34. Ketidakpercayaan

3K 105 6
                                    

Hai semuanya! Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca cerita ini.

Jangan lupa untuk mengikuti akun saya dan vote cerita ini jika kalian menikmatinya.

Love you all!

HAPPY READING

Mentari pagi bersinar cerah melalui jendela kamar, namun tak mampu menembus dinginnya suasana di kamar tidur Duke dan Duchess of Avalon. Clarissa terbangun dengan perasaan hampa saat mendapati sisi ranjang Adrian kosong. 

Dia meraba seprai di sampingnya, masih terasa dingin, menandakan Adrian tidak pernah kembali ke kamar semalaman.

"Adrian?" Clarissa memanggil pelan, suaranya serak karena baru bangun tidur.

Tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang memenuhi ruangan mewah itu. Clarissa melirik jam di meja nakas, jarum jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Adrian seharusnya sudah bangun sejak tadi.

Clarissa bangkit dari tempat tidur, berjalan menuju jendela, dan menatap ke arah halaman istana. Tidak ada tanda-tanda Adrian di sana. Hanya para pelayan yang sibuk dengan tugas mereka masing-masing. Clarissa menghela napas panjang, perasaan kesal dan khawatir mulai menjalari hatinya.

"Mary!" panggil Clarissa, suaranya bergema di kamar yang luas.

Mary, kepala pelayan yang setia, segera muncul dari balik pintu. "Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?"

"Tidak ada". 

Aroma kopi dan roti panggang yang baru saja matang memenuhi ruang makan, namun tidak ada kehangatan yang terasa di antara Clarissa dan kursi kosong di hadapannya. Dia duduk dengan anggun, namun kegugupannya terlihat jelas dari jemarinya yang saling bertautan di atas meja.

Mary, kepala pelayan yang setia, mendekati Clarissa dengan raut wajah khawatir. "Nyonya, apakah Anda ingin saya siapkan sesuatu yang lain? Mungkin teh herbal atau susu hangat?"

Clarissa menggeleng pelan, "Tidak, Mary. Terima kasih. Aku hanya menunggu Duke."

Mary menghela napas pelan. "Yang Mulia Duke belum kembali sejak tadi malam, Nyonya."

Clarissa mengepalkan tangannya di bawah meja, berusaha menahan amarah yang mulai membara. "Dia tidak meninggalkan pesan?" tanyanya dengan suara dingin.

Mary menggeleng lagi, "Tidak, Nyonya. Yang Mulia hanya bilang beliau ada urusan penting dan akan pulang larut."

Clarissa menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata yang mendesak untuk keluar. Dia tidak habis pikir bagaimana Adrian bisa pergi tanpa pamit dan meninggalkannya sendirian semalaman. Apakah dia benar-benar tidak peduli lagi padanya?

"Siapkan sarapan untukku, Mary," perintah Clarissa dengan suara tegas. "Aku akan menunggunya di sini."

Mary mengangguk patuh, lalu bergegas menyiapkan sarapan untuk Clarissa. Clarissa menatap kosong ke arah jendela, pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan dan kekhawatiran.

"Apa yang sedang kau lakukan, Adrian?" gumam Clarissa lirih. "Apakah kau benar-benar bersama Helena?"

Bayangan Adrian dan Helena yang bermesraan di pesta topeng terus menghantui Clarissa. Dia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu hanya kesalahpahaman, tapi hatinya berkata lain.

Namun, saat Mary kembali dengan nampan berisi sarapan, Clarissa tidak memiliki selera makan sedikit pun. Dia hanya menatap makanan di hadapannya dengan tatapan kosong.

"Nyonya, Anda tidak makan?" tanya Mary dengan nada khawatir.

Clarissa menggeleng pelan, "Aku tidak lapar, Mary."

Mary menatap Clarissa dengan tatapan iba. Dia tahu Clarissa sedang terluka, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantunya.

Pintu ruang makan terbuka dengan kasar, membuyarkan keheningan yang menyesakkan. Adrian melangkah masuk dengan langkah gontai, jasnya kusut dan rambutnya acak-acakan. Wajahnya tampak lelah dan pucat, seolah-olah dia tidak tidur semalaman.

Clarissa, yang sedari tadi duduk tegang di meja makan, mendongak. Mata birunya yang indah menatap Adrian dengan tajam, seolah-olah ingin menembus topeng ketidakpeduliannya.

"Selamat pagi, Clarissa," sapa Adrian dengan nada datar, berusaha menyembunyikan rasa bersalahnya.

Clarissa tidak membalas sapaan Adrian. Dia hanya menatap Adrian dengan tatapan dingin, menunggu penjelasan atas ketidakhadirannya semalaman.

"Kau sudah sarapan?" tanya Adrian, berusaha mengalihkan topik pembicaraan.

"Belum," jawab Clarissa singkat, suaranya sedingin es. "Aku menunggumu."

Adrian mengerutkan kening. "Menungguku? Untuk apa?"

"Untuk menjelaskan di mana kau semalaman," jawab Clarissa tegas, tidak terpengaruh oleh sikap acuh tak acuh Adrian.

Adrian menghela napas berat, lalu duduk di kursi di seberang Clarissa. "Aku ada urusan bisnis," jawabnya singkat, mengulangi alasan yang sama seperti yang dia berikan pada Mary.

Clarissa tertawa sinis. "Urusan bisnis? Urusan bisnis apa yang mengharuskanmu pergi tanpa pamit dan pulang pagi-pagi buta begini?"

Adrian menatap Clarissa dengan tatapan tajam. "Itu bukan urusanmu, Clarissa," jawabnya dengan nada ketus.

Clarissa berdiri dari kursinya, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. "Tentu saja itu urusanku!" serunya, suaranya bergetar karena marah. "Kau suamiku, dan kau pergi tanpa izin!"

Adrian membanting tangannya ke meja, membuat cangkir teh berdenting keras. "Cukup, Clarissa!" bentaknya, matanya menyala-nyala. "Jangan mengatur-ngaturku!"

"Tapi aku istrimu, Adrian!" Clarissa membalas, suaranya meninggi. "Dan kau pergi semalaman tanpa memberi kabar apapun. Apa kau tidak bisa sedikit menghargai perasaanku?"

Adrian mendecih, "Perasaan? Kau masih berani bicara tentang perasaan setelah semua yang kau lakukan?"

Kata-kata Adrian seperti tamparan keras di wajah Clarissa. Dia terhuyung mundur. "Apa maksudmu, Adrian? Apa yang telah aku lakukan?"

Adrian melangkah mendekat, wajahnya semakin mendekat ke wajah Clarissa. "Kau tahu persis apa yang telah kau lakukan, Clarissa," desisnya dengan suara rendah dan mengancam. 

"Kau telah menghancurkan kepercayaanku, kau telah mempermalukan Lady Helena di depan semua orang, dan kau masih berani bertanya apa yang telah kau lakukan?"

Clarissa menggelengkan kepalanya. "Adrian, aku tidak mengerti..."

Adrian meraih dagu Clarissa dengan kasar, memaksanya untuk menatap matanya. "Jangan berpura-pura, Clarissa! Kau tahu persis apa yang aku bicarakan!"

Clarissa mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Adrian, tapi Adrian terlalu kuat. "Adrian, lepaskan aku! Kau menyakitiku!"

Adrian melepaskan dagu Clarissa dengan kasar, lalu membalikkan badan dan berjalan menuju pintu. "Aku muak denganmu, Clarissa!" teriaknya sebelum membanting pintu dengan keras.

Clarissa terduduk lemas di kursi, tubuhnya bergetar hebat. Dia merasa sangat terluka dan dikhianati. Dia tidak menyangka Adrian akan sekejam ini padanya.

"Kenapa, Adrian?" bisik Clarissa lirih, "Kenapa kau tidak percaya padaku? Apa aku tidak pernah berarti apa-apa bagimu?"

Second Life  Villain's |END|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang