Mekar di Tengah Kehidupan III

6 3 3
                                    

🕊🕊🕊🌹🌹🌹🪞🪞🪞
--------------------------

Pagi itu, Hasana dan Kesyaira bersiap untuk berangkat ke sekolah. Mereka keluar dari rumah dengan semangat pagi, namun langkah mereka terhenti di halaman rumah ketika mereka melihat sosok yang tak terduga. Adhiranu, yang tampak gugup dan penuh penyesalan, menghampiri Kesyaira.

"Kesyaira, aku minta maaf untuk perbuatan buruk yang selama ini aku lakukan kepadamu. Aku sangat menyesal, Kesyaira. Aku berjanji tidak akan melakukan hal jahat lagi kepada kamu dan kepada siapapun. Aku akan berusaha untuk menjadi anak yang baik," kata Adhiranu dengan nada tulus, wajahnya menunjukkan keseriusan.

Kesyaira menatap Adhiranu dengan ragu, keengganan masih tampak di matanya. "Ya, aku memaafkanmu. Maklum, namanya juga anak-anak. Mereka masih labil," jawabnya dengan mendengus sedikit kesal.

Adhiranu tampak sedikit terkejut dengan tanggapan Kesyaira, namun ia tidak menyerah. "Kamu juga anak-anak, Kesyaira. Kita seumuran."

Kesyaira membalas dengan nada sinis, "Aku lebih tinggi darimu." Dia melanjutkan langkahnya menuju sekolah, seolah mengabaikan Adhiranu.

Namun, Adhiranu tetap mengikuti di sampingnya. "Hanya karena kamu lebih tinggi dariku, kamu menyebut dirimu sudah dewasa? Lihat saja nanti, aku akan menjadi lebih tinggi darimu," tantangnya dengan nada penuh semangat.

"Ya, aku menantikan itu. Tapi jangan dekat-dekat aku. Tetap jaga jarak, aku tidak mau di kira berpacaran denganmu," kata Kesyaira dengan tegas, meskipun ada sedikit senyum yang tersungging di sudut bibirnya.

Adhiranu merasa lega dan sedikit bahagia mendengar bahwa Kesyaira bersedia memaafkannya. Meski belum sepenuhnya percaya, dia merasa ada harapan untuk memperbaiki hubungannya dengan Kesyaira.

Sementara itu, Hasana, yang berdiri di belakang dan menyaksikan peristiwa ini, merasa lega. Melihat adiknya mampu mengatasi masalahnya sendiri dan memperbaiki situasi, membuatnya merasa lebih tenang. Hasana mengamati Kesyaira dengan bangga, tahu bahwa adiknya semakin dewasa dalam menghadapi berbagai tantangan.

Saat mereka berjalan menuju sekolah, suasana pagi kembali ceria. Kesyaira dan Adhiranu melanjutkan percakapan ringan, sementara Hasana merasa bahwa hari itu mungkin akan menjadi awal dari perubahan yang baik bagi keduanya.

Hari itu cuacanya sangat panas, dan suasana di sekolah terasa terik. Saat jam istirahat, Hasana dan Tirtania duduk di bawah pohon rindang di halaman sekolah, menikmati sejenak waktu istirahat mereka. Hasana sibuk membaca buku, sementara Tirtania sibuk dengan catatan-catatan sekolahnya.

Tiba-tiba, Devanisa menghampiri mereka dan duduk di depan mereka. "Apakah kalian sudah memiliki rencana akan mendaftar di SMA mana?" tanyanya dengan nada santai, meskipun wajahnya menunjukkan ketertarikan yang dalam.

Hasana menatap Devanisa sejenak sebelum menjawab. "Belum sepenuhnya memutuskan, tapi aku sudah beberapa kali memikirkan pilihan-pilihan yang ada," katanya. "Tirtania, bagaimana denganmu?"

Tirtania menatap Devanisa dan tersenyum. "Hasana, aku akan mengikutimu kemanapun kamu pergi. Aku percaya kamu akan membuat keputusan yang tepat."

Devanisa menoleh kepada Tirtania dengan rasa ingin tahu, lalu kembali bertanya kepada Hasana, "Bagaimana dengan kamu, Hasana? Ada pilihan yang sudah kamu pertimbangkan?"

Hasana mengangguk pelan. "Aku masih mempertimbangkan beberapa pilihan. Aku harus memastikan bahwa aku mengambil keputusan yang tepat dan bagus dalam menentukan pilihan."

Devanisa menghela napas dan merespons, "Aku tidak tahu, selama ini aku hanya mengikuti saran pengurus panti asuhan."

Hasana dan Tirtania terkejut mendengar bahwa Devanisa tinggal di panti asuhan. Tirtania, yang sudah mendengar cerita tentang Devanisa sebelumnya, merasa sedikit bersalah karena belum mengetahui latar belakangnya yang sebenarnya.

Jejak Takdir dalam Keheningan: Cinta Abadi Jiwa KembarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang