77

760 135 6
                                    

Suara daun yang saling bergesekan satu sama lain akibat terpaan angin membuat suasana petilasan kian harmoni. Ada lima pendatang dan mengunjungi petilasan. Sebagian dari mereka hanya melihat-lihat, berfoto, dan ada satu orang yang khusyuk melakukan meditasi, ia duduk bersila tepat ditengah lokasi.

Kedua matanya terpenjam, kinerja otaknya sudah memasuki gelombang theta. Cukup lama waktu bergulir tidak membuatnya merasa bosan dan mengakhiri meditasinya.

Bibirnya tertarik membentuk sebuah senyuman seakan ia melihat sebuah kilasan yang sudah ia nantikan sejak dahulu. Kemampuan yang ia dapatkan serta jiwa dari masa lalu menempati raganya membuat kemampuannya berkembang pesat. Dia bukanlah peramal, dukun, ataupun penerawang yang dapat memprediksikan masa depan. Tapi, ia dapat melihat kilasan masa depan dengan melakukan meditasi, kilasan itu terkadang timbul dan semakin jelas saat raganya terisi oleh jiwa sang raja dari masa lalu.

Kali ini, ia mendapat kilasan akan bertemu dengan pemilik mata yang langka.

"Tinggal menunggu peristiwa manis itu terjadi." Batinnya dengan senyum mengembang.

Segala usaha yang telah ia lakukan hampir berbuah manis, kedua matanya terbuka, ia merasa seperti mendapatkan energi positif setelah melakukan meditasi. Setelah menyalakan satu buah dupa, ia menyentuh ukiran nama Raden Wijaya.

"Setelah bertemu dengannya, apakah aku akan menghilang?" Gumamnya pelan.

Raden Wijaya tidak mempermasalahkan jika harus kehilangan kehidupan keduanya, ia tidak boleh serakah karena dalam raganya sekarang ada pemiliknya sendiri meskipun ia tidak tahu kemana jiwa itu pergi. Tak ada petunjuk apapun, ingatan juga tidak ada. Semuanya kosong, hanya ada ingatan tentang dirinya dimasa lalu.

Pikirannya melayang seketika terputus kala ponsel disaku tasnya berbunyi. Ia segera mengambil dan melihat layar ponselnya. Istri tercintanya sedang meneleponnya. Tak lama ia menjawab telepon tersebut. Suara lembut menerpa indera pendengarnya, ia mendengar dengan seksama apa yang dikatakan kekasih hatinya itu.

"Mas Arche, ada dimana?" Tanya wanita itu lembut.

Mata hazel itu menatap sekeliling petilasan. "Mas ada di Siti Inggil."

"Meditasi ya? Apakah ada yang menganggu pikiran, mas?" Suara khawatir itu bertanya.

Arche tertawa pelan. "Tidak, aku hanya menenangkan pikiran saja. Sebentar lagi aku akan pulang. Kamu mau nitip sesuatu, sayang?" Tanya Arche.

"Iya, mas. Kalau pulang, dinda boleh titip susu dan pampers buat Brawijaya? Stok habis bersamaan." Ujarnya setelah berbasa-basi sejenak.

"Tentu, aku akan segera kembali. Jangan lupa makan, aku sudah menyiapkan banyak menu tadi pagi agar produksi ASI untuk Brawijaya melimpah." Ujar Arche seraya menenteng tasnya untuk beranjak pulang.

"Terima kasih, mas. Hati-hati pulangnya. Dinda sayang mas Arche." Sahut wanita itu dengan nadanya yang manis.

Senyum Arche mengembang. "Kalau kamu tidak dalam masa nifas, aku sudah memangsamu saat ini juga, Prameswari." Kesalnya dan terdengar suara tawa dari sang istri.

Telepon berakhir, ia segera keluar dari petilasan. Saat menulusuri tangga satu persatu, tiba-tiba kedua kakinya berjalan berputar arah. Kedua alis Arche saling bertaut. Hatinya tiba-tiba tergelitik untuk kembali dan lewat dipintu lainnya, keinginan melihat pohon dimana ia berpisah dengan Ace dimasa lalu itu tiba-tiba muncul.

Arche berjalan sambil menikmati kesejukan sekitar petilasan, pikirannya kembali melayang disaat ia dulu kembali ketempat ini untuk menenangkan diri setelah ia berhasil menjadi raja.

THE BEAUTIFUL EYESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang