Thalia menatap kaca ruang neonatus untuk melihat kondisi bayi mungil yang lahir dari ibu dengan riwayat eklamsi.
"Bayinya imut sekali." Ucap Thalia gemas. "Meskipun IUGR (Intrauterine Growth Restriction), tapi dia cukup kuat untuk bertahan." Sambung Thalia.
Thalia tersenyum, benar-benar keajaiban untuk ibu dan janin, tindakan pertolongan pertama eklamsi hingga operasi sesar segera dilakukan sebelum terjadi hal-hal tidak diinginkan kepada pasien.
'Kenapa sang ibu mertua begitu kolot dan menentang operasi sesar?' batin Thalia rumit.
Thalia menatap dokter Amelya memeriksa kondisi bayi nyonya Prameswari yang baru saja turun dari box fototerapi.
"Aku ingin tahu keadaan bayinya." Ujar Thalia, ia memutuskan untuk masuk keruang neonatus sambil mengenakkan jas khusus ruangan.
"Dokter Thalia, selamat pagi." Sapa perawat yang sibuk menjemur bayi dibawah matahari pagi.
"Selamat pagi. Boleh aku menemui dokter Amelya?" Tanya Thalia.
"Tentu boleh, dok. Silahkan masuk. Dokter sedang visite didalam." Ujarnya.
Thalia segera menghampiri dokter Amelya. Wanita itu tersenyum melihat Thalia menghampirinya.
"Pagi, dok." Sapa Thalia menghampiri Amelya sontak wanita itu menghentikan aktivitasnya. "Lanjutkan saja, dok. Aku ingin tahu perkembangan bayi ini saja." Sambungnya sambil melihat bayi nyonya Prameswari.
"Kondisinya bagus, hasil labnya juga sudah normal. Kemungkinan bisa dibawa pulang besok sore setelah injeksi dosis terakhir." Papar Amelya melihat perawat merapikan baju si bayi.
Keduanya berlanjut memeriksa bayi kecil karena IUGR riwayat ibu Eklamsi. Amelya memeriksanya dengan cekatan, si bayi bergerak aktif dan menangisnya kuat—Thalia sempat terkejut akibat suara lengkingan dari sang bayi memenuhi ruangan.
"Dia hebat bisa bertahan dengan kondisi ibunya nyaris terkena kejang eklamsi kalau tidak cepat ditangani." Thalia menatap sang bayi dengan kuatnya mengenyot botol susu karena kehausan. "Minumnya kuat ya. Anak pintar." Pujinya.
Amelya menyetujui. "Perkembangannya selama ini memang bagus, dok. Bayi ini memang kuat meskipun ia IUGR. Jika tidak ada kendala, ia bisa pulang bersama-sama dengan ibunya."
Thalia mengangguk. "Ibunya juga dalam kondisi stabil, tekanan darah terakhir sudah 150/100 mmHg. Aku terkesiap saat melihat rekam medis kedatangan pasien di UGD, tekanan darahnya mencapai 180/160 mmHg. Sudah ada indikasi kejang, malah ibu mertuanya minta dijadiin ayam geprek." Sungutnya kesal.
Amelya tertawa. "Tapi, dia kicep saat berhadapan dengan dokter Thalia yang akan melibatkan keluarga pihak perempuan."
"Pasti keluarga perempuan tidak tahu kondisi putrinya, suaminya juga kurang greget. Iihh—sebel aku jadinya kalau ingat-ingat. Laki kok mlempem kayak kerupuk." Decak Thalia sambil memukul-mukul tangannya sendiri, tanpa ia sadari perkataan Thalia sedikit menyinggung Amelya.
Senyum Amelya samar. "Andai si ibu bisa bersikap seperti dokter Thalia. Pasti suaminya akan takut."
Thalia terkejut. "Jangan sampai aku mendapat suami model begitu. Sudah bukan tipeku, dok." Bantahnya.
"Tapi kalau hati sudah dibutakan cinta. Pria paling buruk pun akan tetap dianggap baik didepan matanya." Amelya menatap lekat Thalia.
Suasana mendadak aneh dan canggung. Thalia merasa ada sesuatu yang aneh pada Amelya. Seakan, perkataan yang keluar dari mulutnya mencerminkan dirinya.
Iseng Thalia melirik tangan kiri dokter Amelya, kedua matanya melebar ketika ada cincin tersemat dijari manisnya.
'Jadi, dokter Amelya sudah bertunangan? Sejak kapan? Atau aku yang tidak terlalu perhatian yah.' batinnya bertanya-tanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE BEAUTIFUL EYES
Fantasy2nd book of "I Want You" Status : Ongoing ***** Bagaimana jika karakter novel bisa melintasi perbedaan dimensi dan hadir dalam kehidupan nyata seorang Thalia Navgra? Berawal dari jiwanya yang tersesat dan Male Antagonis dapat meraih masa kejayaannya...