🕊🕊🕊🌹🌹🌹🪞🪞🪞
_______________________
_______________________Malam itu dapur Bentala Renjana menjadi tempat berkumpul yang tak biasa. Aroma masakan khas malam hari masih tercium samar, tetapi suasananya jauh dari hangat dan santai. Di tengah meja kayu besar, para detektif, polisi, seorang jaksa, serta keluarga besar Bentala Renjana duduk santai bersila dalam rapat yang serius. Lampu dapur yang kuning temaram menambah nuansa misterius malam itu.
Mbak Hasana duduk dengan tenang, wajahnya memancarkan ketegasan dan kebijaksanaan. Ia memulai penjelasan dengan suara yang lembut namun jelas, menarik perhatian semua yang hadir. "Saat ia masuk ke ruangan konferensi pers," kata Mbak Hasana dengan nada pasti, "jaketnya berwarna biru tua dan rambutnya panjang. Namun, setelah ledakan terjadi, aku melihat seseorang dengan wajah yang berbeda, jaket yang sama tetapi warnanya berubah menjadi abu-abu. Selain itu, rambutnya tiba-tiba pendek."
Sejenak suasana hening, hanya terdengar suara alat pendingin ruangan yang berdengung lembut.
"Saya mulai curiga," lanjut Mbak Hasana, "mungkin pelaku menggunakan jaket bolak-balik dan rambut palsu untuk menyamar. Dia memanfaatkan kekacauan itu untuk melepas rambut palsunya, serta topeng wajah dan membalik jaketnya."
Pak Nehan yang duduk di ujung meja menyunggingkan senyum tipis, wajahnya memancarkan kepuasan.
"Memang benar," sahut kepala detektif dengan anggukan tegas. "Setelah kami periksa, di tas pelaku ditemukan topeng kulit untuk menyamar dan rambut palsu. Dia bukan reporter sungguhan, melainkan mantan narapidana dengan catatan kejahatan yang cukup buruk."
Mendengar itu, Bu Marmara bertanya dengan alis berkerut, "Apakah dia bekerja untuk Prof. Indira?"
"Tidak," jawab kepala detektif. "Berdasarkan investigasi dan analisis forensik, terakhir kali dia menelepon seseorang yang berada di kota Bumiraksa. Sementara Prof. Indira saat itu berada dalam pengawasan kami di Ranggasari."
Pak Harsani yang mendengar penjelasan itu menyela dengan nada penuh kecurigaan, "Atau mungkin saja orang yang dia telepon adalah bawahan Prof. Indira?"
Sebelum detektif sempat menjawab, Pak Nehan dengan santai menyendok makanannya sambil berkata tanpa basa-basi, "Bukan. Dia seorang politikus."
Suasana langsung berubah drastis. Pak Raynar sampai tersedak oleh keterkejutan. "APA?!" serunya nyaring.
Semua yang hadir, termasuk para detektif dan jaksa, terdiam dengan ekspresi terperangah. Bagi yang belum mengenal Nehan dengan baik, sikap tenangnya yang penuh kejutan seperti ini mungkin membuatnya tampak seperti seseorang yang bisa melihat masa depan atau mendapat penglihatan gaib.
Pak Amanda yang duduk di sampingnya memperhatikan adiknya dengan tatapan tajam. "Jelaskan, Nehan."
Namun, Pak Nehan hanya diam sambil terus menikmati makan malamnya dengan lahap. Mbak Hasana yang tahu persis bagaimana meluluhkan hati suaminya pun tersenyum tipis dan bertanya lembut, "Dari mana Pak Nehan tahu kalau ini ulah politikus?"
Pak Nehan meletakkan sendoknya sejenak, menatap istrinya dengan pandangan penuh keyakinan. "Ada dua sumber," jawabnya. "Pertama, dari Prof. Indira yang kesal karena kita menolak surat permohonan itu. Kedua, dari politikus itu sendiri."
"Ini berhubungan dengan Mbak Tiyas Suryaningrum, istri Mas Rudian, yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah Kota Mitrawangi," lanjutnya dengan tenang.
Bu Analeah menggeleng perlahan. "Masalahnya semakin meluas."
Pak Manda menimpali dengan nada tegas, "Kita fokus saja pada melindungi Bentala Renjana. Urusan politik biar Mas Rudian dan Mbak Tiyas yang mengurusnya."

KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak Takdir dalam Keheningan: Cinta Abadi Jiwa Kembar
RomanceDi dalam labirin waktu yang tak terhingga, kisah cinta Hasana Iswari dan Nehan Laksana menggambarkan keindahan dan kedalaman dari hubungan twinflame dan old soul. Sebagai jiwa-jiwa yang telah lama hidup dan mengalami berbagai kehidupan, mereka menem...