40. Kompensasi

3.2K 94 0
                                    

Hai semuanya! Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca cerita ini.

Jangan lupa untuk mengikuti akun saya dan vote cerita ini jika kalian menikmatinya.

Love you all!

HAPPY READING

Malam itu, gerimis tipis membasahi jalanan batu kota Avalon. Duke Adrian berdiri di depan pintu kediaman Lady Helena, keraguan terpancar jelas di matanya. 

Dia telah berjanji pada Clarissa untuk tidak menemui Helena lagi, tapi rasa penasaran dan kekhawatirannya akan tuduhan Clarissa mendorongnya untuk datang.

Dengan ragu, Adrian mengetuk pintu. Setelah beberapa saat, pintu terbuka, memperlihatkan Helena yang masih mengenakan gaun tidur sutra berwarna merah muda. Rambut pirangnya tergerai indah, namun wajahnya tampak pucat dan mata birunya sembab.

"Adrian?" Helena terkejut melihat kedatangan Adrian. "Apa yang kau lakukan di sini?"

Adrian melangkah masuk, matanya langsung tertuju pada sepasang sepatu pria yang tergeletak di dekat pintu masuk. Sepatu itu bukan miliknya.

"Helena," suara Adrian terdengar dingin, "apa ada orang lain di sini selain dirimu?"

Helena tergagap, "T-tidak, Adrian. Aku sendirian. Kau tahu, orang tuaku sedang perjalanan bisnis."

Adrian menatap Helena dengan tatapan tajam, berusaha mencari kebohongan di wajahnya. Namun, Helena adalah seorang aktris yang ulung. Dia berhasil menyembunyikan kepanikannya di balik senyuman manis.

"Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja," ucap Adrian akhirnya, mencoba menenangkan diri.

"Aku baik-baik saja, Adrian," jawab Helena dengan suara lembut. "Terima kasih sudah khawatir."

Adrian menghela napas, lalu mengeluarkan sebuah kantong berisi koin emas dari sakunya. Dia meletakkannya di atas meja di depan Helena.

Helena menatap kantong beludru yang diletakkan Adrian di atas meja riasnya. Matanya membelalak saat menyadari isinya: koin emas berkilauan, cukup banyak untuk membeli beberapa gaun mewah.

"Apa ini, Adrian?" tanyanya dengan suara bergetar, antara terkejut dan marah. "Kau... kau membela Clarissa?"

Adrian berdiri tegap, wajahnya tanpa ekspresi. "Aku tidak membela siapa pun, Helena," jawabnya dingin. "Ini hanya kompensasi atas kerugian yang dialami butikmu karena ulah istriku."

Helena meraih kantong itu, meremasnya dengan kuat hingga buku-buku jarinya memutih. "Kompensasi?" desisnya, suaranya penuh dengan kebencian. "Kau pikir uang bisa menyelesaikan masalah ini? Clarissa telah mencuri desainku, menghancurkan reputasiku, dan membuatku menjadi bahan tertawaan seluruh kerajaan!"

Adrian menghela napas panjang, berusaha menahan emosinya. "Aku tahu kau marah, Helena. Tapi aku mohon, cobalah untuk tenang."

"Tenang?" Helena tertawa sinis, melemparkan kantong koin emas itu ke lantai hingga isinya berhamburan. "Bagaimana aku bisa tenang, Adrian? Clarissa telah menghancurkan hidupku!"

Adrian membungkuk, memunguti koin-koin emas yang berserakan di lantai. "Aku mengerti kau marah, Helena," ucapnya dengan nada lembut, "tapi aku mohon, jangan membuat masalah ini semakin besar."

"Kau tidak mengerti apa-apa, Adrian!" teriak Helena, air mata mengalir deras di pipinya. "Clarissa bukan hanya mencuri desainku, tapi dia juga mencuri hatimu! Dia telah merebutmu dariku!"

Adrian terdiam, tidak bisa berkata-kata. Kata-kata Helena menusuk hatinya, mengingatkannya pada perasaan bersalah yang terus menghantuinya.

"Aku tidak mencintai Clarissa, Helena," jawab Adrian akhirnya, suaranya terdengar lemah. "Pernikahan kami hanya sebuah formalitas."

Helena menatap Adrian dengan tatapan penuh harap. "Kalau begitu, kenapa kau masih bersamanya? Kenapa kau tidak meninggalkanya dan kembali padaku?"Mata Adrian menyipit, kilatan kemarahan terpancar dari sorot matanya yang tajam. 

Dia menatap Helena dengan intens, seolah-olah mencoba melihat menembus topeng kepura-puraannya.

"Cukup, Helena," suara Adrian terdengar dingin dan tegas, memotong keluhan Helena yang tak kunjung usai. "Aku tidak ingin mendengar ocehanmu lagi."

Helena terdiam, terkejut dengan perubahan sikap Adrian yang tiba-tiba. Dia tidak menyangka Adrian akan membela Clarissa, wanita yang selama ini dia anggap sebagai musuh bebuyutannya.

"Adrian, bagaimana bisa kau berkata seperti itu?" tanya Helena dengan suara bergetar, air mata kembali mengalir di pipinya. "Aku tunanganmu, bukan dia!"

Adrian menghela napas panjang, lalu melangkah mendekati Helena. Dia menatap mata Helena dengan tatapan dingin yang membuat Helena merinding.

"Dengar, Helena," kata Adrian dengan suara rendah dan mengancam, "aku tidak peduli siapa yang benar atau salah dalam masalah ini. Yang jelas, aku tidak ingin ada skandal yang mencoreng nama baik keluarga Avalon. Jadi, untuk sementara waktu, jangan membuat masalah dengan Clarissa."

Helena terbelalak, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Adrian tidak hanya membela Clarissa, tapi juga mengancamnya.

"Tapi, Adrian..." Helena mencoba protes, tapi Adrian mengangkat tangannya, menghentikannya.

"Tidak ada tapi-tapian, Helena," potong Adrian dengan tegas. "Clarissa sudah mendapatkan banyak perhatian dari para bangsawan, dan aku tidak ingin terseret dalam skandal yang tidak perlu. Jika ada rumor buruk lagi tentang butik Clarissa, aku akan menganggapmu sebagai dalangnya."

Adrian berbalik dan meninggalkan Helena yang terpaku di tempatnya. Helena merasa dunia runtuh di sekitarnya. Dia tidak menyangka Adrian akan mengancamnya seperti itu.

"Adrian, kau tidak bisa melakukan ini padaku!" teriak Helena, tapi Adrian tidak menghiraukannya. Dia terus berjalan, meninggalkan Helena yang menangis tersedu-sedu.

Helena merasa dikhianati dan ditinggalkan. Dia tidak menyangka Adrian akan lebih memilih Clarissa daripada dirinya. Dia merasa seperti semua rencananya telah gagal.

"Clarissa, kau akan menyesali ini!" desis Helena dengan geram. "Aku akan membuatmu membayar semua ini!"

Baron Frederick, dengan rambut acak-acakan dan kemeja yang tak terkancing, melangkah keluar dari kamar Helena. Matanya terbelalak melihat pemandangan di depannya: 

Helena berdiri di tengah ruangan, wajahnya merah padam karena marah, sementara koin-koin emas berserakan di lantai.

"Helena, ada apa?" tanya Baron Frederick, khawatir.

Helena mendongak, menatap kakaknya dengan mata penuh kebencian. "Jangan ikut campur urusanku, Frederick!" bentaknya, suaranya bergetar karena emosi yang meluap-luap. "Ini bukan urusanmu!"

Baron Frederick terkejut dengan reaksi Helena yang tidak biasa. Dia tidak pernah melihat adiknya semarah ini sebelumnya.

"Helena, tenanglah," bujuk Baron Frederick, mencoba mendekati Helena. "Ceritakan padaku apa yang terjadi."

Helena menepis tangan Baron Frederick dengan kasar. "Pergilah dari sini!" teriaknya lagi, suaranya semakin meninggi. "Aku tidak butuh bantuanmu! Aku bisa menyelesaikan masalahku sendiri!"

Baron Frederick terdiam, tidak tahu harus berbuat apa lagi. Dia melihat Helena yang sedang terluka dan marah, tapi dia juga tidak bisa membiarkan adiknya terus-menerus menyakitinya.

"Helena, aku hanya ingin membantumu," kata Baron Frederick dengan suara lembut. "Aku tidak ingin melihatmu menderita."

Helena tertawa sinis. "Membantuku? Kau pikir kau bisa membantuku? Kau hanya seorang bangsawan jatuh yang tidak punya apa-apa. Kau tidak bisa melakukan apa-apa untukku."

Kata-kata Helena seperti pisau yang menusuk jantung Baron Frederick. Dia merasa terhina dan direndahkan.

"Helena, aku memang bukan bangsawan kaya raya," jawab Baron Frederick dengan suara tenang, "tapi aku mencintaimu. Aku akan melakukan apa saja untukmu."

Helena menatap Baron Frederick dengan tatapan dingin. "Cinta?" tanyanya dengan nada mengejek. "Kau pikir aku percaya dengan omong kosongmu itu? Kau hanya menginginkan diriku, bukan cintaku."

Second Life  Villain's |END|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang