11. Kejahatan Masa Lalu

4.2K 170 2
                                    

Hai semuanya! Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca cerita ini.

Jangan lupa untuk mengikuti akun saya dan vote cerita ini jika kalian menikmatinya.

Love you all!

HAPPY READING

..........

Clarissa berjalan menyusuri koridor yang sunyi, hatinya masih dipenuhi dengan rasa sakit dan kekecewaan. Tiba-tiba, sosok seorang pelayan muda yang sedang membersihkan lantai menarik perhatiannya. Gadis itu memiliki rambut pirang yang diikat ekor kuda dan mata cokelat yang besar, mengingatkan Clarissa pada seseorang dari masa lalunya.

Flashback

Ruangan itu dipenuhi dengan teriakan marah Clarissa. Seorang pelayan muda, gemetar ketakutan, berlutut di hadapannya. Teh yang tumpah membasahi karpet mewah, noda cokelat yang mencolok.

"Kau pelayan bodoh!" Clarissa membentak, suaranya bergema di ruangan. "Bagaimana bisa kau sebodoh ini? Lihat apa yang kau lakukan pada karpetku yang mahal!"

Pelayan muda itu terisak, air matanya mengalir deras. "Maafkan saya, Nyonya," ucapnya dengan suara terbata-bata. "Saya tidak sengaja."

"Tidak sengaja?" Clarissa mendengus sinis. "Kau selalu saja membuat kesalahan! Kau tidak berguna!"

Clarissa menampar pipi pelayan itu dengan keras, meninggalkan bekas merah yang menyala. Pelayan itu terhuyung ke belakang, menahan isak tangisnya.

"Pergi dari sini!" perintah Clarissa dengan kejam. "Dan jangan pernah muncul di hadapanku lagi!"

Flashback berakhir

Clarissa merasakan mual yang hebat. Kenangan itu begitu jelas, begitu nyata, seolah-olah baru saja terjadi kemarin. Dia ingat bagaimana dia memperlakukan pelayan-pelayannya dengan kejam dan tanpa belas kasihan. Dia ingat bagaimana dia menikmati kekuasaan dan merasa superior atas mereka.

"Oh Tuhan," bisik Clarissa, tangannya gemetar. "Aku benar-benar monster."

Dia merasa jijik pada dirinya sendiri, pada Clarissa yang dulu. Bagaimana dia bisa begitu kejam dan tidak berperasaan? Bagaimana dia bisa menyakiti orang lain tanpa rasa bersalah?

Clarissa menutup matanya, berusaha menenangkan diri. Dia tahu dia tidak bisa mengubah masa lalu, tapi dia bisa belajar dari kesalahannya.

Kelelahan fisik dan emosional akhirnya mengalahkan Clarissa. Dia tertidur di sofa ruang kerjanya, buku-buku berserakan di sekitarnya. Namun, tidurnya tidaklah nyenyak. Bayang-bayang masa lalu kembali menghantuinya dalam mimpi yang mengerikan.

Dalam mimpi itu, Clarissa berada di ruang bawah tanah yang gelap dan lembab. Para pelayan yang pernah dia sakiti berdiri mengelilinginya, wajah mereka dipenuhi kebencian dan dendam. Mereka menyeret Clarissa, mengikatnya di kursi, dan mulai menyiksanya dengan cara yang sama seperti yang pernah Clarissa lakukan pada mereka.

"Ini balasanmu, Nyonya!" teriak salah satu pelayan sambil menampar wajah Clarissa dengan keras.

"Rasakan penderitaan yang sama seperti yang kami rasakan!" seru pelayan lain sambil menjambak rambut Clarissa.

Clarissa menjerit kesakitan, air mata mengalir deras di pipinya. Dia memohon ampun, tapi mereka tidak mendengarkan. Mereka terus menyiksanya, tanpa belas kasihan.

"Tolong hentikan!" teriak Clarissa dalam mimpi. "Aku menyesal! Aku benar-benar menyesal!"

Tapi teriakannya hanya sia-sia. Para pelayan terus menyiksanya, dan rasa sakitnya semakin tak tertahankan.

Clarissa terbangun dengan keringat dingin membasahi tubuhnya. Dia terengah-engah, jantungnya berdebar kencang. Dia melihat sekeliling, lega karena menyadari bahwa itu hanya mimpi.

Namun, rasa takut dan bersalah masih menghantuinya. Mimpi itu terasa begitu nyata, begitu mengerikan. Clarissa tidak bisa berhenti memikirkan betapa kejamnya dia di masa lalu.

"Aku pantas mendapatkan hukuman ini," gumamnya, air mata mengalir lagi. "Aku benar-benar monster."

Ruang makan para pelayan di Avalon Manor dipenuhi aroma roti panggang yang baru keluar dari oven dan teh hangat yang mengepul. Namun, suasana di ruangan itu jauh dari kata hangat. Para pelayan berbisik-bisik, mata mereka melirik ke arah pintu yang tertutup rapat, tempat Clarissa biasanya makan bersama mereka.

"Aku tidak mengerti," bisik Lily, pelayan muda yang baru beberapa bulan bekerja di sana. "Mengapa Nyonya Duchess tiba-tiba berubah menjadi begitu baik?"

Daisy, pelayan tua yang sudah mengabdi pada keluarga Duke selama bertahun-tahun, menghela napas panjang. "Kalian tidak tahu bagaimana Nyonya Duchess dulu," katanya dengan suara rendah. "Dia kejam dan tidak berperasaan."

Para pelayan muda yang lain menatap Daisy dengan mata terbelalak. Mereka tidak bisa membayangkan Clarissa yang selalu tersenyum dan ramah bisa bersikap seperti itu.

"Benarkah?" tanya Lily dengan nada tak percaya. "Tapi dia terlihat begitu lembut sekarang."

Daisy menggelengkan kepalanya. "Itu hanya topeng, Nak," katanya dengan nada sedih. "Aku tidak akan pernah melupakan bagaimana dia pernah mencambuk seorang pelayan hanya karena menumpahkan teh di gaunnya."

Para pelayan muda bergidik ngeri. Mereka tidak bisa membayangkan kekejaman seperti itu.

"Dan itu belum seberapa," lanjut Daisy. "Kalian tahu, Nyonya Duchess menyaksikan sendiri bagaimana ibunya disiksa oleh ayahnya. Siksaan itu sangat parah, meninggalkan bekas luka di sekujur tubuhnya."

Para pelayan ternganga, tidak bisa berkata-kata. Mereka tidak pernah tahu tentang masa lalu Clarissa yang kelam.

"Itulah mengapa dia menjadi seperti itu," Daisy mengakhiri ceritanya. "Dia belajar kekejaman dari ayahnya."

Keheningan menyelimuti ruangan. Para pelayan muda terdiam, pikiran mereka dipenuhi dengan rasa iba dan simpati pada Clarissa. Mereka mulai mengerti mengapa Clarissa bersikap seperti itu di masa lalu.

"Tapi... dia sudah berubah sekarang," kata Lily dengan suara pelan. "Mungkin dia benar-benar menyesali perbuatannya."

Daisy tersenyum tipis. "Aku harap begitu, Nak," katanya. "Aku harap dia bisa menemukan kebahagiaan yang selama ini dia cari."

Para pelayan lain mengangguk setuju. Mereka semua berharap Clarissa bisa melupakan masa lalunya yang kelam dan memulai hidup baru yang lebih baik.

Second Life  Villain's |END|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang