13. Sakit

5.9K 229 3
                                    

Hai semuanya! Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca cerita ini.

Jangan lupa untuk mengikuti akun saya dan vote cerita ini jika kalian menikmatinya.

Love you all!

HAPPY READING

..........

Mary mengetuk pintu kamar Duke dan Duchess dengan hati-hati. Nampan berisi obat-obatan dan perban bersih tergenggam erat di tangannya. Dia khawatir dengan kondisi Clarissa setelah insiden di lapangan pacuan kuda tadi siang.

"Nyonya?" panggil Mary dengan suara lembut. Tidak ada jawaban. Dia mencoba membuka pintu, dan ternyata tidak terkunci.

Mary melangkah masuk dengan hati-hati, namun langkahnya terhenti saat melihat pemandangan di depannya. Duke Adrian duduk di tepi ranjang, memeluk Helena yang bersandar di dadanya. Helena menangis tersedu-sedu, sementara Adrian mengusap punggungnya dengan lembut.

"Adrian," isak Helena, "aku tidak tahan lagi dengan perlakuan Clarissa. Dia selalu mempermalukan dan menyakitiku. Aku mohon, ceraikan dia dan nikahi aku."

Mary ternganga, tak percaya dengan apa yang didengarnya. Helena, wanita ular berbisa itu, berani-beraninya meminta Duke untuk menceraikan Clarissa!

Mary tidak bisa tinggal diam. Dia harus mencari Clarissa dan memberitahunya tentang apa yang baru saja dia saksikan. Dia bergegas keluar dari kamar, hatinya dipenuhi dengan kemarahan dan kekhawatiran.

Hujan deras mengguyur Avalon Manor malam itu. Mary berlari menyusuri jalan setapak di taman, berlindung di bawah payung kecilnya. Dia mencari Clarissa ke setiap sudut taman, memanggil namanya dengan suara lirih.

Setelah berjam-jam mencari, Mary akhirnya menemukan Clarissa duduk di bawah pohon ek besar. Gaun putih Clarissa basah kuyup, rambut pirangnya yang panjang menempel di wajahnya yang pucat. Clarissa memeluk lututnya, tubuhnya gemetar karena kedinginan.

Mary berlari menghampiri Clarissa, hatinya dipenuhi dengan rasa iba dan khawatir. "Nyonya!" serunya, lalu berlutut di samping Clarissa. "Kenapa Anda di sini, Nyonya? Anda akan sakit jika terus-menerus kehujanan."

Clarissa mendongak, matanya yang biru jernih menatap Mary dengan tatapan kosong. Lalu, tanpa peringatan, dia menangis tersedu-sedu, memeluk Mary erat-erat.

Mary balas memeluk Clarissa, membiarkan nyonyanya menangis di bahunya. Dia tahu betapa hancurnya hati Clarissa saat ini. Mary juga melihat kaki Clarissa yang terluka, berdarah karena berjalan tanpa alas kaki di atas jalanan berbatu.

"Nyonya, ayo kita kembali ke dalam," bujuk Mary dengan lembut. "Anda harus beristirahat dan mengobati luka Anda."

Clarissa menggelengkan kepalanya, air matanya masih mengalir deras. "Aku tidak mau kembali, Mary," isaknya. "Aku tidak mau melihat mereka lagi."

Mary mengusap punggung Clarissa dengan lembut. "Saya mengerti, Nyonya. Tapi Anda tidak bisa terus berada di sini. Anda akan sakit."

Hujan deras mengguyur Avalon Manor, menghantam jendela kamar tidur tamu yang terletak di sayap timur mansion. Di dalam kamar, Clarissa terbaring lemah di atas ranjang, tubuhnya menggigil kedinginan meskipun selimut tebal menutupinya.

"Adrian... jangan tinggalkan aku... Helena... jangan sakiti aku..." Clarissa meracau dalam tidurnya, suaranya parau dan lemah. Keringat dingin membasahi dahinya, dan napasnya terengah-engah seperti orang yang baru saja berlari marathon.

Mary, yang setia menunggui Clarissa sejak mereka kembali dari taman, mengusap dahi Clarissa dengan kain basah. "Nyonya, bangunlah..." bisiknya lembut. "Anda demam tinggi."

Clarissa mengerjap, perlahan membuka matanya. Pandangannya kabur, dan dia butuh beberapa saat untuk menyadari di mana dia berada. "Mary... aku bermimpi buruk..." ucapnya dengan suara serak, air mata mengalir di sudut matanya.

Mary mengelus rambut Clarissa dengan lembut. "Tenanglah, Nyonya. Anda hanya sakit. Saya akan membuatkan teh hangat untuk Anda."

Clarissa mengangguk lemah, lalu memejamkan mata lagi. Mimpi buruk itu masih terasa begitu nyata, begitu menakutkan. Dia melihat dirinya terjebak dalam lingkaran api, dikelilingi oleh Adrian dan Helena yang menertawakan penderitaannya.

Mary kembali dengan secangkir teh hangat. Dia membantu Clarissa duduk dan menyuapkan teh itu perlahan. Clarissa meminumnya dengan patuh, meskipun rasanya pahit di lidahnya.

..........

Di dalam ruang kerjanya yang hangat dan nyaman, Clarissa duduk di meja kerjanya, dikelilingi oleh tumpukan dokumen dan buku-buku tebal.

Clarissa berusaha fokus membaca dokumen-dokumen penting terkait pengelolaan wilayah kekuasaan Duke, namun konsentrasinya terus-menerus terganggu oleh batuk yang tak kunjung berhenti. Setiap kali dia batuk, dadanya terasa sakit dan sesak, seolah-olah ada batu besar yang menghimpit paru-parunya.

"Nyonya, batuk Anda semakin parah," ujar Mary dengan nada khawatir, sambil meletakkan secangkir teh hangat di atas meja. "Saya akan memanggil tabib untuk memeriksa Anda."

Clarissa menggeleng lemah, berusaha tersenyum. "Tidak perlu, Mary. Aku hanya kelelahan. Mungkin karena kurang tidur semalam."

Mary menatap Clarissa dengan tatapan penuh keraguan. "Tapi, Nyonya..."

Clarissa mengangkat tangannya, menghentikan Mary. "Sudahlah, Mary. Aku baik-baik saja. Aku hanya perlu istirahat sebentar."

Clarissa berjalan perlahan di taman istana, menikmati udara segar setelah seharian terkurung di kamarnya. Namun, langkahnya terhenti saat tiba-tiba kepalanya terasa berat dan pandangannya kabur. Dia mencoba bertahan, namun akhirnya tubuhnya limbung dan jatuh pingsan di rerumputan yang masih basah.

"Nyonya!" teriak Mary yang berjalan beberapa langkah di belakang Clarissa. Dia berlari panik ke arah Clarissa yang tergeletak tak sadarkan diri.

Dari kejauhan, Adrian yang sedang berjalan-jalan di taman juga melihat kejadian itu. Dia segera berlari menghampiri Clarissa, jantungnya berdebar kencang.

"Clarissa!" serunya, lalu berlutut di samping Clarissa. "Ada apa denganmu?"

Mary berjongkok di sisi lain Clarissa, wajahnya pucat pasi. "Yang Mulia, Nyonya pingsan!"

Tanpa pikir panjang, Adrian mengangkat tubuh Clarissa yang lemah dan membawanya ke kamarnya. Mary mengikutinya dari belakang, hatinya dipenuhi kekhawatiran.

Sesampainya di kamar, Adrian membaringkan Clarissa di atas ranjang dengan lembut. Dia menatap wajah pucat Clarissa, merasa bersalah dan khawatir.

"Panggil tabib istana!" perintahnya pada Mary.

Mary mengangguk cepat, lalu bergegas keluar kamar. Adrian duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan Clarissa yang dingin.

"Clarissa," bisiknya lirih, "bangunlah. Jangan membuatku khawatir."

Beberapa saat kemudian, Clarissa membuka matanya perlahan. Dia mengerjap beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya lampu kamar.

"Adrian?" gumamnya lemah, suaranya serak.

Adrian menatap Clarissa dengan lega. "Syukurlah kau sudah sadar," katanya sambil mengelus rambut Clarissa dengan lembut. "Kau membuatku khawatir."

Clarissa mencoba untuk duduk, namun Adrian menahannya. "Jangan banyak bergerak," katanya. "Kau perlu istirahat."

Clarissa menggelengkan kepala. "Aku baik-baik saja," ujarnya, meskipun suaranya masih terdengar lemah.

Adrian menatap Clarissa dengan tatapan tajam. "Jangan keras kepala, Clarissa," katanya dengan nada tegas namun lembut. "Minum obatmu dan beristirahatlah. Kau tidak ingin membuat orang lain khawatir, bukan?"

Clarissa terdiam, menatap Adrian dengan mata berkaca-kaca. Dia tidak menyangka Adrian akan menunjukkan perhatian padanya.

Second Life  Villain's |END|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang