparkannya ke arah tiga pengawalnya yang sedang berjaga.

"Lawan aku!" perintah Adrian dengan suara lantang.

Para pengawal saling berpandangan dengan cemas. Mereka tahu kemarahan Adrian sedang memuncak, dan mereka tidak ingin menjadi sasaran kemarahannya. Namun, mereka juga tidak bisa menolak perintah tuannya.

Mereka bertiga maju dengan ragu-ragu, menghunus pedang mereka. Adrian menyerang mereka dengan membabi buta, seolah-olah mereka adalah musuh bebuyutannya.

"Serang aku dengan sungguh-sungguh!" teriak Adrian, matanya menyala-nyala. "Jangan main-main!"

Para pengawal terpaksa meningkatkan intensitas serangan mereka, tapi mereka tetap berusaha untuk tidak melukai Adrian. Namun, Adrian terlalu kuat dan cepat. Dia berhasil melukai salah satu pengawal di lengannya.

"Akh!" teriak pengawal itu kesakitan.

Adrian berhenti sejenak, menatap pengawal yang terluka dengan tatapan dingin. "Jangan lemah!" bentaknya. "Bangkit dan lawan aku lagi!"

Pengawal itu bangkit dengan susah payah, lalu kembali menyerang Adrian. Namun, dia tidak bisa menandingi kekuatan dan kecepatan Adrian. Adrian dengan mudah menangkis serangannya dan melukai lengan kanannya lagi.

Kali ini, luka itu cukup parah. Darah mengalir deras dari lengan Adrian. Para pengawal yang lain segera menghentikan latihan dan membawa Adrian masuk ke dalam istana untuk mendapatkan pertolongan.

Adrian meringis kesakitan saat lukanya dibersihkan dan dibalut. Dia tidak peduli dengan lukanya, pikirannya masih dipenuhi oleh Clarissa.

"Kenapa dia harus begitu peduli pada Edward?" gumam Adrian dalam hati. "Dia bahkan tidak pernah tersenyum padaku seperti itu."

Adrian teringat akan senyum manis Clarissa saat berbicara dengan Edward. Senyum itu begitu tulus dan hangat, membuat hati Adrian berdesir.

"Aku hanya ingin senyuman itu untukku," pikir Adrian dengan getir. "Aku hanya ingin dia melihatku, bukan Edward."

Second Life  Villain's |END|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang