Mekar di Tengah Kehidupan

8 4 0
                                    

Hari-hari pertama di SMP elit Mitrawangi berlalu dengan cepat. Pelaksanaan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) telah selesai, dan kini Hasana memulai kegiatan belajar di kelas dengan penuh semangat. Di hari pertama, Hasana duduk di bangku paling depan bersama Tirtania, di dekat papan tulis. Bangku-bangku di depan ini selalu dianggap sebagai posisi strategis, dan Hasana merasa senang karena bisa lebih fokus pada pelajaran.

Ketika guru masuk dan mulai menjelaskan materi pelajaran, Hasana dan Tirtania duduk dengan perhatian penuh. Namun, saat guru harus meninggalkan kelas sejenak untuk urusan administrasi, suasana di kelas menjadi sedikit lebih santai. Murid-murid mulai berbicara satu sama lain, dan suasana menjadi lebih akrab.

Tirtania, yang sebelumnya tampak tenang dan ceria, kini tampak tidak puas. Ia membisikkan keluhan kepada Hasana dengan nada kesal. "Aku tidak percaya Fattih satu kelas dengan kita lagi," bisik Tirtania sambil mengerutkan dahi.

Hasana menoleh ke arah Tirtania dengan ekspresi bingung. "Fattih? Kenapa?"

Tirtania menghela napas panjang. "Dia selalu bisa membuat segalanya menjadi lebih rumit. Aku tahu dia memang terlihat santai dan cuek, tapi dia juga sangat pandai. Semua orang selalu menganggap dia istimewa hanya karena keluarganya yang terpandang. Aku cuma merasa kesal karena dia tidak pernah berusaha keras."

Hasana mencoba memahami perasaan Tirtania. "Tapi mungkin kita bisa mencoba melihat sisi baiknya. Mungkin ada alasan kenapa dia bisa ada di sini juga."

Tirtania mengangguk pelan. "Kamu benar, Hasana. Aku cuma merasa iri. Tapi aku harus belajar untuk lebih sabar dan fokus pada pelajaranku sendiri."

Saat guru kembali dan pelajaran dilanjutkan, Hasana merasa berterima kasih atas kesempatan untuk duduk di depan dan bisa melihat dengan jelas apa yang diajarkan. Dia memutuskan untuk mendukung Tirtania, dan berharap bisa bekerja sama dengan baik dalam kelas.

Pelajaran berlanjut dengan penuh semangat, dan meskipun Tirtania masih merasa sedikit kesal dengan kehadiran Fattih, ia berusaha untuk fokus pada tujuan belajarnya dan membangun kembali semangatnya untuk menghadapi tantangan di sekolah baru.

"Oh iya anak-anak sepertinya kita harus membuat struktur organisasi kelas. Ayo kita adakan musyawarah" kata Bu Guru

Saat Bu Guru, wali kelas mereka, mengadakan musyawarah untuk menentukan struktur organisasi kelas, suasana kelas menjadi sangat dinamis. Setiap siswa diminta untuk mengajukan kandidat untuk posisi ketua kelas dan anggota organisasi lainnya. Diskusi mulai memanas ketika beberapa kandidat mulai muncul dengan beragam alasan dan argumen.

Tirtania, yang merasa sangat percaya diri, mengangkat tangan dengan semangat. "Saya mengusulkan Fattih sebagai ketua kelas," katanya dengan lantang. "Dia punya jiwa kepemimpinan yang sangat bagus. Sejak SD, dia selalu menjadi ketua kelas dan bisa mengatur semuanya dengan baik."

Fattih, yang mendengar usulan itu, merasa tidak nyaman. Dia tahu bahwa Tirtania tidak sepenuhnya jujur tentang kemampuannya. Merasa kesal, Fattih segera membalas. "Kalau begitu, saya usulkan Tirtania sebagai ketua kelas. Dia selalu tampil percaya diri dan bisa berbicara di depan umum," katanya dengan nada sarkastik.

Suasana kelas menjadi semakin kacau. Beberapa siswa mulai berbicara dengan keras, mendukung kandidat masing-masing, sementara pertengkaran kecil mulai terjadi.

"Setuju dengan Tirtania! Fattih memang berpengalaman!" teriak seorang siswa dari barisan belakang.

"Tapi Fattih kadang terlihat malas dan cuek. Menurutku kalau ketua kelasnya Tirtania sepertinya lebih cocok?" ujar siswa lain.

"Kita perlu seseorang yang bisa menenangkan suasana, bukan hanya yang bisa berbicara dengan lantang!" seru siswa yang lain.

"Bagaimana kalau kita pertimbangkan Devanisa? Dia punya kehadiran yang tenang dan selalu bisa mengatasi masalah," usul siswa yang lebih berhati-hati.

Jejak Takdir dalam Keheningan: Cinta Abadi Jiwa KembarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang