53. Cinta Terlarang

3.6K 90 6
                                    

Hai semuanya! Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca cerita ini.

Jangan lupa untuk mengikuti akun saya dan vote cerita ini jika kalian menikmatinya.

Love you all!

HAPPY READING

*****

Aula istana berkilauan di bawah cahaya lampu kristal yang memantulkan kemegahan acara. Bunga-bunga segar memenuhi setiap sudut, aroma manisnya bercampur dengan wangi parfum para bangsawan yang hadir. 

Gaun-gaun sutra yang berkilauan bergerak mengikuti irama musik yang mengalun lembut, menciptakan suasana yang seharusnya penuh kebahagiaan.

Namun, di tengah kemeriahan itu, Putra Mahkota Edward berdiri di depan altar dengan perasaan yang jauh dari kata bahagia. 

Wajahnya tampan dan anggun, namun senyum yang seharusnya menghiasi bibirnya tak kunjung muncul. Matanya menatap kosong ke arah Putri Isabelle yang berdiri di sampingnya, cantik dan anggun dalam balutan gaun putih berkilau.

Isabelle, yang merasakan ketegangan Edward, menyentuh lengannya dengan lembut. "Yang Mulia Putra Mahkota," bisiknya dengan suara selembut sutra.

"ada apa? Anda terlihat tidak bahagia."

Edward tersentak dari lamunannya, menatap mata Isabelle yang penuh harapan. Dia menghela napas panjang, berusaha mengumpulkan keberanian untuk mengatakan apa yang harus dia katakan.

"Maafkan aku, Isabelle," ucapnya dengan suara lirih, setiap kata terasa berat di lidahnya. 

"Aku tidak bisa melanjutkan pertunangan ini."

Isabelle terkesiap, wajahnya memucat seketika. Senyum di bibirnya menghilang, digantikan oleh ekspresi terkejut dan terluka. "Apa maksudmu, Edward?" tanyanya, suaranya bergetar.

Edward menundukkan kepalanya, tidak sanggup menatap mata Isabelle yang penuh luka. "Aku... aku mencintai wanita lain," jawabnya dengan jujur, meskipun setiap kata terasa seperti pisau yang menyayat hatinya sendiri. 

"Aku tidak bisa menikah denganmu sementara hatiku milik orang lain."

Keheningan yang mencekam menyelimuti aula istana yang megah. Kata-kata Edward menggantung di udara, berat dan tak terbantahkan, seperti bom waktu yang akhirnya meledak. 

Bisikan-bisikan pelan berubah menjadi keheningan yang membeku, setiap pasang mata tertuju pada Putra Mahkota yang berdiri di altar dengan wajah pucat.

Raja Theodore, yang tadinya duduk tegak di singgasananya, kini berdiri dengan rahang mengeras. Wajahnya memerah karena marah, namun ada juga guratan kekecewaan yang tak bisa disembunyikan. 

"Edward, apa yang kau katakan?" tanyanya dengan suara tegas, setiap kata diucapkan dengan penekanan yang jelas. "Kau tidak bisa membatalkan pertunangan ini begitu saja!"

Edward menundukkan kepalanya, tidak berani menatap mata ayahnya. "Maafkan aku, Ayahanda," ucapnya dengan suara lirih.

"Tapi aku tidak bisa menikah dengan Isabelle jika hatiku tidak sepenuhnya untuknya."

Ratu Eleanor, yang selama ini dikenal dengan kelembutannya, melangkah maju dengan langkah anggun namun tegas. Dia menghampiri Edward, lalu menggenggam tangannya dengan lembut. 

"Edward, sayang," katanya dengan suara yang tetap tenang, namun ada nada kecewa yang tersirat, "siapa wanita yang kau cintai?"

Edward terdiam sejenak, bergulat dengan perasaannya sendiri. Dia tahu pengakuannya akan menimbulkan badai di istana, namun dia tidak bisa lagi membohongi dirinya sendiri.

"Aku mencintai Lady Clarissa, Ibu," jawabnya akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar.

Keheningan kembali menyelimuti aula. Nama Clarissa, Duchess of Avalon yang telah meninggal, kini menjadi pusat perhatian. Bisikan-bisikan kembali terdengar, kali ini dipenuhi dengan rasa terkejut dan ketidakpercayaan.

Raja Theodore menatap Edward dengan mata membelalak, "Clarissa? Tapi dia..."

Ratu Eleanor menyela dengan cepat, "Sudah tiada, Yang Mulia." Suaranya terdengar sedih, namun ada juga nada tegas yang ditujukan pada Edward. 

"Edward, kau harus sadar. Clarissa sudah tiada. Kau tidak bisa mencintai orang yang sudah meninggal."

Edward menatap ayahnya dengan tatapan tegas. "Aku tahu, Ayahanda. Tapi aku tidak bisa mengendalikan perasaanku. Aku mencintai Clarissa, dan aku tidak bisa menikah dengan wanita lain."

*****

Helena berjalan dengan angkuh di koridor istana, perutnya yang membuncit menjadi pusat perhatian setiap pasang mata yang ia lewati. Senyum puas tersungging di bibirnya, membayangkan bagaimana Adrian akan segera menjadi miliknya sepenuhnya setelah Clarissa disingkirkan.

Namun, langkahnya yang terburu-buru membuatnya tidak memperhatikan anak tangga marmer yang licin. Kakinya terpeleset, dan ia jatuh terjerembab dengan keras. Jeritannya menggema di koridor yang sunyi, diikuti oleh rasa sakit yang menusuk di perutnya.

Para pelayan yang mendengar jeritan Helena segera berlari menghampirinya. Mereka melihat Helena terbaring di lantai, wajahnya pucat pasi dan darah mengalir di antara kedua pahanya.

"Yang Mulia!" teriak salah satu pelayan, panik. "Cepat panggil tabib!"

Helena dibawa ke kamarnya dan diperiksa oleh tabib istana. Setelah pemeriksaan yang menegangkan, tabib itu menggelengkan kepalanya dengan sedih.

"Maafkan saya, Yang Mulia," ucap tabib dengan suara berat, "tapi bayi Anda tidak bisa diselamatkan."

Helena terkesiap, air mata langsung membanjiri matanya. Dia tidak bisa percaya bahwa dia telah kehilangan bayinya, mimpi indah yang telah dia bangun bersama Adrian hancur berkeping-keping.

"Tidak... ini tidak mungkin..." isaknya, suaranya penuh keputusasaan.

Helena terbaring lemah di ranjangnya, wajahnya pucat pasi. Air mata mengalir tanpa henti di pipinya, membasahi bantal sutra yang mewah. Dia baru saja kehilangan bayinya, mimpi indah yang telah dia bangun bersama Adrian hancur berkeping-keping.

"Ini semua salahmu, Clarissa!" teriak Helena, suaranya bergetar karena amarah dan kesedihan. "Kau membawa kutukan padaku! Kau yang membuatku kehilangan anakku!"

Pelayan pribadinya, Anna, berusaha menenangkan Helena. "Nyonya, tolong tenanglah. Ini bukan salah siapa-siapa. Ini hanya kecelakaan."

"Kecelakaan?" Helena tertawa sinis, suaranya penuh keputusasaan. "Tidak ada yang namanya kecelakaan, Anna. Clarissa pasti telah melakukan sesuatu padaku. Dia pasti telah mengutukku!"

Helena menutup wajahnya dengan kedua tangannya, isakannya memenuhi ruangan. "Aku kehilangan anakku, Anna. Aku kehilangan segalanya."

Anna mengusap punggung Helena dengan lembut, berusaha memberikan kenyamanan. "Nyonya, Anda harus kuat. Anda masih muda. Anda masih bisa memiliki anak lagi."

Helena menggelengkan kepalanya, "Tidak, Anna. Aku tidak akan pernah bisa memiliki anak lagi. Clarissa telah menghancurkan rahimku. Dia telah menghancurkan hidupku."

Helena terisak semakin keras, tubuhnya bergetar hebat. Dia merasa seperti berada di dalam lubang hitam yang gelap dan tak berujung. Dia tidak tahu bagaimana cara melanjutkan hidupnya tanpa anak yang dia dambakan.

"Clarissa, aku akan membalas dendam padamu," bisik Helena dengan suara penuh kebencian. "Aku akan membuatmu membayar atas semua penderitaan ini."

Second Life  Villain's |END|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang