21. Diam Diam

3.7K 158 1
                                    

Hai semuanya! Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca cerita ini.

Jangan lupa untuk mengikuti akun saya dan vote cerita ini jika kalian menikmatinya.

Love you all!

HAPPY READING

Udara malam yang dingin menerobos masuk melalui celah-celah jendela kamar Clarissa. Dia duduk di tepi tempat tidur, jari-jarinya membelai lembut halaman buku yang terbuka di pangkuannya.

Namun, pikirannya melayang jauh, terganggu oleh bayangan keraguan yang semakin menghantui hatinya.

"Sudah lewat tengah malam," gumam Clarissa, melirik jam pendulum antik di sudut ruangan. "Kemana perginya Adrian?"

Sudah seminggu ini Adrian selalu pulang larut malam, dengan alasan rapat atau urusan bisnis yang tak kunjung usai.

Clarissa berusaha meyakinkan dirinya bahwa suaminya bekerja keras demi kesejahteraan keluarga mereka, namun firasat buruk terus mengganggunya.

Keesokan paginya, cahaya matahari yang hangat menembus jendela kamar Clarissa, namun tidak mampu menghangatkan hatinya yang membeku. 

Keraguan yang semalam bersemi kini tumbuh menjadi pohon besar yang menaungi pikirannya. Dia tidak bisa lagi mengabaikan firasat buruk yang menghantuinya.

"Mary," panggil Clarissa, suaranya serak karena kurang tidur.

Mary, yang sedang merapikan tempat tidur, segera menoleh. "Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?"

"Siapkan pakaianku yang biasa," perintah Clarissa, "dan panggilkan kusir. Aku akan pergi keluar."

Mary menatap Clarissa dengan heran. "Tapi, Nyonya, bukankah Anda masih kurang sehat?"

"Aku baik-baik saja, Mary," Clarissa meyakinkan, meskipun wajahnya masih pucat. "Ada urusan yang harus aku selesaikan."

Mary mengangguk patuh, lalu bergegas menyiapkan keperluan Clarissa. Tak lama kemudian, Clarissa sudah duduk di dalam kereta kuda, jantungnya berdebar kencang. Dia tidak tahu apa yang akan dia temukan, tapi dia harus mencari tahu kebenarannya.

Kusir mengarahkan kereta kuda mengikuti jalur yang biasa dilalui Adrian saat pergi ke istana.

Namun, setelah beberapa saat, kereta berbelok ke jalan yang lebih kecil dan sepi. Clarissa mengintip dari jendela kereta, mengamati pemandangan yang asing.

"Ke mana kita akan pergi, Nyonya?" tanya kusir dengan ragu.

"Ikuti saja kereta kuda Duke," jawab Clarissa singkat.

Kereta kuda terus melaju, melewati jalanan berliku dan rumah-rumah sederhana. Akhirnya, kereta berhenti di depan sebuah rumah kecil yang tersembunyi di balik pepohonan rindang.

"Ini rumahnya, Nyonya," kata kusir.

Clarissa turun dari kereta dan berjalan perlahan menuju rumah tersebut. Jantungnya berdetak semakin kencang. Dia bisa melihat bayangan Adrian di balik jendela yang remang-remang.

"Apa yang sedang dia lakukan di sini?" gumam Clarissa, hatinya dipenuhi kecemasan.

Clarissa memutuskan untuk menunggu di luar, berharap Adrian akan keluar sebentar lagi. Dia bersembunyi di balik semak-semak, mengamati rumah itu dengan saksama.

Setelah beberapa saat, pintu rumah terbuka dan seorang wanita keluar. Wanita itu mengenakan jubah hitam yang sama dengan yang dikenakan Adrian tadi malam.

Clarissa tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, tapi dia yakin dia pernah melihat wanita itu sebelumnya.

"Siapa dia?" bisik Clarissa pada dirinya sendiri, rasa cemburu dan sakit hati menjalari hatinya.

.........

Adrian merasa terjebak dalam pusaran emosi yang membingungkan. Di satu sisi, Helena, dengan segala pesonanya, berhasil membangkitkan gairah yang telah lama terpendam dalam dirinya.

Namun, di sisi lain, dia tidak bisa mengabaikan rasa bersalah dan ketakutan akan konsekuensi dari perselingkuhannya.

"Helena, aku tidak bisa membiarkanmu hamil," desis Adrian, suaranya bergetar karena emosi yang berkecamuk.

Helena menatap Adrian dengan mata berkaca-kaca, "Tapi, Adrian, aku mencintaimu. Aku ingin memiliki anak darimu."

Adrian mengusap wajahnya dengan kasar, "Jangan bodoh, Helena. Kau tahu ini tidak mungkin. Aku tidak bisa merusak reputasiku dan keluargaku."

Helena mendekati Adrian, lalu memeluknya erat. "Adrian, Clarissa bukan wanita yang baik untukmu. Dia wanita jahat yang hanya akan menghancurkanmu. Apa kau lupa bagaimana dia memperlakukanmu di masa lalu?"

Adrian terdiam, mengingat kembali masa lalu yang kelam. Clarissa memang pernah melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji, namun Adrian tidak bisa melupakan kebaikan dan perhatian yang Clarissa tunjukkan padanya belakangan ini.

"Aku tahu Clarissa bukan wanita yang sempurna," jawab Adrian akhirnya, "tapi dia sudah berubah. Dia berusaha menjadi istri yang baik untukku."

Helena tertawa sinis. "Berubah? Kau benar-benar naif, Adrian. Clarissa tidak akan pernah berubah. Dia hanya berpura-pura baik untuk mendapatkan apa yang diinginkannya."

Adrian terdiam lagi, pikirannya berkecamuk. Dia tidak tahu harus percaya pada siapa. Dia merasa terjebak di antara dua wanita yang sama-sama menginginkannya, namun memiliki tujuan yang berbeda.

"Adrian," Helena melanjutkan, suaranya melembut, "aku mencintaimu. Aku akan melakukan apa saja untukmu. Aku akan menjadi istri yang baik untukmu, istri yang lebih baik dari Clarissa."

Adrian menatap Helena dengan tatapan ragu. Dia tahu Helena hanya memanfaatkannya, tapi dia tidak bisa menyangkal bahwa dia tergoda oleh janji-janji manis Helena.

Clarissa terpaku di balik semak-semak yang lebat, napasnya tercekat di tenggorokan. Air mata menggenang di pelupuk matanya, mengancam untuk tumpah. Pemandangan di depannya seperti belati yang menusuk jantungnya berkali-kali.

Adrian dan Helena keluar dari rumah kecil itu, bergandengan tangan dengan mesra. Helena menyandarkan kepalanya di bahu Adrian, sementara Adrian melingkarkan lengannya di pinggang Helena dengan posesif. Mereka tertawa bersama, seolah-olah tidak ada beban di dunia ini.

Helena tersenyum lebar, lalu mengecup pipi Adrian dengan mesra. 

Clarissa menutup mulutnya dengan tangan, menahan isak tangisnya. Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Adrian, suaminya, berselingkuh dengan Helena tepat di depan matanya.

"Bagaimana bisa?" bisik Clarissa lirih, air matanya akhirnya tumpah. "Bagaimana bisa dia melakukan ini padaku?"

Clarissa merasa hatinya hancur berkeping-keping. Dia tidak tahu harus berbuat apa lagi. Dia merasa dikhianati, dibohongi, dan ditinggalkan.

Second Life  Villain's |END|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang