Cahaya dalam Kegelapan

4 3 0
                                    

🕊🕊🕊🌹🌹🌹🪞🪞🪞

______________
______________

Hasana, yang saat itu baru berusia beberapa tahun, merasakan adanya perubahan yang berat dalam suasana rumah mereka. Meskipun usianya masih sangat muda, Hasana adalah anak yang peka. Ia bisa merasakan ketika ada sesuatu yang tidak beres, dan perubahan di rumah mulai membuatnya gelisah. Belakangan ini kesehatan Ibu Melati mulai memburuk saat mengandung anak kedua, sebuah perubahan yang tidak bisa diabaikan oleh siapa pun di keluarga Iswari.

Sebelumnya, Ibu Melati selalu tampak penuh semangat, senyumannya menjadi cahaya dalam kehidupan sehari-hari keluarga mereka. Namun, seiring waktu, senyuman itu mulai memudar, digantikan oleh raut wajah yang pucat dan lelah. Hasana sering melihat ibunya terbaring lemah di tempat tidur, sebuah pemandangan yang sangat berbeda dari ibunya yang dulu selalu aktif dan penuh kasih.

Meski Hasana masih kecil, ia bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Ia mulai lebih sering mendekati ibunya, menatap wajahnya dengan mata polos yang dipenuhi dengan kekhawatiran. Setiap kali ia melihat ibunya terbaring di tempat tidur, Hasana selalu menggenggam tangan ibunya dengan lembut, seolah-olah berharap sentuhan kecil itu bisa memberikan kekuatan yang dibutuhkan oleh ibunya.

"Ibu, kenapa Ibu sering tidur?" tanya Hasana dengan nada lembut, penuh dengan kepolosan dan rasa penasaran.

Ibu Melati menoleh pelan ke arah putrinya, berusaha menyembunyikan rasa lelah yang terasa di setiap bagian tubuhnya. Ia tersenyum kecil, berusaha memberikan ketenangan kepada Hasana meskipun dirinya sendiri sedang merasa sangat lemah. "Ibu sedang tidak enak badan, Sayang. Ibu perlu banyak istirahat," jawab Ibu Melati dengan suara lemah namun penuh kehangatan, terbalut kelembutan seorang ibu.

Hasana menatap ibunya lebih lama, masih menggenggam tangan ibunya erat-erat. "Kalau Ibu istirahat, apa Ibu akan cepat sembuh?" tanyanya lagi yang penuh dengan harapan.

Ibu Melati tersenyum lagi, kali ini senyumnya lebih lebar. "Iya, Hasana. Ibu akan cepat sembuh kalau banyak istirahat," jawabnya, meski ada keraguan dalam hatinya.

Hasana menunduk sejenak, lalu kembali menatap ibunya dengan mata penuh tekad. "Kalau begitu, Hasana akan menjaga Ibu supaya Ibu bisa istirahat dengan baik," ucapnya dengan penuh kepolosan dan keteguhan. Suaranya juga erdengar tegas untuk anak seusianya.

Mendengar itu, Ibu Melati merasa hatinya hangat. Ia mengangkat tangan yang lain dan dengan lembut membelai rambut putrinya. "Terima kasih banyak Hasana. Hasana selalu menjadi anak yang baik," katanya Ibu Melati penuh rasa syukur dan kasih sayang yang mendalam.

Hasana tersenyum kecil, lalu memeluk ibunya dengan hati-hati. "Ibu harus cepat sembuh ya, supaya kita bisa main lagi di kebun," ucap Hasana terdengar penuh harapan.

Ibu Melati mengangguk perlahan, meski di dalam hatinya ia menyadari betapa sulitnya hal itu. Namun, ia tidak ingin memadamkan semangat putrinya. "Ibu akan berusaha, Hasana," jawabnya dengan lembut, penuh cinta dan tekad yang kuat meskipun tubuhnya semakin melemah.

Dalam momen sederhana itu, meskipun kecil, Hasana menunjukkan betapa besar kepeduliannya terhadap ibunya. Ia mungkin tidak mengerti semua yang terjadi, tetapi ia tahu satu hal: ia ingin ibunya sehat kembali, dan ia akan melakukan apa saja untuk membantu mewujudkannya.

Sementara itu, Bapak Jaya, yang selalu penuh semangat bekerja di ladang dan proyek bangunan, tampak semakin cemas dan lelah. Pekerjaan yang ia lakukan menjadi semakin berat, bukan hanya karena beban fisik, tetapi juga karena kekhawatiran yang terus menggerogoti hatinya. Setiap hari, setelah pulang bekerja, ia langsung menuju ke kamar istrinya, duduk di samping tempat tidurnya, dan menggenggam tangannya dengan erat. Rasa lelah yang terlihat di wajahnya tak bisa disembunyikan, tetapi ia selalu berusaha menunjukkan senyuman untuk menguatkan istrinya.

Jejak Takdir dalam Keheningan: Cinta Abadi Jiwa KembarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang