46

2K 228 14
                                    

Sejak kedatangan Nirwana serta perselisihan antara Thalia dan ibunya, ia sering menginap di apartemen Ace atau memilih lembur di rumah sakit. Tindakannya dapat dikatakan masih kekanak-kanakan. Akan tetapi, ia tidak peduli—toh kedekatan Thalia dan Ace masih dalam batas wajar meskipun keduanya suka bermain-main dengan namanya gairah. Ace memegang prinsipnya, ia memilih menahan dirinya sampai mereka berhasil menikah untuk yang kedua kali.

Thalia menyenderkan kepalanya didada bidang Ace, keduanya menyaksikan breaking news yang sedang mengulas kasus maraknya penculikan anak. Ace fokus mendengarkan informasi, ia teringat pada Rio—anak usia 7 tahun yang diculik oleh sekelompok penjahat bersenjata api. Ia memiliki firasat kalau para pelaku penculikan masih dalam satu circle.

"Mengerikan." Thalia meringis. "Lalu, bagaimana nasib mereka selanjutnya?"

"Para korban akan dibawa ke satu tempat dan disanalah para korban nantinya akan dijual. Entah itu dijual dalam keadaan hidup atau mati." Papar Ace membuat Thalia menegakkan tubuhnya.

"Bagaimana kamu bisa tahu?" Tanya Thalia.

Ace menatap Thalia, pandangan keduanya beradu. "Saat pertama kali aku sampai disini, aku sempat membantu seseorang menyelamatkan anak kecil."

"Lalu?" Thalia nampak tertarik.

"Tentu aku menghabisi semuanya dan lebih menariknya lagi, mereka memiliki senjata mematikan. Aku baru pertama kali melihatnya, dia bisa menembakkan benda kecil dengan cepat. Jika kita terkena maka fatal akibatnya." Jelas Ace mencoba menjelaskan situasi.

"Senjata mematikan maksudmu senjata api? Pistol?"

Ace mengangguk. "Betul, aku mengambil salah satu diantaranya. Dan aku simpan diranselku. Tapi, gara-gara terjadi sedikit insiden, aku lupa mengambilnya."

Thalia mendelik. "Kamu menyimpan senjata itu? Bagaimana kalau ada yang mengambilnya? Sekarang dimana kedua ranselmu itu?" Cecarnya membuat Ace menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Dirumah Jollene." Jawab Ace singkat.

Thalia memicingkan tatapannya, ia berpindah posisi dan duduk diatas pangkuan Ace. "Aku tidak tahu kamu pergi ke rumah Jollene. Kenapa tidak memberitahuku bahkan mengajakku?" Ujar Thalia dengan nada kesalnya, jemari Thalia bergerak mengelus rahang tegas Ace hingga memercikkan api gairah yang sedari awal ia abaikan.

"Biar tidak menambah beban pikiranmu, Tha. Lagipula kamu masuk kerja, setelah aku mengantarmu dari belakang baru aku pergi kerumah Jollene." Jelas Ace.

"Jollene tidak melakukan apa-apa 'kan?" Thalia menangkup wajah Ace.

Ace menyunggingkan senyumnya. "Sedikit."

Thalia segera berdiri dan turun dari pangkuan Ace. "Sudah kuduga." Thalia melengos hendak beranjak dari tempat ia duduk.

Dalam hitangan detik, refleks Ace meraih dan memegang pergelangan tangan kekasihnya, gadis itu terdiam dan kembali menatap Ace. "Apa?" Ketusnya.

Ace tertawa dan menarik tangan Thalia, gadis itu limbung dan menimpa Ace. "Ceritanya belum selesai." Godanya membuat Thalia mencebik kesal.

"Lalu, bagaimana nasib anak kecil yang kamu selamatkan itu?" Thalia mengabaikan topik tentang Jollene, ia tahu akan berakhir dengan Ace menggodanya—urung niatnya ingin merajuk. Lagipula, Thalia juga penasaran dengan nasib anak kecil korban penculikan.

"Dia selamat kok. Langsung dijemput sama orang tuanya, dia berasal dari Indonesia. Kalau aku tidak salah ingat, dia berasal dari Mojokerto." Ungkap Ace.

"Wah, aku pernah kesana liburan. Kerumah saudara jauh Gian, mereka merayakan pesta ulang tahun anaknya yang baru menginjak usia 7 tahun."

"Usianya sama seperti korban penculikan yang aku selamatkan waktu itu." Timpal Ace, netra merahnya menatap lekat Thalia.

THE BEAUTIFUL EYESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang