Mekar di Tengah Kehidupan II

6 3 0
                                    

🕊🕊🕊🌹🌹🌹🪞🪞🪞
-------------------

Setibanya di rumah, Hasana merasa bahwa suasana sore itu terasa sepi, tidak seperti biasanya. Dia berjalan-jalan di dalam rumah, matanya mencari di mana Kesyaira dan Nenek Usmika. Biasanya, sepulang sekolah, mereka selalu sibuk untuk bersih-bersih atau menyiapkan makan malam, tetapi kali ini, tidak ada tanda-tanda keberadaan mereka di rumah. Perasaan cemas mulai merayapi Hasana. Dia memeriksa setiap ruangan dengan hati-hati, berharap menemukan mereka di salah satu sudut rumah, tetapi semuanya sunyi. Tidak ada suara, tidak ada gerakan. Akhirnya, Hasana memutuskan untuk keluar dari rumah, berharap mungkin mereka berada di luar.

Saat Hasana keluar dari pintu rumah, dia melihat Kesyaira yang baru saja pulang. Gadis kecil itu masih mengenakan seragam sekolah, dan tasnya tergantung di punggungnya. Namun, ada sesuatu yang berbeda dari biasanya. Wajah Kesyaira yang selalu ceria kini tampak murung, dan matanya merah, seolah habis menangis.

"Ada apa?" Hasana langsung menanyakan apa yang membuat Kesyaira tampak begitu sedih.

"Nenek... Nenek sakit," jawab Kesyaira dengan suara gemetar. "Saat aku pulang sekolah dan tiba di rumah, aku melihatnya muntah darah. Aku panik, Mbak. Aku langsung lari memanggil Paman Nandana untuk minta tolong. Sekarang Nenek dirawat di rumah sakit, dan Bibi Ratri yang menemaninya. Aku merasa kita sudah merepotkan Nenek terlalu lama, Mbak. Setelah Nenek sehat, aku harap Nenek tinggal bersama Paman Aditya atau Bibi Ratri."

Mendengar cerita Kesyaira, Hasana terdiam. Kata-kata adiknya terngiang di telinganya, dan sebuah perasaan bersalah mulai merayapi hatinya. Ia sadar bahwa apa yang dikatakan Kesyaira ada benarnya. Mereka memang tidak bisa terus-menerus bergantung pada Nenek Usmika. Hasana tahu betapa kerasnya hidup mereka, dan betapa Nenek sudah melakukan yang terbaik untuk menjaga mereka, tetapi tubuhnya semakin tua dan lemah.

"Apa yang kamu katakan ada benarnya, Kesyaira," kata Hasana akhirnya, suaranya lembut namun penuh tekad. "Kita tidak bisa terus-menerus bergantung pada orang lain. Sepertinya aku harus bekerja juga agar kita bisa hidup lebih mandiri."

Sore itu, suasana mendadak menjadi sangat sepi dan hening. Hasana dan Kesyaira duduk di depan rumah, merenungi keadaan mereka. Di seberang jalan, sekelompok anak-anak sepantaran mereka lewat, tertawa dan bercanda dengan riang, menikmati masa kecil mereka tanpa beban.

"Masa kecil mereka enak sekali ya, Mbak," kata Kesyaira sambil menghela napas panjang. "Berbeda dengan masa kecil kita yang dituntut untuk menjadi dewasa lebih cepat."

Hasana hanya bisa mengangguk pelan, merasakan kepedihan yang sama. Mereka berdua tahu bahwa hidup mereka tidak mudah, dan mungkin tidak akan pernah sama seperti anak-anak lain. Namun, di balik semua itu, ada kekuatan dan tekad yang tumbuh di dalam diri mereka untuk bertahan, untuk melindungi satu sama lain, dan untuk menghadapi dunia dengan keberanian yang tidak dimiliki banyak orang seusia mereka.

Kesyaira melepas sepatunya dan membawanya masuk ke dalam rumah. Hasana mengikutinya, dengan perasaan yang campur aduk antara kekhawatiran, tanggung jawab, dan harapan yang samar-samar untuk masa depan yang lebih baik.

Keesokan harinya, sepulang sekolah, Hasana merasa ada yang perlu dia lakukan untuk membantu keluarganya. Dia memutuskan untuk mampir ke warung makan yang dimiliki oleh Bu Kepala Sekolah SD-nya dulu. Warung makan itu berada tidak jauh dari rumahnya, dan sudah dikenal oleh banyak orang di sekitar karena makanan enak dan suasana hangat yang selalu ditawarkan.

Saat Hasana tiba di depan warung, dia melihat sebuah tulisan besar yang tergantung di jendela depan: "Sedang Mencari Loker di Bidang Memasak." Tulisan itu menarik perhatian Hasana. Dia tahu bahwa keluarganya membutuhkan tambahan penghasilan, dan ini bisa menjadi kesempatan yang tepat. Tanpa ragu, dia memutuskan untuk masuk dan mencoba peruntungannya.

Jejak Takdir dalam Keheningan: Cinta Abadi Jiwa KembarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang