Hai semuanya! Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca cerita ini.
Jangan lupa untuk mengikuti akun saya dan vote cerita ini jika kalian menikmatinya.
Love you all!
HAPPY READING
..........
Hari-hari berlalu bagai bayangan yang menari di balik tirai kamar Clarissa. Ia mengurung diri, menjauhkan diri dari hiruk-pikuk kehidupan istana.
Buku-buku hariannya menjadi teman setia, setiap halamannya menyimpan potongan-potongan kenangan yang kini ia susun kembali dengan cermat.
"Adrian, apakah kau benar-benar mencintaiku?" bisik Clarissa, mengusap tulisan tangannya yang tergores di halaman buku harian.
Ia ingat bagaimana Adrian selalu bersikap dingin dan acuh tak acuh, seolah ada tembok tak terlihat yang memisahkan mereka.
"Kau terlalu polos, Clarissa," suara Helena yang sinis kembali terngiang.
"Kau pikir kau bisa memenangkan hati Duke hanya dengan kecantikanmu? Kau tidak tahu apa-apa tentang permainan cinta di istana ini."
Clarissa mengepalkan tangannya, menahan gejolak emosi yang bergejolak di dadanya. Ia membaca kembali surat-surat yang pernah ia terima dari Adrian, mencari tanda-tanda kasih sayang yang mungkin ia lewatkan sebelumnya.
Namun, yang ia temukan hanyalah kata-kata formal dan basa-basi yang tak menyentuh hati.
Tak hanya itu, Clarissa juga menyelidiki setiap interaksi yang pernah ia saksikan antara Adrian dan Helena.
Ia ingat bagaimana tatapan mereka bertemu diam-diam di pesta dansa, bagaimana Helena selalu berada di sisi Adrian saat ia membutuhkan dukungan.
"Mungkinkah mereka berselingkuh?" gumam Clarissa, hatinya terasa seperti diremas. Ia merasa bodoh karena tidak menyadari hal ini sebelumnya.
Ia terlalu dibutakan oleh cintanya yang tak berbalas pada Adrian.
Semakin dalam Clarissa menyelami kenangannya, semakin banyak ia menemukan petunjuk yang sebelumnya ia abaikan.
Ia mulai melihat pola, menghubungkan titik-titik yang selama ini terpisah. Dan saat semua potongan itu menyatu.
Clarissa tersadar bahwa ia telah menjadi korban konspirasi yang jauh lebih besar daripada yang ia bayangkan.
Cahaya lilin berkelap-kelip menerangi wajah Clarissa yang kini dipenuhi tekad. Buku-buku harian dan surat-surat berserakan di meja, bagaikan kepingan puzzle yang menunggu untuk disusun.
Ia menghela napas panjang, jari-jarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan ritme yang teratur.
"Mereka pikir mereka bisa menghancurkan hidupku dan lolos begitu saja?" gumam Clarissa, suaranya bergetar menahan amarah.
"Mereka salah besar."
Matanya beralih pada cermin di seberang ruangan, menatap pantulan dirinya dengan sorot mata yang tajam.
"Aku tidak akan menjadi korban lagi," janjinya pada diri sendiri. "Aku akan menjadi pemain, dan aku akan memenangkan permainan ini."
Clarissa mulai menyusun rencana. Ia tahu bahwa ia tidak bisa gegabah. Ia harus bermain dengan hati-hati, langkah demi langkah, untuk mencapai tujuannya.
"Pertama, aku harus mendapatkan kepercayaan Adrian," pikirnya. "Aku harus menjadi istri yang sempurna, istri yang tidak bisa ia tolak."
Clarissa tersenyum miring. Ia tahu bahwa Adrian adalah pria yang mudah tergoda oleh pesona wanita. Ia akan menggunakan kecantikannya sebagai senjata, memikat Adrian hingga ia takluk di bawah kakinya.
"Tapi itu saja tidak cukup," lanjutnya. "Aku harus mengungkap kebenaran di balik konspirasi yang menimpanya. Aku harus menemukan bukti-bukti yang kuat untuk membersihkan namaku."
Clarissa mulai membuat daftar orang-orang yang mungkin terlibat dalam konspirasi tersebut. Ia akan menyelidiki mereka satu per satu, mencari kelemahan mereka.
..........
Mentari pagi menyelinap masuk melalui celah-celah jendela, membangunkan Clarissa dari tidurnya. Ia bangkit dari tempat tidur, meregangkan tubuhnya yang terasa kaku setelah semalaman berkutat dengan buku-buku. Hari ini, ia akan memulai latihannya.
"Nyonya Muda, apakah Anda sudah siap untuk pelajaran etiket hari ini?" tanya pelayan pribadinya, Mary, sambil membawakan gaun sutra berwarna biru langit.
"Tentu saja, Mary," jawab Clarissa sambil tersenyum manis.
"Aku sudah tidak sabar untuk belajar lebih banyak tentang tata krama istana."
Clarissa tahu bahwa untuk mencapai tujuannya, ia harus menguasai seni berpura-pura. Ia harus bisa menyembunyikan niat sebenarnya di balik topeng seorang duchess yang anggun dan berwibawa.
"Nyonya Muda, ingatlah untuk selalu menjaga postur tubuh Anda tegak dan anggun," instruksi Madame Dubois, guru etiket yang disewa oleh keluarganya.
"Dan jangan lupa untuk tersenyum dengan tulus, bahkan ketika Anda merasa tidak nyaman."
Clarissa mengangguk patuh, mengikuti setiap instruksi Madame Dubois dengan seksama. Ia belajar cara berjalan dengan anggun, cara berbicara dengan sopan, dan cara bersikap di meja makan.
Ia juga belajar tentang sejarah dan politik kerajaan, agar ia bisa berpartisipasi dalam percakapan dengan para bangsawan lainnya.
"Kau sangat cepat belajar, Nyonya Muda," puji Madame Dubois suatu hari.
"Aku yakin kau akan menjadi duchess yang sempurna."
Clarissa tersenyum tipis. Ia tahu bahwa pujian itu hanyalah basa-basi, namun ia tetap merasa puas dengan kemajuannya.
Ia semakin percaya diri dengan kemampuannya untuk beradaptasi di lingkungan istana yang penuh intrik dan persaingan.
Selain belajar etiket, Clarissa juga mulai mengumpulkan informasi tentang musuh-musuhnya. Ia memanfaatkan jaringan pertemanannya yang terbatas untuk mencari tahu tentang kelemahan Baroness Helena, rahasia gelap Duke Adrian, dan motif-motif tersembunyi dari para bangsawan lainnya.
"Nyonya Muda, apakah Anda yakin ingin mengetahui hal ini?" tanya Mary suatu malam, ragu-ragu untuk menyampaikan informasi yang ia dapatkan dari salah satu pelayan istana.
"Tentu saja, Mary," jawab Clarissa dengan tegas.
"Setiap informasi, sekecil apapun, bisa menjadi senjata yang berguna."
Clarissa mendengarkan dengan saksama setiap detail yang diceritakan Mary, menyusun potongan-potongan informasi itu menjadi gambaran yang lebih jelas tentang musuh-musuhnya.
Ia tahu bahwa ia harus siap menghadapi segala kemungkinan, dan ia tidak akan membiarkan siapa pun menghalangi jalannya menuju balas dendam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Life Villain's |END|
RomantizmClarissa, Duchess of Avalon, terbangun dari mimpi buruk eksekusinya, hanya untuk menemukan dirinya kembali ke hari pernikahannya dengan Duke Adrian. Dulu, dia sangat mencintainya, meski Adrian pria yang dingin dan membencinya. Namun, dengan kesempat...