69

1.4K 156 3
                                    

Tengah malam dimana percumbuan masih berlangsung panas dan bergairah. Jollene perlahan sadar, wanita itu kembali terbatuk-batuk dan mengeluarkan darah dari mulutnya. "Ugh—" Keluhnya merasa sesak dibagian dada. Nafas Jollene memburu.

Beberapa detik kemudian, ia mengedarkan pandangannya, ruangan itu hening, gelap, dan tampak berantakan—ia sendirian dan terkapar. Seluruh tubuhnya benar-benar sakit, terutama punggung karena menghantam dinding dan perabotan di apartemennya. Beberapa perabotan miliknya tampak berserakan dilantai dan sebagian pecah tak berbentuk.

Samar-samar, indra pendengar Jollene menangkap suara asing diruangan pribadinya, suara wanita yang parau dan berat khas laki-laki, saling bersahut-sahutan seperti sebuah ritme teratur yang mengambarkan suasana bergairah bagi para pendengar asing—Jollene tidak bodoh untuk tidak mengenal suara tidak beradab seperti itu.

Ia berusaha bangkit meskipun perpegangan erat perabotan yang ada disekitarnya. Jollene bersandar di dinding, ia mengatur nafasnya. Punggung tangan mulus menyeka darah yang keluar dari sudut bibirnya, pandangan mata sedikit berkunang-kunang—Jollene benar-benar tersiksa.

Keringat dingin keluar dari sela-sela pori kulitnya, ia meringis menahan sakit ditubuhnya. Sangat tidak nyaman. Tapi, ada rasa penasaran membuatnya mendekati pintu dan membukanya perlahan, ia menatap nanar aktivitas panas dibalik pintu kamar pribadinya.

Dua orang yang sedang terbakar gairah itu saling bercumbu, berpagutan, dan menghujam untuk mencapai kenikmatan surgawi bersama. Seperti bayangan Jollene. Pria yang memunggunginya itu tampak sempurna dengan bahu lebar, padat, dan berotot itu mengkilap terkena cahaya lampu yang sedikit redup. Ia tampak perkasa mengungkung wanita dibawah kuasanya. Rasa iri dan kesal kembali membakar hatinya.

"Sial, harusnya aku yang berada disana." Umpat Jollene kesal, usahanya membuat Ace menjadi miliknya sia-sia. Semua karena Thalia—sepupunya. Ia tidak terima rencananya berakhir gagal dan Thalia mendapatkan segalanya.

"Aku harus pergi dari sini." Gumam Jollene teringat kembali warna mata merah seperti iblis itu.

Dengan langkah tertatih-tatih, ia mengambil tas selempangnya. Sesaat Jollene terdiam, benaknya menimbang-nimbang, ia ingin membawa buku emas itu. Tas ransel hitam yang ia simpan dilemari kecil kini berada diatas nakas. Jemarinya membuka tas tersebut, ia mengambil buku emas dan tak sengaja membuat kotak kayu terjatuh.

"Aku cukup membawa buku emas ini saja. Toh, buku ini lebih berharga." Ucap Jollene tak acuh melihat kotak kayu itu.

Jollene segera meraih ponselnya, ia menelepon seseorang untuk menjemputnya. Prioritas Jollene ialah rumah sakit, mengingat kondisinya benar-benar membuat dia tidak bisa bergerak bebas dan tersiksa rasa sakit.

Ia kecewa, patah hati, dan frustasi. Jollene tidak menyangka Arche atau seseorang mengaku bernama Ace itu akan tega melakukan kekerasan kepadanya. Jollene merinding. Ia tampak tidak siap jika harus berhadapan lagi dengannya. Tidak untuk saat ini.

'Jika aku tidak bisa mendapatkan hatinya. Maka kamu pun tidak berhak, Thalia Navgra.' umpat Jollene didalam hati.

Ia bergegas meninggalkan apartemen miliknya sebelum ia ketahuan membawa pergi buku emas itu. Tentu saja, ia masih memikirkan cara lain untuk membalaskan rasa sakit hatinya.

***___***

Jika Thalia satukan lengannya dan Ace bersamaan, sebuah gambar phoenix cantik terbentuk dengan sempurna.

"Wah, cantiknya. Seperti tato couple-an." Sahutnya menatap ukiran baru ditubuhnya itu.

Thalia merasakan pergerakan tubuh Ace akibat sentuhan tangannya—Thalia iseng memutar-mutar jari telunjuknya diatas pergelangan tangan Ace. Perlahan pria itu membuka matanya, ia mengerjap sesaat karena ruangan itu sudah dipenuhi cahaya matahari. Perlahan ia memijat pangkal hidungnya, kepalanya terasa seperti mau meledak—ia pusing.

THE BEAUTIFUL EYESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang