19. Khawatir

4.8K 169 0
                                    

Hai semuanya! Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca cerita ini.

Jangan lupa untuk mengikuti akun saya dan vote cerita ini jika kalian menikmatinya.

Love you all!

HAPPY READING

Keheningan yang canggung menyelimuti ruang makan pribadi Duke dan Duchess of Avalon. Hanya dentingan sendok dan garpu yang memecah kesunyian di antara mereka. 

Adrian duduk tegak di kursinya, wajahnya dingin dan tanpa ekspresi, matanya tertuju pada piring di hadapannya. Clarissa, di seberangnya, mengamati suaminya dengan senyum tipis yang menggoda.

"Adrian, sayang," Clarissa memulai percakapan dengan suara lembut yang sengaja dibuat menggoda, "aku sudah mengupas apel untukmu. Maukah kau mencicipinya?"

Adrian melirik sekilas ke arah piring apel yang disodorkan Clarissa, lalu kembali fokus pada makanannya sendiri. "Tidak," jawabnya singkat, tanpa mengangkat kepalanya. "Aku bisa mengupasnya sendiri."

Clarissa tidak menyerah. Dia mencondongkan tubuhnya ke depan, menopang dagunya dengan tangan, dan menatap Adrian dengan mata biru yang berbinar. "Oh, ayolah, Adrian," rayunya, "Aku sudah bersusah payah mengupasnya untukmu. Tidakkah kau ingin menghargai usahaku?"

Adrian mendongak, menatap Clarissa dengan tatapan dingin. "Clarissa," katanya dengan nada tegas, "aku sudah bilang aku bisa melakukannya sendiri. Aku tidak butuh bantuanmu."

Clarissa tidak terpengaruh oleh sikap dingin Adrian. Dia malah semakin mendekat, suaranya semakin menggoda. "Kau yakin, Adrian? Aku bisa membuat apel ini terasa lebih manis daripada yang pernah kau rasakan sebelumnya."

Adrian mengepalkan tangannya di bawah meja, berusaha menahan amarahnya. "Clarissa, jangan membuatku semakin marah. Pergilah dari sini."

Clarissa tertawa kecil, lalu berdiri dari kursinya dan berjalan ke arah Adrian. Dia berhenti tepat di belakang kursi Adrian, lalu meletakkan tangannya di bahu Adrian.

"Aku tidak akan pergi sampai kau mencicipi apel ini, Adrian," bisiknya di telinga Adrian, suaranya lembut namun tegas.

Adrian, yang merasa lelah berdebat, akhirnya mengalah. Dia mengambil sepotong apel dari piring yang disodorkan Clarissa, lalu menggigitnya dengan gerakan kaku.

Clarissa tersenyum puas. "Bagaimana rasanya, Adrian?" tanyanya dengan nada menggoda.

Adrian tidak menjawab, hanya terus mengunyah apel dengan ekspresi datar.

Clarissa tidak menyerah. Dia terus menggoda Adrian dengan kata-kata manis dan sentuhan-sentuhan kecil. Dia mengusap lengan Adrian, membelai rambutnya.

Adrian berusaha mengabaikan godaan Clarissa, tapi dia tidak bisa menyangkal bahwa dia terpengaruh. Wajahnya mulai memerah, dan napasnya menjadi tidak teratur.

"Clarissa, hentikan ini," desisnya. "Kau membuatku tidak nyaman."

Clarissa tertawa kecil. "Oh, Adrian," katanya dengan nada menggoda, "kau tidak perlu berpura-pura. Aku tahu kau menyukainya."

"Menyukai apa?" tanya Adrian, berusaha mempertahankan sikap dinginnya.

"Ciumanku semalam," jawab Clarissa dengan berani.

Wajah Adrian semakin memerah. Dia tidak bisa melupakan ciuman Clarissa yang tiba-tiba di ruang kerjanya tadi malam. Ciuman itu telah membangkitkan perasaan yang selama ini dia coba kubur dalam-dalam.

Clarissa tersenyum puas melihat reaksi Adrian. Dia mengambil pisau dan hendak memotong apel lagi, tapi tiba-tiba jarinya tergores pisau. Darah segar menetes dari lukanya.

"Aduh!" Clarissa meringis kesakitan, tanpa sengaja menjatuhkan pisau ke lantai.

Adrian melirik sekilas ke arah Clarissa, lalu kembali fokus pada makanannya. "Itu salahmu sendiri," katanya dingin. "Kau seharusnya lebih berhati-hati."

Clarissa menatap Adrian dengan mata berkaca-kaca. "Adrian, tolong obati lukaku," pintanya dengan suara lirih. "Sakit sekali."

Adrian tidak menghiraukan permintaan Clarissa. Dia terus makan dengan tenang, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Clarissa tidak bisa menahan air matanya lagi. Dia mulai menangis pelan, bahunya bergetar.

Adrian akhirnya menoleh, menatap Clarissa dengan tatapan jijik. "Berhentilah menangis, Clarissa," katanya dengan nada menghina. "Kau sama sekali tidak cocok bertingkah kekanak-kanakan seperti ini. Menjijikkan."

Kata-kata Adrian yang kasar membuat Clarissa semakin terluka. Dia menatap Adrian dengan mata penuh kebencian.

"Kau kejam, Adrian!" teriak Clarissa. "Kau jahat!"

Adrian terdiam sejenak, mengamati air mata yang mengalir di pipi Clarissa. Meskipun dia berusaha keras untuk tetap acuh, ada sesuatu di dalam dirinya yang terusik melihat istrinya menangis.

"Diamlah," katanya akhirnya, suaranya sedikit melunak. "Aku tidak suka kebisingan."

Clarissa tidak berhenti menangis, malah isakannya semakin keras. "Kau jahat, Adrian! Kau tidak peduli padaku!"

Adrian menghela napas panjang, lalu dengan gerakan tiba-tiba, dia menarik tangan Clarissa dan memeriksa lukanya. Luka itu memang kecil, tapi cukup dalam dan mengeluarkan darah segar.

"Pelayan!" panggil Adrian dengan suara lantang. "Bawakan kapas dan alkohol!"

Pelayan, yang sedari tadi berdiri di sudut ruangan dengan cemas, segera bergegas mengambil kotak P3K.

Clarissa menatap Adrian dengan mata berkaca-kaca. "Adrian, bolehkah aku duduk di pangkuanmu?" tanyanya dengan suara lirih.

"Tidak," jawab Adrian tegas, tanpa mengangkat kepalanya.

Clarissa hampir menangis lagi, tapi dia berhasil menahannya. Dia tidak ingin membuat Adrian semakin kesal.

Adrian, yang melihat ekspresi Clarissa, akhirnya mengalah. Dia menepuk pahanya, memberi isyarat agar Clarissa duduk di sana.

Clarissa tersenyum, lalu dengan hati-hati duduk di pangkuan Adrian, menyandarkan kepalanya di bahu Adrian.

"Apa kau hanya berpura-pura terluka agar bisa melakukan ini?" tanya Adrian sinis.

Clarissa menggelengkan kepalanya, lalu membenamkan wajahnya di dada Adrian. "Tidak, Adrian," jawabnya dengan suara teredam. "Aku benar-benar sakit."

Pelayan, yang melihat adegan itu, bergidik ngeri. Dia teringat pada masa lalu ketika Clarissa tidak segan-segan menyakiti orang lain untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.

"Nyonya Clarissa aneh," gumam pelayan dalam hati. "Dia bisa berubah menjadi manis dan polos dalam sekejap mata."

Namun, pelayan juga melihat ada sesuatu yang berbeda dalam diri Clarissa kali ini. Clarissa terlihat tulus dan rapuh, tidak seperti biasanya yang selalu penuh perhitungan.

"Mungkin Nyonya Clarissa benar-benar sakit," pikir pelayan. "Atau mungkin dia sedang memainkan permainan baru."

Pelayan menggelengkan kepalanya, tidak bisa menebak apa yang sebenarnya ada di pikiran Clarissa. Dia hanya bisa berharap yang terbaik untuk Duke dan Duchess of Avalon.

Second Life  Villain's |END|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang