46. Surat Untuk Duke

2.8K 103 3
                                    

Hai semuanya! Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca cerita ini.

Jangan lupa untuk mengikuti akun saya dan vote cerita ini jika kalian menikmatinya.

Love you all!

HAPPY READING

Adrian tidak bisa tidur semalaman. Bayangan Clarissa yang terluka dan kecewa terus menghantuinya. Dia menyadari betapa bodohnya dia telah menyia-nyiakan cinta Clarissa dan membiarkan Helena menghancurkan pernikahan mereka.

Pagi-pagi sekali, Adrian pergi ke butik Clarissa. Dia harus berbicara dengan Clarissa, harus menjelaskan semuanya sebelum terlambat.

"Nyonya Duchess sedang sibuk, Yang Mulia," kata Mary, menghalangi jalan Adrian.

"Aku harus bertemu dengannya, Mary," desak Adrian. "Ini sangat penting."

Mary ragu-ragu sejenak, lalu akhirnya mengangguk. "Baiklah, Yang Mulia. Tapi saya harap Anda tidak akan membuat Nyonya Duchess marah lagi."

Adrian masuk ke ruang kerja Clarissa dan menemukan istrinya sedang duduk di meja kerjanya, sibuk memeriksa beberapa dokumen. Clarissa mendongak, terkejut melihat Adrian.

"Adrian?" tanyanya dengan nada dingin. "Ada apa?"

Adrian berdiri di hadapan Clarissa, tatapannya memohon. "Clarissa, aku mohon, dengarkan aku," pintanya dengan suara serak, 

"Aku tahu aku salah. Aku telah menyakitimu dan mengkhianati kepercayaanmu. Aku sangat menyesal."

Clarissa menatap Adrian dengan tatapan dingin, hatinya terasa beku. "Penjelasan apa lagi yang kau butuhkan, Adrian? Bukankah semuanya sudah jelas?"

Adrian menghela napas panjang, berusaha meredam gejolak emosi yang bergejolak dalam dirinya. "Tidak, Clarissa. Kau salah paham. Aku tidak pernah menyentuh Helena. Aku bersumpah."

Clarissa tertawa sinis, suaranya menusuk seperti belati. "Kau pikir aku picik, Adrian? Helena sendiri yang mengatakan bahwa dia mengandung anakmu."

Adrian terdiam sejenak, rahangnya mengeras. "Dia berbohong, Clarissa. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa hamil, tapi aku bersumpah, aku tidak pernah tidur dengannya."

Clarissa menatap Adrian dengan tatapan tajam. "Lalu bagaimana kau menjelaskan pertemuanmu dengannya di rumahnya tadi malam?"

Adrian tergagap, "Itu... itu hanya pertemuan bisnis, Clarissa. Tidak ada yang terjadi di antara kami."

Clarissa tertawa lagi, kali ini lebih keras dan menyakitkan. "Pertemuan bisnis? Di tengah malam? Di rumahnya? Kau pikir aku anak kecil, Adrian?"

Adrian merasa terpojok, tidak bisa membantah tuduhan Clarissa. Dia tahu dia salah, tapi dia tidak bisa mengakui hal itu di depan Clarissa.

"Clarissa, kumohon, percayalah padaku," pinta Adrian lagi, suaranya bergetar. "Aku tidak berbohong."

Clarissa menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa lagi mempercayaimu, Adrian. Kau sudah terlalu sering berbohong padaku."

Dia membuka laci mejanya dan mengeluarkan sebuah dokumen. "Ini surat perceraian. Aku ingin kau menandatanganinya."

Adrian terbelalak, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Clarissa, tidak," lirihnya. "Aku tidak mau menceraikanmu."

Clarissa menatap Adrian dengan tatapan tegas. "Kau tidak punya pilihan, Adrian. Aku sudah muak dengan kebohongan dan pengkhianatanmu. Aku tidak bisa lagi hidup seperti ini."

Adrian menggelengkan kepalanya dengan keras. "Tidak, Clarissa. Aku tidak akan menandatangani surat itu. Aku tidak akan melepaskanmu."

Clarissa tersenyum pahit. "Kalau begitu, aku akan mengajukan gugatan cerai ke pengadilan, Adrian. Sekalipun Helena tidak mengandung anakmu tapi perselingkuhanmu sudah cukup menjadi alasan."

"Pergilah, Adrian!" seru Clarissa, suaranya bergetar karena menahan amarah. "Aku tidak ingin melihatmu lagi!"

Adrian, yang terbawa emosi, meraih pergelangan tangan Clarissa dengan kasar. "Clarissa, dengarkan aku!" serunya, matanya merah padam.

Clarissa berusaha melepaskan diri, tapi cengkeraman Adrian terlalu kuat. "Lepaskan aku, Adrian! Kau menyakitiku!"

Dalam keputusasaan, Clarissa mengangkat tangannya yang bebas dan menampar pipi Adrian dengan keras. Suara tamparan itu menggema di ruangan yang hening, membuat Adrian tertegun.

Pada saat itu, pintu ruang kerja terbuka dengan keras. Putra Mahkota Edward dan Putri Amelia masuk, wajah mereka dipenuhi keterkejutan.

"Adrian!" seru Edward, bergegas menghampiri mereka. "Apa yang kau lakukan?!"

Edward menarik tangan Adrian dari pergelangan Clarissa, melepaskan cengkeramannya yang kuat. Clarissa mengusap pergelangan tangannya yang memerah, matanya menatap Adrian dengan tatapan dingin dan penuh amarah.

"Yang Mulia," ucap Clarissa dengan suara tegas, "saya baik-baik saja."

Amelia langsung memeluk Clarissa, berusaha memberikan kenyamanan pada sahabatnya. "Anda tidak apa-apa?" tanyanya dengan nada khawatir.

Clarissa mengangguk pelan, tapi wajahnya tetap datar dan tegas. Dia tidak ingin menunjukkan kelemahannya di depan Adrian.

Edward menatap Adrian dengan tatapan tajam. "Adrian, sebaiknya kau pergi sekarang," katanya dengan nada tegas. "Clarissa tidak ingin diganggu."

Adrian, yang masih terpaku di tempatnya, menatap Clarissa dengan tatapan penuh penyesalan. Dia ingin mengatakan sesuatu, tapi kata-kata terasa tercekat di tenggorokannya.

Akhirnya, Adrian menghela napas panjang, lalu membungkuk hormat pada Edward dan Amelia. "Maafkan saya, Yang Mulia," ucapnya dengan suara lirih. "Saya akan pergi sekarang."

..........

"Yang Mulia Putra Mahkota, Yang Mulia Putri," sapa Clarissa dengan hormat, membungkuk anggun. "Selamat datang di butik saya. Ada yang bisa saya bantu?"

Edward tersenyum ramah, "Clarissa, kami datang untuk meminta bantuanmu."

Clarissa mengerutkan kening, bingung. "Bantuan apa, Yang Mulia?"

Amelia melangkah maju, wajahnya sedikit memerah. "Eonni, aku ingin memintamu untuk merancang gaun untukku," ucapnya dengan suara malu-malu. "Aku akan menghadiri pesta dansa kerajaan minggu depan, dan aku ingin tampil cantik."

Clarissa tersenyum, "Tentu saja, Yang Mulia Putri. Saya akan dengan senang hati membantu Anda."

Edward berdeham, "Sebenarnya, bukan hanya Amelia yang membutuhkan bantuanmu, Clarissa. Ibu Suri juga ingin berkonsultasi denganmu tentang gaun yang akan beliau kenakan di pesta dansa."

Clarissa terkesiap. Dia tidak menyangka akan mendapatkan kesempatan untuk merancang gaun untuk Ratu.

"Ini adalah kehormatan besar bagi saya, Yang Mulia," ucap Clarissa dengan tulus.

Edward mengangguk. "Saya yakin kau akan melakukan pekerjaan yang luar biasa, Clarissa. Bakatmu dalam mendesain tidak perlu diragukan lagi."

Clarissa tersenyum, "Terima kasih atas kepercayaan Anda, Yang Mulia."

Edward melanjutkan, "Selain itu, saya juga ingin mengingatkanmu bahwa kesempatan ini bisa menjadi peluang besar untuk meningkatkan citra butikmu, terutama setelah skandal yang melibatkan suamimu."

Clarissa mengangguk paham. Dia tahu Edward benar. Merancang gaun untuk Putri Amelia dan Ratu akan memberikan publisitas yang sangat baik untuk butiknya.

"Saya mengerti, Yang Mulia," jawab Clarissa. "Saya akan berusaha sebaik mungkin untuk memenuhi harapan Anda."

Edward tersenyum puas. "Aku tidak ragu akan hal itu, Clarissa. Aku percaya padamu."

Second Life  Villain's |END|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang