22

2.3K 287 42
                                    

Surabaya, 14 Mei 2022

Keramaian ibu kota Jawa timur memecah keheningan antara Gian dan juga Thalia. Dua gadis cantik yang berencana bertemu dengan keluarga dari saudara jauh Gian-ia mendapat undangan acara ulang tahun putra semata wayang mereka, Gian juga tiket gratis perjalanan untuk dua orang memperlancar perjalanan mereka dari Jakarta ke Surabaya dan akan dijemput di bandara menuju ke Mojokerto.

Memang terlihat sepele, tapi Gian masih menghormati keluarga dari adik nenek buyutnya.

Thalia takjub saat memasuki rumah berukuran besar beserta halamannya yang lapang. Tampak sederhana tetapi sangat nyaman.

"Monggo pinarak, mbak. Ojo sungkan, anggep wae umah dewe! (Silahkan masuk, non. Jangan malu, anggap saja rumah sendiri!)" Sahut seorang wanita yang datang dari arah dapur keruang tamu untuk menyambut kedatangan Gian.

"Tante Hanni. Apa kabar?" Gian memeluk wanita bernama Hanni erat, ia melepas rindu setelah sekian tahun tidak bertemu.

"Cah ayu, tambah menthek ae yo. Gemes aku. (Cantiknya, tambah montok ya. Gemes aku.)" Tante Henni sedikit mencubit pipi Gian gemas. "Wah, mbak ini pasti temennya ya?" Sambungnya saat melihat Thalia.

"Jangan begitu, tante. Sudah berusaha diet ini. Masih gendutan, kah?" Gian mencebik kesal. Thalia menahan tawa saat ekspresi Gian sudah menahan jengkel yang hampir meledak. "Ini temanku, tan. Namanya Thalia." Sambungnya dengan nada jutek.

Thalia tersenyum. "Thalia, tante." Ujarnya sembari menyalami Hanni.

"Sampeyan yo ayu pisan, ndak kalah sama Gian. (Kamu cantik juga, tidak kalah sama Gian.)" Pujinya sambil menepuk bahu Thalia. "Yo wiz, ayo ngasuh sek, leyeh-leyeh. Opo to langsung mangan sek? (Ya sudah, ayo istirahat dulu, rebahan. Apa mau langsung makan?)" Tanya tante Henni lagi.

"Kita istirahat dulu, tan. Mau mandi gerah." Jawab Gian.

"Yo wiz, ayo tak baturi nang kamar. (Ya sudah, ayo tak temeni ke kamar.)" Tante Hanni segera menggiring kedua gadis kota itu menuju ke kamar tamu yang sudah dipersiapkan.

Setelah makan malam, Thalia memutuskan untuk pergi jalan-jalan ke halaman depan yang tampak tenang tersebut. Meskipun suasana masih perdesaan, ia sangat menyukai udara malam yang sedikit sejuk menerpa tubuhnya-seharian kipas angin tidak berhenti berputar agar tidak kepanasan, meskipun mereka sudah terbiasa dengan udara di Jakarta.

Meskipun gelap, sinar bulan mampu memberikan penerangan untuk Thalia. Ia mendongak kearah langit menatap keindahan alam yang jarang ia temui di perkotaan. Bulan bersinar dengan sempurna, terbesit kenangan bersama lelaki yang sudah mencuri separuh hatinya, hingga mampu membuatnya jatuh dan sulit membuka hati untuk orang lain.

'Ace-' batinnya mengingat nama itu. 'Aku tidak pernah lupa dengan pesona keindahan kedua mata milikmu. Biarpun seperti iblis hendak menerkamku, tapi aku nyaman memandangnya.' Kenang Thalia sambil menatap nanar kearah langit.

"Apakah kamu melakukan apa yang ditulis oleh Novel tersebut?" Gumam Thalia.

"Aduh!" Ia kembali merasakan panas, sakit bersamaan didada kirinya. Kedua tangannya memegang erat dimana simbol sayap yang menyakitinya itu berada. Peluh membanjiri keningnya.

'Selalu seperti ini. Apa yang terjadi padamu, Ace. Kamu itu nyata ataukah hanya luapan mimpiku semata?' Nafas Thalia tersengal-sengal.

Dalam kesakitannya, Thalia melihat sekelebat bayangan seperti ilusi. Ia berada didalam hutan yang sangat lebat, hampir tidak ada cahaya yang dapat membelah kegelapan dihutan itu. Lamat-lamat, pandangan Thalia melihat seseorang membawa sebuah obor berjalan kearahnya. Kedua mata hitamnya melebar, ia tahu sosok itu. "Ace!" Panggilnya berusaha mendekati sosok tinggi menjulang yang terus berjalan menjauhinya.

Kemudian, pandangan Thalia berganti. Ia melihat sekumpulan manusia dengan kuda-kuda mereka saling berlarian seperti dikejar sesuatu. Tampilan mereka sangat sederhana, Thalia seperti melihat sebuah kilasan film drama kolosal. Tatapannya kembali melihat sosok pria tinggi menjulang-kehadiran pria itu sangat kontras dengan yang lainnya, ia lebih menonjol baik dari postur tubuh dan penampilannya-hanya saja teralihkan dengan jubah hitam menjuntai menutupi tubuhnya.

Thalia tahu persis siapa sosok itu. Ia tidak salah mengenalinya.

Thalia kembali berteriak memanggilnya dan berlari berusaha menyusul, tapi tidak ada respon sama sekali, hingga langkahnya tersandung batu. Thalia jatuh tersungkur, bayangan hutan dan sosok yang ia kenali menghilang, berganti dengan pekikan seorang wanita penuh kekhawatiran memanggilnya.

"Tha! Apa yang terjadi padamu sampai jatuh begini?" Sahut Gian menyusul Thalia ribut setelah mendengar teriakan Thalia.

Gian membantu Thalia bangun, ia menepuk-nepuk dan membersihkan kotoran yang menempel di kaki Thalia.

"Terima kasih, aku tidak apa-apa." Jawab Thalia yang sudah kembali tenang. Rasa sakit didada kirinya lenyap beserta sirnanya bayangan aneh tadi.

"Kalau begitu, ayo masuk! Tante sudah menunggu didalam bersama putranya." Ajak Gian sontak diangguki oleh Thalia.

'Apa yang terjadi padaku?' batin Thalia bertanya saat ia mengikuti langkah Gian.

***___***

Thalia, Gian, dan keluarga besar Hanni berkumpul diruang tengah yang cukup luas. Sembari menonton acara televisi, cemilan juga hadir menemani sebagai sandingan wajib. Suara obrolan, canda tawa saling bersahutan dan memecah keheningan rumah berukuran luas tersebut. Thalia terkejut saat penghuni rumah cukup ramai, karena saat ia datang tadi tidaklah seramai ini-malah terkesan sepi.

Keluarga kecil tante Hanni, saudaranya, dan ayah serta ibu dari tante Hanni. Tidak lupa, ketiga anak saudaranya, dua perempuan dan satu laki-laki sedang bermain dilantai-bisa membayangkan mainan berceceran didepan televisi yang menyala. Thalia iri dengan kehangatan keluarga Hanni, meskipun hidup bersama entah kenapa ia tidak bisa melihat sebuah pertikaian diantara mereka. Malah sebaliknya, keluarga ini seperti hidup dengan penuh kebahagiaan.

'Setiap masalah, hadapi dengan senyuman. Mungkun itu prinsip mereka.' batin Thalia.

Thalia mengedarkan pandangannya melihat wajah demi wajah saudara jauh dari sahabat karibnya itu. Dan tatapannya berhenti pada satu titik, dimana bocah laki-laki yang awalnya duduk dipangkuan Hanni, menatap lekat kearah Thalia. Bocah itu seperti melihat sesuatu yang menarik perhatiannya. Tampak ia sedikit memberontak kala Hanni berusaha memangkunya agar tetap tenang. Si bocah kembali berulah agar ia dilepaskan dari pelukan dan pangkuan sang ibu.

Hanni sempat menatapnya heran dan penuh tanda tanya. Jarang sekali putranya memberontak ingin sekali turun dari pangkuannya.

"Sudah, turunkan dia. Siapa tahu ingin main sama tante Gian." Ujar suaminya Reza.

Hanni menurut saja, ia segera membantu bocah kecil itu turun. Dengan langkah imutnya seperti bebek berjalan, bocah itu menghampiri Thalia dan meminta untuk digendong. Semua mata terkejut melihat tingkah bocah berumur 5 tahun itu.

Thalia menyambutnya dengan senyum sumringahnya. Ia mengangkat dan menggendong tubuh mungilnya, dalam pelukannya, Thalia mencium pipi gembul bocah laki-laki tersebut.

"Hai tampan, namamu siapa?" Sahut Thalia kini memangku bocah gemoy yang memakai setelan piyama bewarna grey dengan corak bergambar dino t-rex.

"Rio" Ucap sang bocah dengan nada bicara khas anak 5 tahunan.

THE BEAUTIFUL EYESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang