78

761 141 10
                                    

Rumah sederhana tampak sejuk dan asri itu berukuran sedang. Meskipun sederhana, rumah itu memiliki halaman luas dengan kebun minimalis, berbagai tanaman hias tertata rapi disana. Kedua mata Thalia dimanjakan oleh berbagai macam warna bunga anggrek yang tumbuh dan diletakkan mengantung, bahkan ada yang menggantung didinding yang sudah dilapisi oleh grid wall hijang.

Udara panas dari terik matahari tidak terlalu terasa, Arche atau istrinya—Prameswari sepertinya menyukai hal-hal berbau tanaman hias. Salah satu sisi, ada kolam ikan berbentuk kotak dengan tepian tertata bebatuan khas batu sungai. Ada air mengalir dari pancuran disalah satu sudutnya. Kolam itu juga dikelilingi tanaman mini yang mendukung penampilan kolam menjadi lebih natural. Suara air yang ditimbulkan membuat suasana menjadi segar dan perasaan menjadi nyaman.

Ace melirik Thalia sejenak, senyumnya terukir kala melihat istrinya tampak senang menikmati pemandangan didepannya. Tangannya meraih dan menggenggam erat tangan Thalia, perbuatannya sukses membuat pemilik kedua iris gelap itu menatap lekat padanya.

"Ada apa?" Tanya Thalia pelan.

Ace menggelengkan kepalanya. "Tidak ada, hanya kagum melihat wajah cantik istriku."

Sontak Thalia memukul pelan lengan Ace, wajahnya merona akibat perkataan manis keluar dari mulut suaminya.

'Tidak salah aku mengajak Thalia jalan-jalan.' batinnya senang.

Arche berjalan didepan, ia memandu Thalia dan Ace dibelakangnya. Ace kembali mengedarkan pandangannya, ia bersyukur karena Airuz belum menemukan Arche terlebih dulu. Setidaknya, ia bisa memperingatkan serta melindungi Arche dan keluarga kecilnya nanti.

Arche mengetuk pintu rumah setelah ia meletakkan tas punggungnya diatas bangku yang terletak teras rumahnya. Seorang wanita paruh baya dengan penampilan khas ibu-ibu perdesaan membuka pintu, wanita itu menyambut kedatangan Arche sempat terkejut akibat melihat sosok lain yang mirip tuan rumah.

"A—aden sampun mantuk, ayo masuk dulu. (Tu—tuan sudah pulang, ayo masuk dulu.)" Sambutnya mempersilahkan, Thalia tersenyum ramah.

Wanita paruh baya itu tercengang, refleks tangan menutup mulutnya yang terbuka leba, kedua matanya fokus menatap Ace dan Arche bergantian—wajahnya mendadak pucat, ia seperti melihat hantu."A—aden.." nada suaranya tercekat. "Kok ono loro."

Arche buru-buru menenangkan wanita paruh baya itu. "Mbok Yem, kalem mbok nggeh. Niki Ace kaleh garwo ne Thalia. Seduluran kulo tekan Jakarta. (Bik Yem, sabar mbok ya. Ini Ace sama istrinya Thalia. Saudaraku dari Jakarta.)" Arche menjelas kepada wanita itu.

Mbok Yem menganggukkan kepalanya pelan. "Persis tenan, koyok seduluran kembar nggeh, den? Wah, ganteng pisan sampean, Mas Ace. (Serius mirip, seperti saudara kembar ya, tuan? Wah, tampan juga kamu, Mas Ace)" Mbok Yem menyapa Ace ramah. "Sampean yo ayu tenan, mbak. (Kamu ya cantik juga, mbak.)" Sambungnya dengan senyum ramah pada Thalia.

"Mbok juga nampak cantik, awet enom pisan nggeh." Thalia menimpali, suara tawa menggema diantara mereka.

"Ayo melbu sek, dhahar sek wiz bedug pisan, sampean luwe pasti bar perjalanan. (Ayo masuk dulu, makan dulu soalnya sudah siang. Kamu lapar pasti sehabis perjalanan.)" mbok Yem mempersilahkan kedua tamu Arche duduk.

"Matur nuhun, bik. (Terima kasih, bik.)" Ucap Ace dan Thalia hampir bersamaan.

"Duduk dulu, anggap rumah sendiri. Aku akan memanggil dinda Prameswari." Ujar Arche sambil masuk kedalam.

Iris mata merah itu melirik Thalia singkat, senyum lebar masih terukir diwajah cantiknya.

"Mereka ramah sekali." Ujar Thalia.

Ace mengangguk setuju. "Kamu benar."

Prameswari muncul dari balik pintu, ia nampak sedikit berisi dan bahenol. Bayi mungil itu tampak tidur digendongannya. Senyum Prameswari mengembang saat ia tahu dokter yang telah menolongnya datang berkunjung.

"Dokter Thalia, lama tidak bertemu. Bagaimana kabar dokter?" Sapa Prameswari ramah setelah ia duduk di kursi sebelah Thalia.

Thalia mencondongkan tubuhnya, ia melihat sekilas bayi rupawan yang sedang terlelap itu. Aroma khas bayi membuat Thalia tenang, ia menyukai aroma itu.

"Kabarku baik, mbak. Kondisimu sendiri bagaimana?" Jawab Thalia.

"Kabarku sama baiknya, mbak."

"Namanya siapa jagoan kecil tante nih?" Tanya Thalia, ia menoel pelan pipi gembul sang bayi.

"Brawijaya d'Rhozellius." Jawabnya sambil menatap lembut anaknya.

Obrolan mengalir ringan, hingga mbok Yem datang untuk mempersilahkan makan siang terlebih dahulu. Suasana rumah nampak hangat, terutama sambutan sang tuan rumah sehingga membuat Ace nyaman seperti berada dirumah bersama keluarganya sendiri.

Thalia pergi bersama Prameswari ke kamar. Sedangkan, Ace dan Arche duduk di bangku teras. Layaknya saudara terpisah yang baru ketemu, Arche benar-benar menyambut kedatangan Ace hangat.

"Ada yang ingin aku bicarakan denganmu, Raden." Ujar Ace membuat Arche tersenyum.

"Cukup Arche saja. Lebih baik tidak ada yang tahu aku dari masa lalu." Jawabnya sambil menerawang jauh. "Apa ada hal penting yang perlu kamu sampaikan?"

Ace mengangguk pelan. "Aku ingin bertanya. Apakah putramu—Brawijaya memiliki tanda lahir dipunggungnya. Tanda itu berbentuk seperti bulan sabit tertutup awan?" Tanya Ace membuat Arche terkejut.

"Bagaimana kamu tahu?" Tanya Arche.

"Hanya menebak dari kesimpulan yang aku ambil." Ace memiringkan tubuhnya agar lebih leluasa berbicara. "Brawijaya salah satu keturunan terpilih yang lahir dari orang tua tunggal berbeda dimensi." Sambung Ace.

"Berbeda dimensi? Memang bisa seperti itu?" Ace mengangguk.

"Kondisimu sama seperti kondisi Thalia dimasa lalu. Aku pertama kali bertemu Thalia saat ia berada didalam raga orang lain. Aku juga menikahinya. Tapi, aku belum menyentuhnya karena kematian menjemputnya terlebih dahulu. Sehingga membuat jiwa Thalia kembali ke raga aslinya." Ace menjelaskan awal mula ia bertemu dengan Thalia sekaligus menjelasnya fenomena diluar nalar seperti jiwa pelintas dimensi.

"Jadi itu alasannya kamu mencarinya hingga sampai kesini?" Tanya Arche memastikan.

Ace mengangguk. "Benar."

Ekspresi Arche berubah sedih. "Lalu, bagaimana denganku? Aku memasuki raga ini setelah aku mati karena takdir."

"Kemungkinan akan sama seperti kehidupan normal lainnya. Jika hal itu terjadi, jiwa asli Arche kembali, maka jiwamu akan kembali tenang di surga." Ace menjelaskannya hati-hati.

"Tujuanku memang sudah tercapai. Aku ingin bertemu sekali lagi denganmu. Meskipun tidak ada ikatan darah yang mengalir diantara kita. Tapi, aku sudah jatuh terikat padamu, saudaraku." Arche mengeluarkan suara hatinya. "Dimasa lalu aku memang memiliki keluarga dan tidak terlalu menganggap mereka melebihi dirimu. Tapi, disini aku sendiri dan bertemu dengan Prameswari titisan istriku Tribuananeswari dan Gayatri. Apakah kamu mau menjadi saudaraku, Ace. Aku ingin mengangkatmu sebagai adikku."

Ace terenyuh mendengar penuturan Arche. Ia tidak merasakan hangatnya keluarga dimasa lalu, meskipun diakhir hayat sang ayah telah mengakuinya sebagai anak—tapi, itu cukup terlambat baginya.

"Dengan senang hati aku menyambutnya, kak." Ace tersenyum lebar. Keduanya kembali berpelukan erat, ada rasa lega serta bahagia setelah keinginan terpendam bisa terwujud dan disambut dengan tangan terbuka. Arche kembali bersyukur, ia kembali hidup di zaman modern hingga ia bisa bertemu Ace.

"Tapi, kak. Setelah urusanku selesai disini. Aku akan kembali ke dunia tempatku berasal." Celetuk Ace membuat Arche diam terpaku.

"Kapan kamu akan kembali kesini?" Tanya Arche tatapannya berubah datar.

Ace menghela nafas panjang, ia menggelengkan kepalanya pelan. "Mungkin aku tidak akan pernah kembali. Aku kesini hanya sementara untuk menjemput istriku."

Pikiran Arche kembali melayang, ia memikirkan kilasan masa lalunya yang menunggu kemunculan Ace kembali. Hatinya kembali merasa sedih.

"Bagaimana jika aku ikut denganmu, Ace?" Tanya Arche sontak membuat Ace tercengang dan melebarkan kedua matanya.

THE BEAUTIFUL EYESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang