Union VIII

4 0 0
                                    

🌹🌹🌹🕊🕊🕊🪞🪞🪞
------------------------------------

Mas Usada Laksana duduk di lantai asrama putra, mengawasi anak-anak balita yang sibuk bermain. Sesekali, ia tersenyum dan melontarkan candaan ringan untuk membuat mereka tertawa. Tangannya terulur, memberikan pensil warna kepada seorang anak kecil yang sedang menggambar bunga dengan penuh konsentrasi di atas selembar kertas. Sorot matanya memancarkan kelembutan, seolah setiap gerakannya penuh kasih sayang.

"Aku benar-benar berpikir Mas Nehan akan marah tadi," ujar Mas Hansen, yang duduk bersandar di dinding sambil memperhatikan anak-anak lain yang berlarian dengan tawa riang.

Mas Usada tertawa kecil, mengalihkan pandangannya sejenak ke arah Hansen. "Mas Nehan itu bukan tipe orang yang mudah tersulut emosi. Dia paham betul cara menjaga diri tetap di peta kesadaran tinggi. Baginya, marah itu terlalu mahal harganya untuk dihabiskan pada hal-hal kecil."

Mas Hansen mengangguk pelan, meski raut wajahnya masih menunjukkan sedikit rasa bersalah. "Tapi tadi aku benar-benar berpikir kita sudah melewati batas."

"Kita memang melewati batas," jawab Mas Usada sambil terkekeh. "Tapi Mas Nehan tahu bagaimana menyikapi kita tanpa menjatuhkan martabat. Itu salah satu hal yang aku kagumi dari dia."

Saat itu, tatapan Mas Usada tertuju ke arah kamar sebelah. Ia melihat adik laki-lakinya, Mas Inoya, tengah menyelimuti seorang anak kecil yang tertidur di atas kasur mungil. Gestur Mas Inoya begitu lembut, memastikan selimut itu menutupi tubuh si kecil dengan sempurna. Setelah selesai, ia melangkah keluar dari kamar dengan langkah tenang.

"Ada apa, Mas?" tanya Mas Inoya, menyadari bahwa pandangan kakaknya tak lepas darinya.

"Apa kamu sudah memberitahu semua pengurus tentang rencana nanti malam?" tanya Mas Usada sambil mengangkat alis, nada suaranya penuh perhatian.

Mas Inoya terdiam sejenak, mencoba mengingat sesuatu. Wajahnya kemudian berubah, seolah sebuah memori tiba-tiba muncul di pikirannya. "Ah, benar! Aku ingat sekarang. Maaf, Mas. Aku benar-benar lupa soal itu. Aku akan memberitahu mereka sekarang."

Mas Usada mengangguk pelan. "Pastikan semuanya tahu, ya. Ini penting."

Mas Inoya segera bergegas keluar. Mas Hansen yang sedari tadi mendengar percakapan itu menoleh ke arah Usada dengan wajah penasaran. "Mas, ada apa sebenarnya? Memberitahu apa ke pengurus?"

"Rapat," jawab Mas Usada singkat, sambil mengawasi Mas Hansen yang tampak bingung.

Sementara itu, Mas Inoya memilih tidak menggunakan speaker asrama untuk menyampaikan pengumuman. Meski itu cara yang cepat, ia tidak ingin mengganggu ketenangan anak-anak yang sedang tidur atau bermain dengan damai, belajar dan yang lain. Dengan langkah cekatan, ia berkeliling menemui satu per satu pengurus asrama.

Di asrama putri, Mbak Nearin dan Mbak Radinka sedang tenggelam dalam kesibukan mereka. Kamar Mbak Nearin yang biasanya rapi kini penuh dengan tumpukan kertas, berkas-berkas, dan catatan yang berserakan di meja, bahkan sebagian memenuhi lantai. Kedua wanita muda itu duduk berhadapan, masing-masing dengan segenggam map dan pena, memindai data dengan cermat.

"Radinka, apa kamu menemukan sesuatu seperti anak yang bermasalah?" tanya Mbak Nearin dengan nada serius, matanya tak lepas dari dokumen yang tengah ia baca.

Radinka melirik stopmap di tangannya, membuka lembar demi lembar sebelum menggeleng. "Sejauh ini, tidak, Mbak. Catatan mereka cukup baik. Tidak ada yang mencurigakan atau menunjukkan tanda-tanda masalah serius."

"Bagus kalau begitu," Mbak Nearin menghela napas lega, lalu meletakkan dokumen yang baru saja selesai ia baca di atas tumpukan berkas lainnya. "Aku harus waspada. Di rapat nanti, kita akan membahas karir anak-anak kelas 9 dan 12. Jadi, kemungkinan besar akulah yang akan paling sering ditanyai."

Jejak Takdir dalam Keheningan: Cinta Abadi Jiwa KembarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang