36

2.2K 268 20
                                    

Gian turun dari mobil milik Thalia, ia berniat menjemput dan mengembalikan mobil milik sahabatnya itu. Gian meraih ponselnya di tas dan layar pun menyala-tak ada pemberitahuan atau pesan apapun.

"Anak ini baik-baik saja atau sedang dalam bahaya ya?" Gumam Gian khawatir.

Ia teringat pria mirip Arche dan mengaku sebagai Ace Ellenius. Pria itu berdiri tepat dihadapannya dengan sorot mata begitu mematikan. Merah berkilat menatap nyalang dirinya dan Nirwana. Dengan ekspresi dingin serta datarnya, ia merebut Thalia yang berada digendongan Nirwana. Pria itu nampak posesif.

"Masa iya sih Ace Ellenius-ah, mungkin hanya namanya saja yang mirip. Tapi, matanya ituloh. Mana mungkin karakter novel bisa ke dunia nyata. Aku kebanyakan halu deh." Batin Gian ribut.

Ia mendengus kesal. "Jika memang pria itu datang dari dunia fantasi. Kenapa Thalia tidak cerita ya? Apa Thalia berpikir aku akan meledeknya jika dia cerita? Kalau memang benar, dunia ini ajaib dong!" Seru Gian menebak-nebak.

Tidak lama, ia mengambil nafas panjang dan menghembuskannya kasar. "Terserah saja. Nanti juga Thalia juga akan cerita sendiri, terpenting aku kembalikan dulu mobil ini padanya. Aku juga ingin tahu apa dia baik-baik saja." Gian pun keluar dari mobil menuju ke dalam rumah sakit.

Gian berjalan cukup cepat, ia memakai pakaian yang casual sehingga mempermudah dirinya beraktivitas. Kedua matanya celingukan mencari sosok yang ia kenal-nihil. Ia juga bertanya pada perawat, jawabannya Thalia sudah pulang. Dia dijemput oleh seorang pria.

"Nanti aku akan kerumahnya saja." Ujar Gian berbalik ingin kembali pulang.

Dari kejauhan, nampak mata milik dokter Temmy berbinar saat melihat Gian melintasi lorong rumah sakit. Tanpa banyak pertimbangan, Temmy berlari dan memanggil Gian dengan suaranya yang berat.

"Mbak Gian!" Panggil Temmy membuat si pemilik nama mau tak mau harus menoleh.

"Dokter Temmy, selamat sore." Ujar Gian sopan.

Temmy sudah berdiri di hadapan Gian, ia sedikit tampak canggung. "Selamat sore, mbak." Jawabnya membalas sapaan Gian.

"Cukup Gian saja, dok. Jangan pakai mbak!" Pintanya.

"Iya, maaf. Aku panggil Gi saja ya?" Tanya Temmy Gian pun mengangguk setuju. "Kamu kesini mencari Thalia, Gi?"

"Iya, dok. Tapi, sepertinya aku terlambat buat nyamperin dia." Nadanya tampak kecewa.

"Benar, Thalia sudah pulang dari setengah jam yang lalu." Ucap Temmy membenarkan. "Maaf lancang, memangnya ada keperluan apa? Kalau aku bisa bantu, pasti aku bantuin. Jangan sungkan." Sambung Temmy.

Gian tertawa pelan. "Terima kasih, dok. Aku ingin mengembalikan mobil Thalia saja. Tempo hari sedikit ada halangan dia. Jadi, mobilnya ditinggal."

"Ohh begitu, lalu sekarang mbak Gian ingin kerumahnya Thalia?"

Gian diam sejenak berpikir. "Mungkin besok saja, dok. Sepertinya Thalia sedang sibuk kali ini." Jawab Gian mengingat tidak ada telepon maupun pesan dari sahabatnya itu. "Kalau begitu, aku permisi dulu, dok. Permisi."

Temmy sedikit terjingkat. "Tunggu sebentar, Gi." Cegahnya refleks memegang pergelangan tangan Gian.

Keduanya saling beradu pandang dalam beberapa detik dan Gian pun tersenyum kikuk mendapatkan refleks yang tak terduga.

"Ya, dok?" Gian menunggu.

Temmy mengambil nafas panjang, ia mengatur debaran dadanya agar tetap tenang-Temmy jelas sangat gugup sekarang, ia baru pertama kali melakukan hal demikian. Ia akui memang jomblo akut. Tapi, Temmy masih normal, ia tertarik pada wanita, meskipun kebanyakan rumor mengatakan ia menyukai sesama jenis akibat sikap lembutnya, nyaris membuat orang berpikiran dia tipe pria kemayu.

"Kalau kamu tidak ada rencana. Aku ingin mengajakmu makan malam bersama. Bagaimana?" Akhirnya Temmy mengatakan secara langsung ajakan yang selama ini ia lancarkan lewat pesan singkat.

Gian terdiam beberapa saat, ia menatap kedua mata Temmy. "Terima kasih untuk ajakan makan malamnya. Tapi, sepertinya aku tidak bisa." Jawab Gian.

Temmy masih berusaha tersenyum tipis. "Begitu ya, maaf kalau ajakanku terlalu mendadak."

Gian tertawa pelan. "Sepertinya aku tidak bisa kalau tidak ke café langgananku bersama Thalia. Kamu tahu disana menu disana bervariasi dan rasanya juga tidak kalah enak dengan tempat makan atau resto yang lain." Jawab Gian membuat hati Temmy mendadak lega.

"Jadi, nanti malam kita bisa jalan?" Tanya Temmy membuat Gian menganggukkan kepala. "Baiklah, aku jemput nanti malam." Sambung Temmy dengan senyumnya yang mengembang.

"Aku tunggu." Jawab Gian.

Tak lama mereka berpisah karena Temmy harus melakukan tindakan darurat pada pasien yang baru saja masuk. Dalam hati, Temmy bersorak gembira karena Gian menyetujui ajakannya-sepertinya apa kata Thalia benar, Gian lebih menyukai pria sat set.

***___***

Gian menuruni tangga rumahnya, ia tampil sangat cantik, long dress shifon selutut berwarna hitam dengan high heels senada dengan gaunnya membuat penampilan Gian semakin memancar. Rambut Gian tersanggul longgar keatas dengan beberapa helai menghiasi wajahnya. Ia tampak lebih segar dengan dandanannya yang sederhana dan natural.

Temmy terpaku melihat kehadiran wanita yang sudah menarik perhatiannya tersebut. Penampilannya sangat berbeda dengan keseharian Gian yang ia tahu. Beruntung, Temmy juga memakai setelan warna senada dengan long dress milik Gian. Rambut tertata rapi. Kebetulan yang sangat menguntungkan bagi Temmy-bukan'kah itu semua awal yang baik untuknya? Mereka memiliki selera yang sama.

Gian tersenyum tipis menyambut Temmy yang sudah menunggunya di ruang tamu bersama ayah dan ibunya. Ia memang meminta Temmy menjemputnya langsung ke rumah, tanpa Temmy tahu bahwa ia akan berhadapan secara langsung dengan kedua bodyguard Gian-orang tuanya.

"Tante, Om. Saya izin mengajak Gian keluar jalan-jalan." Ujar Temmy setelah Gian sudah berdiri tidak jauh darinya.

"Hati-hati dijalan, kamu jaga Gian dengan baik. Kamu jemput dalam kondisi baik, kamu antar pun juga harus demikian. Jika tidak, maka saya akan menghabisimu!" Pesan ayah Gian yang penuh dengan sarat ancaman.

Temmy mengangguk, ia berusaha tenang meskipun hatinya sudah melompat-lompat tidak karuan. "Baik, om. Saya akan menjaga Gian."

Gian menatap Temmy penuh arti, senyum manis itu masih terukir diwajah manisnya. "Pa-Ma. Gian pergi dulu."

Ibu Gian mengangguk. "Hati-hati dijalan, nak. Jangan pulang terlalu larut ya."

Gian mengangguk. Tak lama keduanya berpamitan dan pergi menuju café yang sudah ditentukan.

Keheningan terjadi, Temmy fokus mengendarai mobilnya, sesekali ia menatap Gian yang tampak tenang dan membaca buku yang ia bawa. Gian menyadari ia ditatap oleh Temmy. Sontak ia menutup bukunya karena merasa tidak sopan mengabaikan Temmy begitu saja.

"Maafkan aku terlalu asyik membaca buku." Ucap Gian meminta maaf.

Temmy tertawa pelan. " Tidak apa-apa, aku mengerti. Ternyata kamu benar-benar hobi membaca."

"Tidak juga, hanya untuk mengusir rasa kantuk saja." Bantah Gian.

Temmy melirik buku milik Gian. "Kamu menyukai Novel fantasi?"

"Iya, dok. Maklum suka mengkhayal." Jawab Gian kikuk. "Dokter, maaf soal tadi ya. Dokter jadi menungguku lama."

Temmy menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa. Toh, aku juga tidak sendirian 'kan. Ada ayah dan ibu kamu menemani."

"Mereka pasti merepotkan dokter." Ia tidak berani membayangkan orang tuanya melemparkan beberapa pertanyaan kepada dokter yang baru ia kenal dan datang untuk menjemputnya.

Temmy tertawa. "Tidak merepotkan kok. Justru aku senang bisa lebih mengenal mereka. Jadinya, jalanku mendekati putrinya akan lebih mudah." Jawab Temmy berhasil membuat Gian terdiam, ia tersipu. "Kamu tidak keberatan 'kan? Karena aku ingin mengenalmu lebih dekat lagi." Sahut Temmy dengan senyum manis terukir diwajahnya.

Kedua pipi Gian memanas, ia tidak mampu mengeluakan suara. Ia tahu hatinya sedang tidak baik-baik saja, sehingga buku novel dipangkuan wanita itu berakhir sedikit lecek akibat pelampiasannya demi mengontrol debaran dihatinya. Temmy kembali menyunggingkan senyum diwajahnya, suasana hatinya benar-benar dipenuhi oleh bunga yang bermekaran layaknya musim semi.

THE BEAUTIFUL EYESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang