44. Pengungkapan Dramatis

2.8K 94 3
                                    

Hai semuanya! Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca cerita ini.

Jangan lupa untuk mengikuti akun saya dan vote cerita ini jika kalian menikmatinya.

Love you all!

HAPPY READING

Mentari pagi bersinar cerah, namun tak mampu menembus kegelapan hati Helena. Dia bergegas menuju butik Clarissa, La Maison de Clarissa, dengan langkah tergesa-gesa dan wajah pucat pasi. Di depan butik, ia melihat Adrian sedang menggandeng tangan Clarissa, membantu istrinya turun dari kereta kuda. Pemandangan itu seperti belati yang menusuk jantungnya.

"Adrian!" seru Helena, suaranya bergetar karena emosi yang meluap-luap. Dia berlari menghampiri mereka berdua, air mata sudah mengalir deras di pipinya.

Adrian dan Clarissa menoleh, terkejut melihat Helena dalam keadaan seperti itu. Clarissa mengerutkan kening, merasakan firasat buruk.

"Helena, ada apa?" tanya Adrian dengan nada khawatir.

Helena menatap Adrian dengan mata berkaca-kaca, lalu beralih pada Clarissa dengan tatapan penuh kebencian. "Aku... aku harus bicara denganmu, Adrian," ucapnya terbata-bata. "Ini sangat penting."

Clarissa merasakan jantungnya berdebar kencang. Dia tahu Helena tidak akan datang tanpa alasan yang kuat.

"Apa yang ingin kau bicarakan, Helena?" tanya Adrian, nada suaranya terdengar dingin dan tidak sabar.

Helena menarik napas dalam-dalam, lalu dengan suara tercekat berkata, "Aku... aku hamil, Adrian. Dan kau... kau adalah ayahnya."

Kata-kata Helena bagaikan petir di siang bolong bagi Clarissa. Dia terpaku di tempatnya, tangannya yang menggenggam tangan Adrian tanpa sadar terlepas. Rasanya seperti ada tangan tak kasat mata yang meremas jantungnya, membuatnya sulit bernapas.

Adrian pun terkejut bukan main. Dia melepaskan tangan Clarissa dan mundur selangkah, menatap Helena dengan tatapan tidak percaya. "Apa? Bagaimana mungkin?"

Helena mengangguk lemah, air matanya semakin deras. "Ini benar, Adrian. Aku tidak berbohong. Aku mengandung anakmu."

"Kau berbohong, Helena!" Clarissa akhirnya bersuara, suaranya bergetar menahan amarah. "Kau tidak mungkin mengandung anak Adrian!"

Helena menatap Clarissa dengan tatapan tajam, kebencian terpancar jelas dari matanya. "Diam kau, Clarissa!" bentaknya. "Kau hanya iri padaku karena Adrian mencintaiku, bukan kau!"

Clarissa melangkah maju, berdiri tegak di hadapan Helena. "Cinta? Kau menyebut itu cinta?" tawa Clarissa sinis. "Kau hanya memanfaatkan Adrian untuk kepentinganmu sendiri! Kau hanya ingin merebut posisiku sebagai Duchess!"

Helena mundur selangkah, terkejut dengan serangan balik Clarissa. Dia tidak menyangka Clarissa yang biasanya lemah lembut bisa menjadi begitu berani dan tegas.

"Kau tidak tahu apa-apa tentang cinta, Clarissa!" seru Helena. "Kau hanya seorang wanita dingin dan tak berperasaan! Kau tidak pantas mendapatkan cinta Adrian!"

"Aku yang tidak pantas?" Clarissa mendecih. "Kaulah yang tidak pantas, Helena! Kau wanita licik dan manipulatif! Kau hanya akan menghancurkan Adrian!"

Adrian, yang selama ini hanya diam menyaksikan pertengkaran mereka, akhirnya angkat bicara. "Cukup, kalian berdua!" bentaknya, suaranya bergema di jalanan yang sepi.

Clarissa dan Helena menoleh ke arah Adrian, menunggu kelanjutan kata-katanya.

"Helena, apa yang kau katakan itu benar?" tanya Adrian dengan suara dingin. "Kau benar-benar mengandung anakku?"

Helena mengangguk, air matanya masih mengalir. "Ya, Adrian," isaknya. "Aku mengandung anakmu."

Adrian terdiam sejenak, lalu menatap Clarissa dengan tatapan penuh rasa bersalah. "Clarissa, aku bisa menjelaskan..."

"Tidak perlu menjelaskan apa-apa, Adrian!" potong Clarissa dengan suara dingin. "Kau sudah cukup menyakitiku. Aku tidak bisa lagi tinggal di rumah ini."

Clarissa berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Adrian dan Helena yang terpaku di tempatnya. Adrian ingin mengejar Clarissa, tapi kakinya terasa berat. Dia merasa bersalah dan menyesal, tapi dia juga tidak bisa menyangkal kemungkinan bahwa Helena memang mengandung anaknya.

Helena mendekati Adrian dan memeluknya erat. "Adrian, jangan tinggalkan aku," isaknya. "Aku membutuhkanmu."

Clarissa berlari keluar dari kediaman Duke, air mata mengalir deras di pipinya. Dia tidak bisa lagi berada di tempat yang penuh dengan kebohongan dan pengkhianatan. Hatinya hancur berkeping-keping, seperti kaca yang terjatuh dari ketinggian.

"Nyonya!" teriak Mary, mengejar Clarissa dengan napas terengah-engah. "Tunggu, Nyonya!"

Clarissa berhenti sejenak, lalu berbalik menatap Mary dengan mata sembab. "Mary, siapkan barang-barangku," ucapnya dengan suara tercekat. "Aku akan pergi dari sini."

Mary terkesiap, "Tapi, Nyonya, ke mana Anda akan pergi?"

"Aku akan pulang ke rumah orang tuaku," jawab Clarissa, suaranya bergetar.

Mary menggelengkan kepalanya, "Tapi, Nyonya, Anda tidak bisa pergi begitu saja. Duke Adrian pasti akan mencari Anda."

"Aku tidak peduli," potong Clarissa dengan tegas. "Aku tidak bisa lagi tinggal di sini. Aku tidak bisa lagi melihat wajahnya."

Mary tidak bisa berkata-kata lagi. Dia tahu betapa hancurnya hati Clarissa saat ini. Dia hanya bisa memeluk Clarissa erat-erat, berharap pelukannya bisa memberikan sedikit kekuatan pada Clarissa.

Clarissa melepaskan pelukan Mary, lalu berjalan menuju kereta kuda yang sudah menunggu. Dia naik ke dalam kereta, lalu memerintahkan kusir untuk segera berangkat.

Kereta kuda itu melaju meninggalkan kediaman Duke, membawa Clarissa pergi dari kehidupan yang selama ini dia jalani. Clarissa menatap ke luar jendela, air mata terus mengalir di pipinya. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi dia tahu dia harus pergi. Dia harus menjauh dari Adrian, dari semua kenangan pahit yang mereka bagi bersama.

Adrian berdiri di depan jendela kamarnya, menatap kosong ke arah jalanan yang sepi. Dia tidak bisa percaya Clarissa benar-benar pergi. Dia tidak bisa percaya dia telah menyakiti Clarissa begitu dalam.

"Clarissa," gumam Adrian lirih, "maafkan aku."

Adrian teringat akan semua kenangan indah yang mereka bagi bersama. Dia teringat akan senyum manis Clarissa, tawa riangnya, dan pelukan hangatnya. Dia teringat akan janji-janji yang telah dia ucapkan pada Clarissa, janji-janji yang kini telah dia ingkari.

"Aku bodoh," gumam Adrian lagi, air mata mulai menggenang di matanya. "Aku telah menyia-nyiakan cintamu, Clarissa."

Adrian merasa sangat bersalah dan menyesal. Dia ingin mengejar Clarissa, ingin meminta maaf padanya, ingin memperbaiki semuanya. 

Second Life  Villain's |END|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang