Bersama Angin dan Waktu II

6 4 2
                                    

🕊🕊🕊🌹🌹🌹🪞🪞🪞

----------------------------

Hari berikutnya pagi itu, sinar matahari yang hangat menyinari halaman rumah kecil mereka, namun suasana di dalam rumah terasa berat. Hasana dan Kesyaira berdiri di depan pintu, memandang Ayah mereka yang bersiap untuk pergi. Bapak Jaya mengenakan jaket tebal dan tas yang sudah penuh dengan barang-barang. Dia tampak lebih diam dari biasanya, dan ada kekhawatiran yang tidak biasa di wajahnya.

Bapak Jaya menunduk dan memeluk kedua putrinya dengan erat. "Ayah harus pergi," katanya dengan suara lembut, tapi ada sesuatu dalam nadanya yang membuat Hasana merasa aneh.

"Kapan Ayah pulang?" tanya Hasana, mencoba menyembunyikan kecemasan yang mulai menyelimuti hatinya.

Bapak Jaya menarik napas dalam, seolah mencari kata-kata yang tepat. "Kita lihat saja nanti, Ayah masih belum tahu," jawabnya dengan pelan.

Kata-kata itu membuat hati Hasana tergetar. Ada sesuatu yang tidak biasa dalam cara Ayahnya berbicara. Sejak semalam, ketika Bapak Jaya mengucapkan kalimat pamit, Hasana sudah merasakan firasat yang buruk, dan sekarang firasat itu semakin kuat. Seolah-olah Bapak Jaya akan meninggalkan mereka untuk waktu yang lama, atau bahkan mungkin selamanya.

"Ayah, jangan tinggalkan aku dan Kesyaira," kata Hasana dengan suara yang berusaha terdengar kuat meskipun hatinya terasa sangat rapuh.

Bapak Jaya mengelus rambut Hasana dengan lembut, "Hasana, Ayah sudah berjanji kepada Boss untuk pergi hari ini. Ayah minta maaf karena kepergian Ayah ini sangat mendadak," ujarnya, perlahan melepaskan pelukan itu.

Kesyaira yang sejak tadi diam, tiba-tiba berbicara, "Ayah, hari dan tanggal besok adalah peringatan meninggalnya Ibu."

Bapak Jaya menatap Kesyaira dengan tatapan yang penuh kasih. "Ayah tahu, Nak. Ayah juga sangat merindukan Ibu, dan ingin bertemu dengan Ibu." Suaranya terdengar serak, dan sejenak Bapak Jaya terdiam, seolah menahan perasaan yang mendalam.

Meskipun ada kerinduan yang jelas di mata Bapak Jaya, dan mungkin keinginan untuk tetap tinggal bersama mereka, pada akhirnya dia tetap harus pergi. Dengan satu pelukan terakhir, Bapak Jaya melangkah mundur, memberikan senyuman yang mencoba menenangkan kedua putrinya. "Jaga diri kalian baik-baik." katanya sebelum berbalik dan berjalan meninggalkan rumah, meninggalkan Hasana dan Kesyaira yang berdiri diam di tempat mereka, dengan perasaan tak menentu yang menyelimuti hati mereka.

Hasana dan Kesyaira tetap berdiri di depan pintu, menatap punggung Bapak Jaya yang semakin menjauh. Angin pagi yang lembut menggerakkan dedaunan, tetapi tidak mampu mengusir kekhawatiran yang kini menyelimuti hati mereka. Langkah-langkah Bapak Jaya terdengar sayup-sayup di telinga mereka, hingga akhirnya menghilang di kejauhan.

Hasana mencoba untuk tidak memperlihatkan perasaannya kepada adiknya. Dia tahu, sebagai Kakak, dia harus terlihat kuat, terutama di hadapan Kesyaira. Tapi di dalam hatinya, ada rasa cemas yang tak bisa diabaikan. Kata-kata Ayahnya tadi terasa begitu ambigu dan menakutkan, seolah mengisyaratkan bahwa perpisahan ini lebih dari sekadar perjalanan biasa.

Kesyaira menarik lengan baju kakaknya, mencoba mencari kepastian. "Mbak Hasana, Ayah akan pulang, kan?"

Hasana menunduk, menatap adiknya dengan tatapan lembut. "Tentu saja Keysaira" jawabnya, meskipun ada keraguan yang menyelinap di dalam hatinya sendiri.

Kesyaira mengangguk pelan, meski masih ada sedikit rasa takut di matanya. "Mbak, aku nggak suka kalau Ayah pergi lama-lama. Rasanya sepi."

Hasana menggenggam tangan adiknya dengan erat, mencoba menyalurkan kekuatan melalui sentuhan itu. "Kita bisa lalui ini bersama-sama. Aku akan selalu ada untuk kamu, Kesyaira."

Jejak Takdir dalam Keheningan: Cinta Abadi Jiwa KembarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang