Bersama Angin dan Waktu III

5 3 0
                                    

Beberapa hari setelah meninggalnya Bapak Jaya, suasana rumah terasa sunyi dan berat. Hasana dan Kesyaira masih berusaha menerima kenyataan bahwa ayah mereka telah tiada. Namun, hidup harus terus berjalan. Bibi Ratri, dengan penuh perhatian, mengambil alih tanggung jawab dan segera mendaftarkan Hasana ke SMP elite dengan kualitas terbaik di kota, melalui jalur beasiswa prestasi.

Proses pendaftaran berjalan lancar, dan tak lama kemudian, kabar baik pun tiba. Hasana diterima di sekolah tersebut dan berhasil mendapatkan beasiswa penuh. Meskipun hatinya masih berat karena kehilangan ayahnya, ada sedikit rasa lega dan bangga dalam diri Hasana. Ia tahu bahwa ini adalah langkah penting untuk masa depannya, sesuatu yang akan membuat Bapak Jaya bangga jika masih ada.

Setelah menerima kabar gembira itu, Bibi Ratri mengajak Hasana pulang. Setibanya di rumah, suasana lebih cerah dari sebelumnya. Di halaman belakang, Nenek Usmika, Paman Aditya, dan Kesyaira sudah menunggu dengan senyuman hangat. Di meja, mereka telah memotong beberapa buah semangka segar, siap dinikmati bersama.

"Hasana, selamat ya! Kamu diterima di sekolah baru," kata Paman Aditya sambil menyodorkan sepotong semangka kepada Hasana.

"Terima kasih, Paman," jawab Hasana sambil menerima semangka itu. Meskipun senyum di wajahnya tipis, ada perasaan hangat yang mengalir dalam hatinya.

"Ini adalah awal baru, Hasana," tambah Nenek Usmika, dengan lembut mengusap kepala Hasana. 

Kesyaira yang duduk di samping Hasana ikut tersenyum, walaupun matanya masih terlihat sedikit sembab. "Mbak Hasana, nanti kalau kamu sekolah di sana, pasti banyak teman baru yang baik, kan?"

Hasana menatap adiknya dan mengangguk pelan. "Iya, Kesyaira. Aku akan berusaha sebaik mungkin di sana."

Bibi Ratri yang duduk di seberang meja menambahkan, "Kita semua di sini akan selalu mendukungmu, Hasana. Apa pun yang terjadi, kamu tidak sendirian."

"Yosh, sekarang ayo makan semangkanya," kata Paman Aditya dengan ceria, mencoba mengangkat suasana hati.

Kesyaira tersenyum lebar dan dengan antusias mengambil sepotong semangka dari meja. "Aku sudah sangat lapar! Semangka ini pasti enak."

Hasana mengikuti, meskipun senyumnya masih terlihat lemah. Ia mengambil sepotong semangka dan menggigitnya, rasanya yang manis sedikit meringankan beban di hatinya. Nenek Usmika duduk di sampingnya, membagikan potongan semangka dengan hati-hati, sementara Bibi Ratri dan Paman Aditya saling bercerita tentang kenangan indah dan lelucon ringan.

"Mbak Hasana, kita harus merayakan pencapaianmu ini!" ujar Kesyaira sambil menikmati semangka. "Ini adalah langkah besar untukmu."

"Terima kasih, Kesyaira," jawab Hasana dengan suara lembut. "Aku hanya berharap bisa membuat semua orang bangga."

Mereka semua tertawa ringan, suasana di sekitar meja terasa lebih hangat. Meskipun kesedihan masih ada, kebersamaan ini memberikan sedikit rasa nyaman dan harapan baru. Dengan semangka segar yang menyegarkan dan dukungan penuh dari keluarga, Hasana merasa siap menghadapi tantangan yang ada di depannya.

Namun tiba-tiba seorang laki-laki seusia Paman Aditya dan Bibi Ratri datang, membawakan bingkisan di tangan kanan dan kirinya. "Permisi"

"Oh Nandana masuklah"

"Paman Nandana" sapa Hasana

"Paman Nandana, bawa apa?" tanya Kesyaira

Paman Nandana bersalaman dengan mereka semua 

"Sudah pulang Nandana?" tanya Nenek Usmika

"Apa hanya aku yang tidak kenal dengan laki-laki ini?" tanya Bibi Ratri keheranan

Jejak Takdir dalam Keheningan: Cinta Abadi Jiwa KembarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang