EOTH; 39

276 45 11
                                    

39; Mata Itu Telah Memejam

•chapter thirty nine; start•

Junkyu menatap Jeongwoo dengan tajam, mengapa aimofagos ini begitu menyebalkan?

"Lo memang pembuat onar Kim Junkyu." ujar Jeongwoo disaat menyadari bahwa mereka berdua saat ini menjadi bahan tontonan dan pusat perhatian dari para manusia yang mengintip di celah cahaya.

"Mending lo minggir sekarang, lo nggak perlu ikut campur!" balas Junkyu yang sebenarnya saat ini begitu ketakutan.

"Apa yang mau lo lakuin? Setelah lo mau nyoba bunuh anak lo sendiri, lo mau bunuh seluruh manusia karena ulah lo yang ngebongkar identitas lo sendiri?"

Pertanyaan Jeongwoo sontak membuat seluruh manusia disana merinding, ketakutan jika apa yang dikatakan aimofagos ini benar-benar akan terjadi. Bahkan ada yang berteriak tertahan karena terkejut dengan ujaran Jeongwoo mengenai ajal.

"Minggir, atau lo yang bakal gue bunuh." ujar Junkyu yang dibalas tawa lebar oleh Jeongwoo.

"Ayo kita liat siapa yang akan gugur disini..?"

•••

Tangan dingin itu menyentuh lengan Jihoon dengan begitu lembut dan basah oleh keringat kesakitan. Jiwon menatap ibunya dengan sisa kesadaran yang kian menipis. Senyuman tulus terbit diwajah tampannya, ia begitu menyayangi pria yang merupakan ibunya ini.

Jihoon balas menggenggam tangan dingin itu dan beberapa kali membubuhkan kecupan di punggung tangannya, "Bertahan sebentar lagi, kita hampir sampe..."

"Bunda..." panggil Jiwon lirih bahkan hampir tak terdengar.

Sebelah tangan Jihoon yang sebelumnya menggenggam tangan putranya kini berganti mengusap rambut berkeringat Jiwon, "Iya bunda disini Jiwon, tolong bertahan sebentar lagi. Bunda yakin kamu kuat."

Jiwon menggeleng, "Jiwon sayang bunda..."

"Bunda juga sayang Jiwon, bertahan sebentar lagi ya nak? Maafin bunda..." balas Jihoon dengan suara yang bergetar.

"Bunda... Tetap hidup ya demi Jiwon?" ujarnya dengan mata yang mulai memejam.

Jihoon tak dapat membuka suara lagi, seakan semua kata-kata yang ingin ia ucapkan terhenti pada kerongkongan. Nafasnya tercekat, ia tidak bisa melakukan apapun lagi.

"Jiwon bertahan ya?" mohon Jihoon kembali mengecupi tangan putranya.

Tak ada lagi jawaban yang terdengar, Jihoon membiarkan air matanya mengalir deras di sepanjang jalan. Tangannya memukuli setir mobil dengan kencang, rasa sakit itu sangat menyiksanya. Dengan perlahan mobil itu berhenti di tepi jalan, tangis Jihoon meledak saat itu juga.

Jihoon melepaskan sabuk pengamannya, segera membawa tubuh yang tak lagi bernyawa itu ke dalam dekapannya. Mengecupi pucuk kepala putranya yang telah tiada beberapa saat lalu, serasa ribuan tombak menghujam hatinya. Jihoon semakin memperat pelukannya, menenggelamkan wajah Jiwon yang telah kehilangan senyumannya di celah lehernya.

Mengapa harus seperti ini? Mengapa harus Jiwon yang dewa ambil?

"Nggak, Jiwon jangan tinggalin bunda..." tangisnya.

•••

"Maaf ayah, tadi Jiwon harus nganterin temen Jiwon pulang dulu."

Ending of The HellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang