56

1.3K 161 15
                                    

Ace berdiri dihadapan Jollene, ekspresinya tetap datar. Ia terpaksa meninggalkan pekerjaannya untuk sementara waktu, akibat Jollene meminta waktunya sejenak. Tapi, sudah 15 menit berlalu, Jollene masih berkutat dengan data pasiennya.

"Aku akan menemuimu saat makan siang." Ujar Ace jengah, Jollene sontak melemparkan tatapannya kepada Ace.

"Aku sudah selesai, pak. Jangan terburu-buru." Cetus Jollene membuat Ace mengurungkan niatnya.

"Ada apa kamu mencariku, Lene?" Tanya Ace.

Jollene menghela nafas panjang. Ia meraih pergelangan tangan Ace dan menarik pria itu untuk mengikutinya hingga sampai diruang pribadi Jollene. Perempuan itu menutup pintu kemudian ia berbalik. "Pak Arche masih bersikap dingin kepadaku. Padahal aku sudah meminta maaf kepadamu kemarin." Balasnya menatap sendu Ace.

Ace mengangkat sebelah alisnya, dalam hati ia mengingat-ingat kapan ia bertemu Jollene untuk terakhir kali.

"Aku tahu sikapku buruk, sudah bertindak memalukan didepan pak Arche. Tapi, perasaanku kepada bapak itu nyata. Aku menyukai ba—"

"Apa yang ingin kamu sampaikan, sebenarnya?" Tanya Ace memotong perkataan Jollene.

Jollene harus menelan pernyataannya kembali, Ace benar-benar membuatnya bungkam dan tidak bisa melanjutkan untuk mengutarakan perasaannya.

"Apakah bapak tidak berniat untuk kerumahku lagi?" Tanya Jollene dengan nada datarnya.

"Tidak. Aku sudah tidak berniat sama sekali." Jawab Ace cepat.

Jollene tertawa pelan. "Segitunya bapak menjaga jarak denganku. Padahal dulu, saat di Australia, pertama kali bapak mengenalku, bapak benar-benar lembut dan perhatian padaku. Bapak juga selalu mengikutiku kemanapun aku pergi." Jollene nampak kecewa. "Tanpa bapak tahu, semua sikap lembut dan perhatian yang bapak curahkan kepadaku, sudah membuat perasaanku terpaut padamu, pak." Lirihnya frustasi.

Ace terdiam—ia sadar diri punya andil besar sehingga Jollene benar-benar jatuh hati padanya.

Jollene terkekeh, ia merasa dirinya nampak berantakan. Entah wajahnya sudah seperti apa, frustasi, mata merah karena menangis, marah, kecewa semua tercampur menjadi satu.

"Lupakan kejadian kemarin, pak. Aku minta maaf sudah bertindak bodoh. Tapi, untuk perasaan yang aku rasakan sekarang ini. Aku tidak bisa untuk tidak peduli." Jollene tersenyum manis.

"Apa maksudmu, Lene?" Ace mempunyai firasat buruk.

"Sebelum janur kuning melengkung, aku akan berusaha menarik perhatian bapak. Aku benar-benar menyukaimu, pak Arche." Jollene dengan lantang mengutarakan perasaannya.

"Maaf, aku tidak bisa menerimanya." Ace kembali menolak dengan tegas ungkapan hati Jollene. Ia memijit pangkal hidungnya, harus berapa kali Ace menolak Jollene agar perempuan itu tahu dan mengerti—Jollene keras kepala.

Perempuan itu menghela nafas panjang. "Sudah aku duga." Ia menatap lekat kedua netra hazel itu. "Kalau begitu, benda penting milik bapak akan bernasib tragis." Sambungnya dengan nada datar penuh penekanan.

Kedua alis tebal milik Ace bertaut. Jollene tersenyum miring.

"Buku emas langka serta mewah dengan ukiran burung cantik dan aksara latin The Beautiful Eyes. Apakah pak Arche ingat?" Ucap Jollene sontak membuat kedua mata hazel itu membola.

"Kamu lancang!" Seru Ace. Pria itu tidak menyukai orang asing membuka dan mengobrak-abrik barang pribadinya.

Jollene tersenyum tipis. "Aku terpaksa. Lagipula bukunya baik-baik saja, pak. Aku menjaganya. Tapi, perasaanku tidak baik-baik saja. Sayangnya, bapak tidak menjaganya seperti aku menjaga barang penting milik bapak."

THE BEAUTIFUL EYESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang