Hai semuanya! Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca cerita ini.
Jangan lupa untuk mengikuti akun saya dan vote cerita ini jika kalian menikmatinya.
Love you all!
HAPPY READING
..........
Mentari sore mengintip malu-malu dari balik tirai beludru di ruang kerja Clarissa. Cahayanya yang lembut membias di atas lembaran sketsa gaun yang berserakan di atas meja.
Clarissa, dengan mata berbinar dan senyuman tipis, tampak asyik mencoretkan pensilnya, menuangkan ide-ide brilian yang memenuhi benaknya.
"Mary," panggilnya dengan suara riang, "kemarilah sebentar."
Mary, yang sedang sibuk merapikan tumpukan buku di rak, segera menghampiri majikannya. "Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?"
Clarissa menepuk-nepuk kursi di sampingnya, mempersilakan Mary untuk duduk. "Aku punya ide bisnis baru," ucapnya dengan antusiasme yang menular. "Dan aku butuh bantuanmu untuk mewujudkannya."
Mary mengerjap, sedikit terkejut. "Bisnis baru, Nyonya? Bisnis apa?"
Clarissa menyeringai, matanya berkilat penuh tekad. "Aku akan membuka toko tekstil sendiri."
Mary terkesiap, tangannya menutup mulutnya yang terbuka. "Toko tekstil, Nyonya? Tapi bukankah Lady Helena sudah memiliki butik yang sangat terkenal?"
Clarissa mengangguk, senyumnya semakin lebar. "Justru itu. Aku akan menunjukkan padanya bagaimana seharusnya menjalankan bisnis yang benar."
Mary menatap Clarissa dengan kagum. Dia tahu majikannya adalah wanita yang cerdas dan berbakat, tapi dia tidak menyangka Clarissa akan mengambil langkah berani seperti ini.
"Tapi, Nyonya," Mary ragu-ragu, "bukankah itu akan membuat Lady Helena marah?"
Clarissa tertawa kecil. "Tentu saja dia akan marah, Mary. Tapi aku tidak takut padanya. Aku akan mengalahkannya dengan caraku sendiri, dengan cara yang elegan dan berkelas."
Di tengah hiruk-pikuk itu, sebuah bangunan baru berdiri dengan megah, menarik perhatian setiap pasang mata yang melewatinya.
"La Maison de Clarissa," tertulis dengan huruf elegan di atas pintu masuk butik yang baru saja dibuka. Jendela-jendela besar menampilkan kain-kain mewah dalam berbagai warna dan tekstur, menggoda siapa pun yang melihatnya untuk masuk dan menjelajahi lebih jauh.
Di dalam butik, Clarissa berdiri dengan bangga di tengah-tengah ruangan yang dipenuhi rak-rak kain dan meja-meja kerja. Dia mengenakan gaun sutra berwarna biru langit yang serasi dengan matanya yang jernih. Senyum manis menghiasi wajahnya, menyambut para tamu yang mulai berdatangan.
"Selamat datang di La Maison de Clarissa," sapa Clarissa dengan anggun. "Silakan melihat-lihat koleksi kain kami. Saya yakin Anda akan menemukan sesuatu yang sesuai dengan selera Anda."
Para tamu, yang sebagian besar adalah bangsawan dan sosialita terkemuka, terpesona oleh keindahan butik dan keramahan Clarissa. Mereka berkeliling dengan antusias, menyentuh dan mengagumi kain-kain yang dipamerkan.
"Astaga, kain-kain ini sungguh indah!" seru seorang wanita bangsawan sambil mengelus kain sutra yang lembut. "Dan harganya jauh lebih terjangkau daripada butik Helena."
"Benar sekali," timpal wanita lain. "Saya tidak sabar untuk membuat gaun baru dari kain ini."
Clarissa tersenyum puas mendengar pujian para tamu. Dia telah bekerja keras untuk mewujudkan impiannya membuka butik tekstil sendiri, dan dia senang melihat usahanya membuahkan hasil.
"Nyonya Duchess," seorang pria bangsawan menghampiri Clarissa dengan senyum ramah. "Saya harus mengakui, butik Anda sangat mengesankan. Kain-kainnya berkualitas tinggi, harganya terjangkau, dan pelayanannya sangat baik."
Clarissa membalas senyumannya. "Terima kasih, Tuan Baron. Saya senang Anda menyukainya."
"Saya yakin butik Anda akan sukses besar," kata Baron. "Saya akan merekomendasikannya kepada semua teman dan kenalan saya."
Clarissa mengangguk dengan penuh syukur. Dia tahu bahwa dukungan dari para bangsawan sangat penting untuk kesuksesan butiknya.
Berita tentang La Maison de Clarissa dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru kota. Para bangsawan dan masyarakat umum berbondong-bondong datang untuk melihat koleksi kain-kain indah yang ditawarkan. Butik Clarissa menjadi tempat yang wajib dikunjungi bagi siapa pun yang ingin tampil modis dan elegan.
Sementara itu, di butik Helena, suasana sangat berbeda. Helena mondar-mandir dengan gelisah, wajahnya pucat pasi. Dia baru saja menerima laporan bahwa penjualan butiknya menurun drastis sejak pembukaan La Maison de Clarissa.
"Bagaimana mungkin ini terjadi?" racau Helena dengan marah. "Clarissa telah mencuri semua pelangganku!"
"Tidak mungkin!" serunya frustasi, melempar vas bunga ke lantai hingga pecah berkeping-keping. "Bagaimana bisa Clarissa merebut semua pelangganku begitu cepat?!"
Pelayan-pelayannya menundukkan kepala, takut menjadi sasaran amukan Helena selanjutnya. Mereka tahu betul betapa temperamentalnya sang majikan.
"Aku tidak akan membiarkan dia menang!" Helena berteriak, matanya menyala-nyala. "Aku akan menghancurkan butiknya, apa pun caranya!"
Helena segera menyusun rencana jahat. Dia menyuap beberapa preman untuk merusak butik Clarissa dan mengintimidasi para pelanggannya. Namun, rencana itu gagal total. Clarissa telah mengantisipasi tindakan Helena dan menyewa pengawal pribadi untuk menjaga butiknya.
Helena semakin putus asa. Dia merasa dunianya runtuh. Dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa dia telah dikalahkan oleh Clarissa, wanita yang selama ini dia anggap remeh.
Dalam keputusasaannya, Helena mendatangi ayahnya, Marquis de Winter, untuk meminta bantuan. Namun, respons yang dia terima justru membuatnya semakin hancur.
"Ayah, tolong aku!" Helena memohon, air mata mengalir di pipinya. "Clarissa telah menghancurkan bisnisku! Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi."
Marquis de Winter menatap putrinya dengan tatapan dingin dan penuh kekecewaan. "Helena, sudah berapa kali aku katakan padamu untuk tidak meremehkan Clarissa? Dia bukan wanita lemah yang bisa kau injak-injak seenaknya."
"Tapi, Ayah..." Helena terisak, "Dia telah merebut semua pelangganku! Dia telah menghancurkan hidupku!"
Marquis de Winter menghela napas panjang. "Itu semua salahmu sendiri, Helena. Kau terlalu sombong dan angkuh. Kau pikir kau bisa melakukan apa saja tanpa konsekuensi."
Helena menatap ayahnya dengan mata terbelalak. Dia tidak percaya ayahnya menyalahkannya atas semua ini.
"Ayah, bagaimana bisa Ayah berkata seperti itu? Aku putrimu satu-satunya!"
Marquis de Winter berdiri, wajahnya mengeras. "Kau memang putriku, tapi kau juga telah mempermalukan keluarga ini. Kau telah membuatku malu di depan para bangsawan lain."
Helena mundur selangkah, ketakutan melihat kemarahan ayahnya. Dia belum pernah melihat ayahnya semarah ini sebelumnya.
"Ayah, aku minta maaf," Helena memohon, suaranya bergetar. "Aku akan melakukan apa saja untuk memperbaiki kesalahanku."
Marquis de Winter mendekati Helena, lalu menamparnya dengan keras. "Kau tidak bisa memperbaiki apa pun, Helena. Kau sudah terlambat. Clarissa telah memenangkan pertempuran ini, dan kau telah kalah."
Helena terjatuh ke lantai, pipinya terasa panas dan perih. Dia menangis tersedu-sedu, merasa hidupnya hancur berkeping-keping.
"Pergilah dari sini, Helena," kata Marquis de Winter dengan suara dingin. "Aku tidak ingin melihatmu lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Life Villain's |END|
RomanceClarissa, Duchess of Avalon, terbangun dari mimpi buruk eksekusinya, hanya untuk menemukan dirinya kembali ke hari pernikahannya dengan Duke Adrian. Dulu, dia sangat mencintainya, meski Adrian pria yang dingin dan membencinya. Namun, dengan kesempat...