24. Kekalahan Permainan

3.6K 157 0
                                    

Hai semuanya! Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca cerita ini.

Jangan lupa untuk mengikuti akun saya dan vote cerita ini jika kalian menikmatinya.

Love you all!

HAPPY READING

Ruang kerja Duke Adrian dipenuhi aroma kertas tua dan tinta. Tumpukan dokumen berserakan di atas meja, menjadi saksi bisu dari kerja keras sang Duke. Namun, di balik wajahnya yang serius, tersembunyi rencana licik untuk menguji perasaan Clarissa.

"Thomas," panggil Adrian pada kepala pelayannya, "batalkan reservasi makan malamku di restoran Le Belle Fleur."

Thomas terkesiap. "Tapi, Yang Mulia, bukankah Anda sudah memesan meja khusus untuk makan malam romantis dengan Lady Elizabeth?"

Adrian tersenyum sinis. "Memang. Tapi aku berubah pikiran. Kita akan makan malam di rumah saja."

Thomas mengangguk patuh, meskipun hatinya dipenuhi tanda tanya. Dia tahu ada sesuatu yang tidak beres, tapi dia tidak berani bertanya lebih lanjut.

Adrian kemudian memanggil Clarissa melalui intercom. "Clarissa, sayang," sapanya dengan suara yang dibuat-buat lembut, "bisakah kau menemani kita makan malam? Aku ingin kau berkenalan dengan Lady Elizabeth."

Clarissa, yang sedang sibuk memeriksa laporan keuangan butiknya, mengerutkan kening. Dia tidak suka Lady Elizabeth, wanita bangsawan yang terkenal akan kecantikannya dan kedekatannya dengan Adrian. Namun, sebagai seorang Duchess, dia tidak bisa menolak permintaan suaminya.

"Tentu saja, Adrian," jawab Clarissa dengan nada datar. "Aku akan segera ke sana."

Clarissa menutup laporan keuangannya dan berjalan menuju ruang makan. Dia mengenakan gaun malam berwarna biru tua yang sederhana namun elegan, rambut pirangnya ditata rapi, dan perhiasan mutiara menghiasi lehernya. Dia terlihat tenang dan anggun, namun di balik ketenangan itu, tersembunyi rasa cemas dan ketidakpastian.

Adrian menyambut Clarissa dengan senyuman hangat, seolah-olah tidak ada masalah di antara mereka. Dia memperkenalkan Clarissa pada Lady Elizabeth, yang membalasnya dengan senyuman manis yang dibuat-buat.

Suasana makan malam semakin kaku. Adrian, dengan sengaja, terus mengarahkan perhatiannya pada Lady Elizabeth. Dia memuji gaun sutra merah yang dikenakan Lady Elizabeth, membandingkannya dengan bunga mawar yang merekah.

"Warna merah sangat cocok untukmu, Lady Elizabeth," puji Adrian, matanya tak lepas dari sosok anggun di hadapannya. "Kau terlihat seperti bunga mawar yang baru mekar."

Lady Elizabeth tersipu, "Yang Mulia terlalu baik. Ini hanya gaun biasa."

Clarissa memperhatikan interaksi mereka dengan hati yang terluka. Dia tahu Adrian hanya berpura-pura, namun setiap pujian yang dilontarkan suaminya terasa seperti belati yang menusuk jantungnya.

"Lady Elizabeth," Adrian melanjutkan, "aku dengar kau baru saja kembali dari perjalanan ke Timur. Pasti banyak pengalaman menarik yang kau dapatkan."

Lady Elizabeth mengangguk antusias, "Benar, Yang Mulia. Saya mengunjungi beberapa kota besar dan belajar banyak tentang budaya dan tradisi mereka."

Adrian tersenyum, "Kau memang wanita yang cerdas dan berwawasan luas, Lady Elizabeth. Aku sangat terkesan."

Clarissa mengepalkan tangannya di bawah meja, berusaha menahan air mata yang mendesak untuk keluar. Dia tidak bisa mengerti mengapa Adrian bersikap seperti ini. Apakah dia benar-benar tidak peduli dengan perasaannya?

"Clarissa, sayang," Adrian akhirnya mengalihkan perhatiannya pada Clarissa, "kau terlihat pucat. Apakah kau baik-baik saja?"

Clarissa mendongak, menatap Adrian dengan tatapan kosong. "Aku baik-baik saja, Adrian," jawabnya dengan suara serak.

Adrian mengerutkan kening, merasa ada yang tidak beres dengan Clarissa. Namun, dia tidak ingin merusak rencananya. Dia harus terus membuat Clarissa cemburu agar istrinya itu menyadari perasaannya yang sebenarnya.

"Kalau begitu, mari kita lanjutkan makan malamnya," kata Adrian, kembali mengalihkan perhatiannya pada Lady Elizabeth.

Dia menuangkan anggur ke gelas Lady Elizabeth, memuji hidangan yang disiapkan oleh koki, dan bahkan menawarkan untuk memotongkan daging untuknya.

"Lady Elizabeth," kata Adrian sambil memotong daging dengan gerakan yang elegan, "daging sapi panggang ini adalah salah satu hidangan favorit saya. Anda harus mencobanya."

"Terima kasih, Yang Mulia," jawab Lady Elizabeth dengan senyum manis. "Anda selalu tahu bagaimana memanjakan tamu Anda."

Clarissa mengamati adegan itu dengan hati yang terluka. Dia merasa seperti udara, tidak terlihat dan tidak dihargai. Dia mencoba untuk fokus pada makanannya, tapi rasanya seperti abu di mulutnya.

Adrian, yang menyadari keheningan Clarissa, sengaja meningkatkan intensitas godaannya. Dia mulai menyentuh tangan Lady Elizabeth saat mengambil roti, bahkan dengan sengaja membiarkan jarinya menyentuh kulitnya. Clarissa melihat semua itu dengan mata dingin, hatinya terasa seperti diremas.

"Kulit Anda sehalus sutra, Lady Elizabeth," puji Adrian, suaranya terdengar menggoda. "Apakah Anda memiliki rahasia kecantikan khusus?"

Lady Elizabeth tersipu malu, "Ah, Yang Mulia, Anda terlalu baik. Saya hanya menggunakan krim tangan biasa."

Ketegangan di ruang makan semakin terasa. Clarissa, yang semula berusaha menjaga ketenangannya, kini merasa seperti berada di ujung tanduk. Pujian-pujian Adrian yang berlebihan terhadap Lady Elizabeth, sentuhan-sentuhan kecil yang disengaja, semuanya seperti tusukan jarum di hatinya.

"Lady Elizabeth," Adrian kembali melontarkan pujian, kali ini sambil mengangkat gelas anggurnya, "saya belum pernah bertemu wanita yang secantik dan secerdas Anda."

Lady Elizabeth tersipu, "Yang Mulia terlalu baik."

Clarissa mengepalkan tangannya di bawah meja. Dia tidak tahan lagi melihat adegan ini. Dia merasa seperti sedang ditusuk berkali-kali oleh belati yang tak terlihat.

"Clarissa, sayang," Adrian beralih pada Clarissa, "kau tidak ingin mengatakan sesuatu?"

Clarissa mengangkat wajahnya, tatapannya dingin dan tajam. "Untuk apa, Adrian? Kau bebas memuji siapa pun yang kau mau."

Adrian tersenyum sinis, "Oh, jadi kau tidak cemburu?"

Clarissa tertawa hambar, "Cemburu? Kenapa aku harus cemburu, Adrian? Kau sudah menunjukkan dengan jelas bahwa kau lebih memilih dia daripada aku."

Adrian terdiam sejenak, lalu membanting gelas anggurnya ke lantai hingga pecah berkeping-keping. Suara pecahan kaca itu mengagetkan Lady Elizabeth, yang langsung menjauhkan dirinya dari Adrian.

"Clarissa!" bentak Adrian, wajahnya memerah karena marah. "Kau benar-benar tidak peduli padaku, ya? Kau tidak cemburu sama sekali melihat aku bermesraan dengan wanita lain?"

Clarissa berdiri dari kursinya, air mata berlinang di matanya. "Cemburu? Kenapa aku harus cemburu, Adrian?" suaranya bergetar karena menahan tangis. "Kau sudah menunjukkan dengan jelas bahwa kau lebih memilih dia daripada aku! Kau pikir aku bodoh? Kau pikir aku tidak bisa melihat apa yang terjadi di depan mataku sendiri?"

Clarissa berbalik dan berlari keluar dari ruang makan, meninggalkan Adrian dan Lady Elizabeth yang tercengang. Adrian mengepalkan tangannya, amarahnya memuncak. Dia merasa direndahkan dan diabaikan oleh Clarissa.

"Clarissa!" teriak Adrian, tapi Clarissa sudah menghilang di balik pintu.

Adrian mengacak-acak rambutnya dengan frustasi. Dia tidak mengerti mengapa Clarissa tidak bereaksi seperti yang dia harapkan. Dia ingin Clarissa cemburu, marah, bahkan memohon padanya untuk tidak meninggalkannya. Tapi Clarissa tidak melakukan apa pun yang dia harapkan.

Adrian merasa kalah dalam permainan yang dia ciptakan sendiri.

Second Life  Villain's |END|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang