EOTH; 30

336 49 6
                                    

30; Kau Bisa Memanggilku Ibu

•chapter thirty; start•

"Om? Bunda Jiwon pasti cowok kan?"

Jeongwoo menatap keponakannya itu yang sibuk dengan tugas sekolahnya. Jiwon duduk memungunginya, sedangkan dirinya tengah merebahkan diri di atas ranjang milik keponakannya ini. Tentu saja alisnya mengkerut, pertanyaan macam apa ini?

"Maksud Jiwon?"

Kerdikkan bahu terlihat, "Aimofagos kan cowok semua, jadi bunda pasti juga cowok kan om?"

"Kamu kenapa? Sini cerita sama om, nggak biasanya kamu nanya-nanya kayak gini." ujar Jeongwoo hingga kini Jiwon membalikkan badannya dan menatap pamannya datar.

"Om punya fotonya bunda enggak?" tanya Jiwon langsung tanpa berbasa-basi.

"Jiwon?"

Meletakkan bolpoinnya sedikit kasar di atas meja, Jiwon lebih memilih pergi dari kamarnya. Meninggalkan Jeongwoo yang terdiam bingung ingin melakukan apa. Ayolah, setelah 17 tahun lamanya Jeongwoo ikut merawat Jiwon, tak pernah sekalipun anak itu menanyakan siapa ibunya. Dan hal apa yang membuat Jiwon bertanya seperti itu?

Menggeleng menghalau lamunan yang hampir memakannya, Jeongwoo segera menyusul mencari kemana keponakannya itu pergi. Ia bisa menghela nafas lega disaat ia menemukan atensi Jiwon yang sedang duduk di pantry dapur seraya meminum coklat panas di bawah lampu temaram.

"Lagi ada masalah ya?" tanya Jeongwoo menghampiri Jiwon dan mengambil segelas air untuk ia tenggak.

Jiwon menatap Jeongwoo untuk beberapa saat dan kembali mengalihkan pandangannya, "Enggak."

Jeongwoo terkekeh, "Kamu nggak bisa bohong sama om, kamu kenapa?"

"Jiwon gapapa om."

"Tapi kenapa kamu tiba-tiba nanyain hal kayak gitu?" kali ini pertanyaan Jeongwoo hanya dijawab keheningan yang tidak mengenakkan. Jiwon diam, dengan kepala tertunduk seolah pertanyaan Jeongwoo begitu menusuk hatinya.

Jiwon akhirnya berujar lirih, "Apa salah kalo Jiwon pengen tau siapa bunda Jiwon?"

"Jiwon, dengerin om ya?" balas Jeongwoo.

Jeongwoo menarik salah satu kursi untuk ia duduki, "Maaf banget om nggak bisa jawab pertanyaan kamu... Karena yang berhak jawab cuma ayah kamu, Jiwon."

"Om nggak punya hak buat jelasin semua ini." lanjutnya.

Jiwon terkekeh miris, "Dan mustahil ayah bakal jawab pertanyaan Jiwon."

Jeongwoo menggeleng tak setuju, "Bukan mustahil, melainkan ini belum waktunya kamu buat tau."

"Sampe kapan om? Mau nunggu Jiwon sebesar apa buat tau siapa bunda Jiwon?" tanyanya.

Jiwon menahan gejolak amarahnya yang entah karena apa, "Jiwon emang munafik om. Jiwon selalu bilang ke ayah buat jangan nyari istri baru, tapi Jiwon juga nggak bisa bohong kalo Jiwon kangen bunda. Jiwon cuma mau bunda, om paham kan apa yang Jiwon maksud?"

"Jadi tolong om, kasih tau siapa bunda Jiwon. Om pasti juga tau kan siapa bunda?" lanjut Jiwon memohon.

"Jiwon-"

"Jelasin aja woo, dia udah berhak tau." suara Jihoon tiba-tiba mendapatkan atensi sepenuhnya dari dua aimofagos disana.

Seolah yang diucapkannya bukanlah hal besar, Jihoon justru berlalu memasuki dapur untuk membuat kopi hitam. Terlihat tak peduli dengan adik dan putranya, yang sebenarnya kini degup jantungnya berdetak kencang. Bahkan samar-sama kedua air matanya mulai menggenang, ketakutan bahwa Jiwon akan membencinya setelah ini seketika hadir di dalam benaknya.

Ending of The HellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang