Suara dari Alur Masa Depan

7 0 0
                                    

Setelah badai yang mengguncang ketenangan Bentala Renjana mereda, suasana damai perlahan kembali menyelimuti yayasan itu. Angin segar membawa nuansa tenang yang terasa hingga ke setiap sudut taman dan lorong-lorong asrama. Begitu anak-anak kembali dari karya wisata, mereka tidak mendengar kabar buruk yang sempat mengguncang rumah mereka kecuali mereka yang duduk di tingkatan SMA dan mahasiswa, yang telah lebih dulu memahami kompleksitas situasi.

Hari itu, anak-anak dengan antusias mengisi siswa waktu liburan mereka dengan kegiatan positif seperti biasanya. Suara tawa dan percakapan riang memenuhi halaman yayasan, menciptakan suasana penuh semangat yang menandakan kebangkitan Bentala Renjana dari cobaan berat.

Jadwal konseling yang sempat tertunda kini kembali dimulai dengan lancar. (Author: "Pernah dibahas di bab Union VIII"). Momen-momen konseling ini tidak hanya menjadi sarana pemulihan emosional, tetapi juga jembatan yang menghubungkan hati-hati yang pernah terlukai menuju masa depan yang lebih cerah.Dalam ruang-ruang yang telah disiapkan, konselor menunggu dengan ramah, siap mendampingi para siswa yang ingin berbagi cerita maupun memecahkan persoalan pribadi mereka. Di ruang tunggu konseling, anak-anak yang duduk di kelas IX dan XII terlihat saling berbincang hangat. Beberapa dari mereka dengan semangat berbagi pengalaman mengenai konselor yang telah mereka pilih.

"Aku sih ikut konseling kelompok hari ini," ucap seorang siswi kelas XII sambil tersenyum. "Lebih seru kalau rame-rame. Bisa sekalian denger pengalaman teman-teman lain."

"Seru sih, tapi aku lebih suka konseling individu," sahut temannya yang duduk di samping. "Rasanya lebih bebas aja buat cerita tanpa malu."

Di sudut lain, sekelompok siswa sedang mendiskusikan konselor favorit mereka.

"Bu Wulan, keren banget, ya. Aku selalu dapet insight baru kalau ngobrol sama beliau," kata seorang siswa kelas IX dengan antusias.

"Iya, Bu Amelia juga sama. Cara beliau ngasih solusi tuh nggak pernah nge-judge," balas temannya dengan nada puas.

Dengan suasana yang hangat dan penuh dukungan, sesi konseling hari itu menjadi momen penting bagi anak-anak Bentala Renjana untuk menemukan ketenangan, menggali potensi diri, serta memperkuat rasa percaya diri mereka. Sementara itu, para konselor dengan penuh dedikasi terus berusaha menciptakan ruang aman dan nyaman bagi para siswa untuk tumbuh dan berkembang.

Di kantor pribadi Pak Harsani, beliau tengah berhadapan dengan lima anak laki-laki dari kelas XIII. Pak Harsani sudah memeriksa semua informasi mereka sebelum memasuki ruangan. Bukan hanya itu karena Pak Harsani juga mengurus anak-anak ia cukup mengenal karakteristik anak-anak muda di depannya yakni Irsani, Anwar, Septa, Ulil, Resya.

Pak Harsani duduk dengan tenang, jemarinya saling bertaut di atas meja kayu mahoni yang mengilap. "Jadi, apa yang ingin kalian bicarakan?" tanyanya dengan nada ramah tapi penuh kewibawaan.

Resya, yang tampaknya menjadi juru bicara kelompok itu, berdiri tegap. "Begini, Pak. Kami berlima ini tertarik melanjutkan studi ke luar negeri. Tapi bukan di Inggris atau Jepang."

Pak Harsani mengangkat alis. "Lalu di mana?"

"Rusia, Pak," jawab Resya dengan percaya diri, lalu berhenti sejenak, seperti mencari cara yang tepat untuk melanjutkan.

Pak Harsani tampak heran. "Rusia? Kenapa Rusia?"

Septa, yang terkenal spontan, langsung menyahut tanpa pikir panjang, "Karena ceweknya cantik-cantik, Pak!"

Seisi ruangan mendadak hening. Lalu meledaklah tawa dari keempat temannya. Ulil bahkan hampir tersedak karena terlalu keras tertawa. Pak Harsani yang biasanya serius pun tak kuasa menahan senyum, meski mencoba tetap menjaga wibawa.

Jejak Takdir dalam Keheningan: Cinta Abadi Jiwa KembarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang