"Darimana kalian berdua?" Tanya kakek Fariz meletakkan lembaran koran diatas nakas. Pria paruh baya itu duduk disofa ruang tamu sembari menikmati secangkir teh hangat.
Jollene mengangguk sopan, "Kami dari rumah sakit, kek. Menemani Arche Check-up." Jawab sopan.
"Duduklah, nak. Temani kakek minum teh sejenak sambil menjelaskan sedikit hasil check up-nya." Ucapnya.
Jollene tersenyum dan duduk tenang di depan Kakek Fariz. Pelayan menyiapkan beberapa cangkir lagi untuk cucu dan tamu junjungannya.
Kakek Fariz menatap kaki kiri Ace yang sudah bisa berjalan normal. "Tampaknya sudah lebih baik." Ucap kakek Fariz, Ace mengangguk membenarkan, pria bernetra hazel itu menyusul Jollene duduk disampingnya.
"Kakek benar, pemulihannya benar-benar cepat. Dokter Wenny sampai takjub apalagi saya yang melihatnya setiap waktu." Jelas Jollene dengan nada penuh antusias.
"Syukurlah, kakek senang mendengarnya." Balas kakek Fariz, "Lalu, apa rencanamu setelah ini, nona Jollene?" Tanya kakek Fariz.
Jollene tersenyum, "Selesai pelatihan saya tinggal menunggu sertifikat, beberapa hari kedepan jadwal saya sudah longgar. Awalnya, saya berniat membantu pemulihan Arche. Tapi, saya tidak menyangka bisa pulih secepat itu." Papar Jollene.
Ace tersenyum miring, "Aku sudah pernah bilang sebelumnya. Tidak perlu sampai melibatkan orang lain. Aku pasti akan sembuh dalam waktu dekat." Ucap Ace sambil meliril kearah kakeknya.
Kakek Fariz berdehem untuk menghilangkan rasa canggungnya.
Dering telepon bersumber dari ponsel pintar milik Jollene. Gadis itu tertegun saat melihat kearah layar yang menampilkan sebuah nama. Dengan gerakan cepat, Jollene segera menggeser icon berwarna hijau dan menjawab panggilan teleponnya.
Ace dan kakek Fariz mengamati Jollene yang menerima telepon, wajah wanita itu berubah pias seperti mendengar sebuah kabar buruk. Jollene menutup mulutnya dan kedua matanya mulai berkaca-kaca, ia menahan agar tangisnya tidak pecah didepan kedua pria berbeda generasi.
"Ada masalah genting, nak?" Tanya kakek Fariz saat Jollene sudah menakhiri panggilan teleponnya.
Wanita itu mengangguk lemas, "Maafkan saya, kek. Saya tidak bisa berlama-lama disini, sebab saya mendapat kabar buruk menimpa ayah saya di Indonesia. Jadi, saya akan pulang kembali ke Jakarta nanti malam."
"Apa terjadi hal buruk menimpa ayahmu?" Tanya kakek Fariz lagi.
Jollene mengangguk, "Ayah sakit, dan sudah beberapa bulan di rumah sakit menjalani perawatan. Saya ke Australia sebenarnya dipaksa karena tuntutan pekerjaan." Papar Jollene. "Maafkan, kek. Saya tidak bisa memenuhi sebagian janji saya untuk bertanggung jawab." Sambungnya sedikit menundukkan kepala.
"Tidak apa-apa, aku tahu kesungguhanmu, nak. Lagipula, Arche juga sudah kembali sehat. Jadi, jangan merasa terbebani. Terima kasih sudah merawat cucuku selama ini." Ucap kakek Fariz tulus.
"Kalau begitu, saya pamit dulu kakek, Arche. Saya harus bergegas sebelum ketinggalan penerbangan malam." Sahut Jollene seraya berdiri dan berpamitan.
Ace memegang tangan Jollene untuk mencegah wanita itu pergi. Jollene mematung dan menatap Ace penuh tanda tanya.
"Aku ingin ikut denganmu." Sahut Ace dengan sorot mata tajamnya. Nada bicaranya berubah dingin dan penuh penekanan, seolah ia tidak mau dibantah atau dicegah oleh siapapun.
Pertengahan Agustus 2022, Ace mengikuti Jollene pergi ke kota dimana ia sudah menargetkannya sejak lama—Jakarta.
***___***
KAMU SEDANG MEMBACA
THE BEAUTIFUL EYES
Fantasy2nd book of "I Want You" Status : Ongoing ***** Bagaimana jika karakter novel bisa melintasi perbedaan dimensi dan hadir dalam kehidupan nyata seorang Thalia Navgra? Berawal dari jiwanya yang tersesat dan Male Antagonis dapat meraih masa kejayaannya...