•••
Di taman tepi kota yang sepi di sore hari yang mendung, suasana di antara Sena dan Asher terasa canggung. Langit menampakan warna kelabu yang membiru, memberikan kesan haru, namun tidak ada percakapan yang terjadi di antara mereka. Hanya angin yang sesekali berhembus, menggugurkan beberapa daun kering dan membuat suasana terasa semakin dingin.
Asher melirik Sena dari samping. Ia bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang berbeda pada gadis itu hari ini. Ekspresinya yang muram, tatapan matanya yang kosong, serta cara Sena menarik napas dalam-dalam seolah menahan sesuatu yang ingin keluar-semua ini memberi sinyal bahwa dia sedang tidak dalam suasana hati yang baik.
Meskipun begitu, Asher memilih diam, seperti permintaan Sena. Diam yang memberikan kenyamanan.
Sudah beberapa hari belakangan ini Asher sengaja menjaga jarak dari Sena. Bukan karena ia ingin menjauhi gadis itu tanpa alasan, tapi karena ia merasa bahwa kehadirannya hanya membawa kesialan.
Setiap kali mereka bersama, rasanya selalu saja ada masalah yang muncul, dimana menempatkan Sena dalam bahaya yang selalu mengintainya, dan ia mulai berpikir mungkin ada baiknya ia memberikan Sena ruang.
Menjauhinya untuk keselamatan gadis itu sendiri.
Namun, saat menerima pesan dari Sena tadi yang meminta bertemu, lewat Bi Ningsih Asher tak bisa mengaikannya. Meski ia telah bertekad untuk memberi jarak, sulit baginya untuk mengabaikan Sena, terutama ketika gadis itu mengancam akan menunggunya hingga malam jika ia tidak datang.
Ancaman yang tidak terdengar serius, namun cukup membuat Asher merasa khawatir setengah mati.
Ia datang ke taman itu dengan langkah pelan, setengah berharap bisa menemukan jawaban atas alasan Sena memanggilnya. Namun ketika ia tiba, tak ada ucapan, tak ada penjelasan-hanya keheningan yang menyelimuti mereka berdua.
Sena mengenakan dress formal, dengan blazer crop dan sepatu heels boots kulit setinggi lutut. Angin yang bertiup semakin kencang membuat Asher khawatir. Ia memperhatikan kaki Sena yang sedikit menggigil, meskipun sudah terlindungi sepatu kulit. Gadis itu bahkan menaruh tas yang ia bawa dipangkuanya untuk meminimalisir rasa dingin.
Tanpa berpikir panjang, Asher melepas jaketnya, lalu meletakkannya di pangkuan Sena yang terbuka. Pemuda itu melihat Sena menoleh padanya, sedikit terkejut, namun ia tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Asher hanya diam dan melanjutkan keheningan. Ia berharap bahwa setidaknya, dengan cara ini, ia bisa membuat Sena merasa sedikit lebih nyaman, meski ia tahu itu tidak cukup untuk menghapus kegelisahan yang tergambar jelas di wajah gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐏𝐑𝐎𝐋𝐎𝐆𝐔𝐄
FantasyThe End of The Pain. Dari sekian banyaknya waktu dan masa yang telah Sena lalui. Setelah berulang kali terjebak digaris waktu yang sama. Ia ingat semua dan Sena melakukan usaha terakhirnya. Mungkin memang takdirnya bukan untuk Asher. Sena memilih...