55

1.6K 154 21
                                    

Airus menatap adik perempuan satu-satunya lekat, perempuan itu tampak lesu dan tidak ada keceriaan yang biasa terpancar darinya. Jollene duduk bersandar di kursi ayunan diteras belakang, ia menikmati suasana senja.

Airus tergelitik untuk mendekati adik kesayangannya itu, ia berjalan seperti biasa dan tidak mengendap-ngedap, suara langkah kakinya juga terdengar. Jollene tidak menyadari kehadiran sang kakak—perempuan itu terlalu larut dengan dunianya sendiri.

"Aduh!" Jollene terkejut akibat cubitan yang ia dapatkan di pipi tembemnya.

Si pelaku terkekeh, ia sudah duduk tepat disebelah Jollene. Ia mendapatkan tatapan nyalang dari adik tersayangnya. "Kamu memikirkan apa sih? Aku datang dan duduk disini kamu tidak merasakannya, apalagi melihat?" Airus menyandarkan punggungnya, ia menikmafi hembusan angin sore.

Jollene menghela nafas panjang. "Tidak ada, kak." Jawabnya membuat Airus berdecak kesal karena kebohongan Jollene.

"Jangan mengelak, aku tahu kamu dari kecil. Jadi, percuma kamu menyembunyikannya padaku." Sergahnya membuat Jollene mencebikkan bibirnya. "Pasti soal hati dan tak jauh masalahnya terkait dengan pria itu. Siapa namanya, hmm?" Airus mengingat-ingat pria bermata hazel dan memiliki tubuh kelewat tinggi seperti tiang listrik.

"Jangan mulai, kak." Ketus Jollene, ia malas pada Airus mulai membahas ranah sensitifnya.

"Arche!" Seru Airus teringat.

Tatapan tajam kembali terlempar. "Sudahlah, kak. Jangan membahasnya."

"Kenapa kamu tidak mencoba untuk mengejarnya kembali?" Cetus Airus membuat Jollene kaget.

"Aku perempuan, kak." Jollene kembali kesal. "Sedikit gengsi dong."

"Gengsi tapi kerjaannya galau terus." Airus tersenyum miring.

"Lalu, aku harus apa, kak?" Tanya Jollene kesal.

"Cari kelemahannya dan gunakan itu sebagai senjatamu menarik pria itu." Ujar Airus.

Jollene terdiam, ia berpikir hal apa yang menjadi kelemahan Arche. Sejauh ia dekat dengan pria itu, tidak nampak kelemahan apapun yang ditunjukkan olehnya. Airus menatap lekat ekspresi Jollene yang berpikir keras.

"Pria itu kelemahannya yang paling fatal ialah soal wanita. Itu mutlak nomor satu. Lalu untuk selanjutnya, kelemahannya bisa berhubungan dengan barang kenangan atau peninggalan seseorang yang penting." Papar Airus membuat Jollene melebarkan kedua matanya.

"Bik!" Panggil Jollene dengan suara naik satu oktaf. Ia beranjak lari masuk kedalam rumah meninggalkan Airus yang terdiam melihat tingkah lakunya yang tiba-tiba berubah.

"Iya, non." Balas asisten rumah tangga.

"Kesini dulu, bik." Jollene berdiri tepat diruang makan tak jauh dari dapur dimana asisten rumah tangga bernama bik Ijah memasak.

"Ada apa, non?"

"Bik, tolong temani aku membereskan kamar ruang tamu. Kamar itu sudah tidak dipakai lagi sejak temanku sudah menemukan tempat tinggal barunya. Bantu aku mengemas barang-barangnya, aku ingin mengembalikannya." Bik Ijah mengangguk.

Tugas memasak dilanjutkan oleh asisten rumah tangga yang lain. Jollene segera memasuki kamar ruamg tamu, tempat Arche pernah menginap dan sempat menjadi tempat ia mengutarakan perasaannya dan berakhir dengan penolakan.

Jollene mengedarkan pandangannya, ia menghela nafas panjang teringat momen penolakan itu terjadi.

Bik Ijah segera membersihkan dan mengemasi barang-barang milik Arche. Hanya ada dua ransel, satu rasel masih tertata rapi, dan satunya sempat Arche buka dan barang-barang pribadinya tergeletak diatas nakas. Jollene berkeliling ruangan, mengamati dan melihat apakah ada barang penting yang Arche tinggalkan. Entah mengapa, hatinya tertarik untuk mencari kelemahan pria itu.

Jollene benar-benar menyukai pria itu.

"Semuanya sudah bibik kemasi, non." Ujar bik Ijah sambil meletakkan dua ransel cukup besar diatas tempat tidur.

"Bantu aku membawa semua ini kekamarku, bik." Jollene mengambil satu ransel, sementara bik Ijah membawa satunya. Keduanya memindahkan tas ransel milik Arche ke kamar Jollene.

Airus menatap kesibukan Jollene dan bik Ijah membawa dua tas ransel hitam besar menuju ke kamar Jollene. "Perlu bantuan?" Sahut Airus berinisiatif.

Jollene menggelengkan kepalanya. "Tidak perlu, kak. Aku sudah dibantu bik Ijah, kakak istirahat saja. Terima kasih." Balasnya kemudian masuk kekamar. Dalam hitungan detik, bik Ijah kembali keluar dari kamar meninggalkan Jollene sendiri bersama kedua ransel hitam besar milik Arche.

***___***

Keheningan terjadi selama beberapa menit, Jollene masih terdiam menatap kedua ransel hitam tersebut. Ia mengamati bentuk ransel tersebut sangat berbeda dengam ransel-ransel apda umumnya. Desainnya memang hampir seperti tas kekinian, tetapi bahan yanh dipakai terlihat langka dan mahal.

Ransel hitam itu terbuat dari kulit, Jollene menyentuh setiap sudutnya. Benar-benar terbuat dari bahan kulit berkualitas tinggi, di setiap sisinya terdapat rangka kokoh yang menopang kekuatan ransel tersebut hingga memuat banyak barang.

Ia kembali membolak-balikkan kedua ransel tersebut. Tidak ada yang istimewa, hingga kedua matanya terpaku pada bordiran inisial dibagian sisi dalam—bagian menyentuh punggung. Jemari Jollene menyentuh inisial tersebut.

"AE." Sahutnya. Ia pun beralih melihat ketas ransel satunya—memastikan. Benar saja, inisial yang berbeda tertulis disana. "TN." Sambungnya berusaha mencerna sesuatu.

"Ini sebuah inisial nama. Aku hanya tahu TN itu Thalia Navgra. Berarti, selama ini Arche sudah mengenalnya." Gumam Jollene. "AE itu siapa?" Sambungnya mencoba menerka-nerka, tapi ia menemui jalan buntu.

Jollene beralih membuka salah satu diantaranya. Ia mengeluarkan semua barang-barang milik Arche yang berisi sejumlah pakaian, perlengkapan pribadi, serta sebuah dompet. Ingin Jollene membuka dompet tersebut. Tapi, ia urungkan. Ia membuka ransel satunya, kedua matanya membulat sempurna saat ia mengeluarkan sebuah buku berwarna keemasan dengan ukiran apik serta simbol seekor burung yang cantik.

"The Beautiful Eyes." Gumam Jollene menatap penuh pesona pada buku emas apik tersebut.

Ia menaruh buku itu hati-hati, jemarinya kembali mengeluarkan sebuah kotak kayu berukiran aksara kawi—Jollene tidak memahami arti tulisan tersebut. Ia meletakkan kotak itu tidak jauh dari buku emas berada. Jollene kembali terkejut melihat isi tas ransel, sebuah senjata api lengkap dengan pelurunya.

Jantung Jollene kini berdebar memikirkan siapa Arche sebenarnya sehingga ia memiliki senjata api didalam tas ranselnya. Senjata itu tampak masih baru dan hanya terpakai tiga kali. Jollene meletakkan senjata api itu sedikit menjauh darinya, ia khawatir sewaktu-waktu senjata itu meletup dan menimbulkan kekacauan.

Ia kembali menyusuri kedua tas ransel hitam itu dan hasilnya—kosong. Jollene telah mengeluarkan seluruh isi dari tas tersebut. Kedua matanya melirik buku emas—ia mengabaikan kotak kayu disebelahnya. Jollene lebih tertarik melihat isi dari buku tersebut. Suara dercitan kursi memekakkan telinga, Jollene segera menghempaskan pantatnya, ia memangku buku emas yang memiliki beban lumayan berat.

Ia membuka isi buku tersebut tanpa kesulitan, karena memang tidak terkunci, kedua matanya melebar sempurna. Ia melihat berbagai aksara asing yang terukir timbul disetiap halamannya, tak lupa simbol serta gambar yang cantik disetiap sudut atau sisi perhalaman.

"Buku yang cantik." Ujarnya kembali membolak-balikkan halaman. "Tapi aku tidak paham arti tulisan ini." Sambungnya dengan kedua alis saling bertaut.

Ia menggelengkan kepalanya mengagumi setiap ukiran tulisan dan gambar yang ada didalam buku emas itu. "Selain cantik, buku ini sepertinya barang penting dan langka. Aku yakin, pak Arche pasti kelimpungan jika aku melenyapkan atau menjual buku ini. Buku ini pasti memiliki harga jual yang sangat tinggi." Senyum miring terukir diwajah cantik Jollene. Kedua matanya berbinar, ia tergoda melihat pundi-pundi rupiah jika ia menjual buku berbahan dasar emas itu.

"Apa salahnya mencoba? Seperti kata kakak, aku bisa menggunakan semua ini untuk menariknya kembali kesisiku." Sorot matanya penuh dengan obsesi ingin memiliki.

Jollene mengambil ponsel pintarnya diatas nakas. Ia mempunyai ide untuk menarik perhatian pria yang sudah menarik hatinya.

THE BEAUTIFUL EYESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang