32

418 52 17
                                    

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

Sena duduk di tepi tempat tidurnya, menatap kosong ke lantai. Ia masih mengenakan jubah mandi setelah menghabiskan satu jam menangis di bawah guyuran shower.

Setiap helaan napas yang dia ambil terasa berat, seperti ada ribuan beban yang menindih dadanya. Perasaan itu membanjiri pikirannya, namun ia tak mampu menamai apa yang sebenarnya ia rasakan.

Pemandangan tadi sore terpatri di benaknya. Ketika ia tanpa sengaja memergoki papahnya, orang yang selama ini ia kenal sebagai sosok keras dan pemarah, sedang bermesraan dengan seorang wanita.

Perasaannya begitu campur aduk-kebencian, kemarahan, dan ... ketakutan.

Dia takut, bukan hanya karena papahnya yang sering melukai keluarganya, tapi juga karena kemungkinan mamahnya akan tahu. Pikirannya berlari cepat, membayangkan apa yang akan terjadi jika rahasia ini terbongkar.

Sena tidak tahan membayangkannya. Dia tidak tahu harus bagaimana.

Tangannya yang gemetar memegang tepian kasur, mencoba menopang dirinya yang hampir terjatuh. Rasanya tubuhnya mulai melemah, tidak hanya karena kelelahan fisik, tapi juga karena beban mental yang terus menghimpit. Setiap kali mengingat wajah si bajingan yang berselingkuh, dia merasa mual.

Hans adalah sosok yang seharusnya menjadi pelindung, meskipun dalam kekerasannya yang sering kali menakutkan, dia tetaplah papahnya.

Sena terisak lagi, menggigit bibirnya agar tidak mengeluarkan suara. Dia tidak ingin orang lain mendengarnya, terutama Sean. Di dalam rumah ini, kesunyian adalah hal yang rapuh, seperti permukaan kaca yang mudah retak hanya dengan getaran kecil. Dan Sena tidak ingin menjadi penyebab getaran itu.

Di antara isaknya, Sena teringat masa-masa ketika dia masih kecil, ketika papahnya belum berubah menjadi seseorang yang pemarah dan kasar. Ada momen-momen kecil ketika papahnya dulu menggendongnya di punggung, tertawa bersama saat mereka berjalan di taman, atau ketika papahnya membacakan cerita sebelum tidur.

Saat itu, papah adalah sosok yang kuat dan melindungi. Namun, seiring waktu, kenangan itu semakin pudar, digantikan dengan gambaran papah yang marah dan tak pernah puas, papah yang memukul ketika dia merasa terancam atau frustrasi.

Dan sekarang, sosok itu lebih buruk daripada yang pernah dia bayangkan.

Jam di dinding menunjukkan pukul 7 malam. Dalam satu jam, ia seharusnya bertemu Leon untuk makan malam. Bukannya merasa bersemangat, Sena justru merasa lelah dan kehilangan semangat.

Ia mencoba menenangkan diri, menghela napas panjang sebelum bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju lemari pakaian besar yang ada di sudut kamar.

𝐏𝐑𝐎𝐋𝐎𝐆𝐔𝐄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang