Thalia sibuk membereskan ruangan Ace karena pria itu pergi ke minimarket untuk membeli beberapa cemilan dan minuman. Rencana dua hari libur ingin mereka manfaatkan untuk kencam berdua, Thalia dengan senang hati menikmati kebersamaan mereka.
Saat ia melipat beberapa baju Ace, sebuah kertas seukuran kartu nama jatuh dari sakunya. Thalia segera memungut dan membaca tulisan diatas kertas tersebut. Kedua alisnya saling bertaut.
"Apartemen Jollene. Untuk apa Ace menyimpan ini?" Perasaan Thalia kembali tidak nyaman, ia teringat kejadian terakhir yang menimpa Jollene hampir membuat nyawa wanita itu hilang jika dirinya tidak bertindak. "Kali ini apa yang kamu rencanakan, sayang?" Gumamnya memikirkan apa yang akan dilakukan oleh Jollene. Thalia tidak akan kecolongan, ia akan melakukan apapun untuk menggagalkan rencana sepupunya tersebut.
Pintu ruang tamu terbuka. Suara bariton itu memanggil Thalia. Bergegas ia keluar dari kamar Ace untuk menghampiri sang empu-nya suara. Ada 3 kantung besar diatas nakas, Thalia semangat membuka satu persatu kantung tersebut. Aneka snack, kue kering, hingga minuman ada didalam sana. Thalia juga mengambil tiga bungkus mie instans, ia bergegas kedapur untuk mengolahnya dengan tambahan daging, sayur, telur dan beberapa bumbu racikannya sendiri.
Ace keluar dari kamarnya setelah ia selesai membersihkan diri, ia berjalan mendekati Thalia. Tak acuh ponsel sedari tadi digengamannya, ia taruh begitu saja dimeja makan. Ia memeluk Thalia dari belakang dan membenamkan wajahnya diceruk leher kekasihnya. Thalia meringis geli akibat duselan wajah Ace.
"Tunggu, nanti hangus ini." Keluh Thalia berusaha menarik diri. Sementara, Ace semakin erat memeluknya. Pria itu menggelengkan kepalanya enggan, Thalia semakin meringis geli. "Diam Ace, tenanglah. Aku lanjutkan dulu masaknya habis itu makan." Pungkas Thalia berusaha mengabaikan beban berat dibelakang tubuhnya.
"Ternyata tidak ada ruginya ya punya pasangan mungil." Ujar Ace mencium-cium jahil leher Thalia.
Ekspresi wanita itu memberengut. "Apa maksudnya ini? Aku pendek gitu?" Ketusnya dingin.
Ace tertawa. "Tidak kok. Bukan pendek tapi mungil. Tidak seperti saat kamu ditubuh Nathalia."
Thalia mematikan kompor karena masakannya sudah matang, ia membalikkan badan. Kedua lengannya melingkar dileher Ace, ia menempelkan tubuhnya. Hidung mereka saling bersentuhan, tatapan dalam saling beradu.
"Bukan aku yang pendek. Tapi, kamu yang terlampau tinggi. Jadi, semua orang terkesan seperti krucil-krucil kecil dimatamu." Ace tertawa kembali. "Lagi pula, rata-rata tinggi badan diduniamu 180-an keatas, Nathalia pun tingginya gak kira-kira 180-an lebih. Aku disini, tinggi 175 sudah sulit mencari pria yang memiliki tinggi diatasku. Kebanyakan mereka minder dekat-dekat aku." Thalia tertawa membayangkan ia berjalan beriringan dengan Temmy, tinggi mereka sama.
Ace tiba-tiba diam, mendadak tubuh Thalia melayang digendongan Ace membuat sang empu-nya berteriak karena terkejut. Ace menghempas tubuh mereka diatas sofa yang empuk dan lembut. Thalia kini duduk diatas pangkuan Ace, jemari kekarnya tak lepas dari pinggang Thalia.
"Kamu tidak suka pria tinggi, ya?" Pria itu merajuk, iris merahnya menatap sendu Thalia.
"Aku tidak pernah bilang seperti itu," Thalia membantah. "Sudah jangan merajuk lagi. Ayo makan, aku lapar."
Thalia tidak bisa bangun dari pangkuan Ace, tangan pria itu mencegahnya. Ekspresi pria itu tetap sama, ia merajuk. Thalia gemas dibuatnya.
Ia mengecup dan mencecap sekilas bibir manyun milik Ace, tubuh pria itu menegang samar menikmati serangan dadakan Thalia.
Ia menyudahi ciumannya dan melepaskan diri setelah merasakan fokus Ace terpecah. Thalia tertawa mengejek dan berlari menjauhi Ace yang menatapnya kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE BEAUTIFUL EYES
Fantasy2nd book of "I Want You" Status : Ongoing ***** Bagaimana jika karakter novel bisa melintasi perbedaan dimensi dan hadir dalam kehidupan nyata seorang Thalia Navgra? Berawal dari jiwanya yang tersesat dan Male Antagonis dapat meraih masa kejayaannya...