•••
"Aku ... masih cantik, kan?" Tanya Sena pelan, seolah pertanyaan itu adalah beban yang sudah lama ia pendam. "Aku gak terlihat menakutkan, bukan?"
Suara Sena terdengar rapuh, hampir seperti angin yang berbisik di antara keramaian. Ada ketakutan yang mendalam di balik pertanyaan itu, bukan karena dia merasa takut tidak lagi cantik, tapi karena ia khawatir bahwa luka-luka yang ia bawa akan membuatnya terlihat menakutkan bagi orang lain.
Asher, yang sejak tadi duduk diam di sampingnya, memperhatikan dengan penuh perhatian. Asher menatapnya dengan tatapan yang penuh kelembutan, mengerti lebih dari yang bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Dia menarik napas, lalu dengan suara yang dalam namun penuh ketulusan, Asher mulai berbicara.
"Sena," katanya pelan, "Gue ngerti perasaan lo. Tapi gue rasa lo perlu tahu satu hal ... ketika gue lihat luka-luka itu. Gue nggak lihat itu sebagai sesuatu yang mengurangi kecantikan lo."
"Justru, gue lihat keberanian lo. Keberanian untuk terus berdiri meskipun segala rintangan itu berusaha menjatuhkan lo. Keberanian lo itu lebih indah dari apapun yang bisa dilihat di permukaan."
Asher tersenyum kecil, sebuah senyum yang penuh pengertian, senyum yang seolah mengatakan bahwa ia melihat lebih dari apa yang ada di luar.
Pemuda itu ikut menjadikan kedua lututnya sebagai tumpuan pipi kirinya, menghadap Sena dengan sebaris senyuman yang tulus.
Ia lalu melanjutkan dengan lembut, "Kecantikan bukan soal menghindari luka, Sena. Kecantikan itu soal bagaimana kita bisa berdamai dengan luka-luka itu, bagaimana kita bisa tumbuh lebih kuat karenanya. Setiap bekas luka itu adalah bukti bahwa lo pernah berjuang. Dan menurut gue, itu lebih cantik daripada apapun yang bisa dilihat dengan mata."
Sena terdiam, kata-kata Asher meresap dalam-dalam ke dalam hatinya. Untuk pertama kalinya, ia merasa sedikit lebih ringan. Senyum kecil muncul di wajahnya, meski masih ada kesedihan yang tersisa. Ia melihat Asher, yang kini menatapnya dengan penuh pengertian, dan merasakan kehangatan yang mengalir dari dalam dirinya.
"Lo cantik, Sena," kata Asher lagi, dengan keyakinan yang penuh. "Lebih cantik dari apa yang lo bayangkan. Lo bukan hanya cantik di luar, tapi juga di dalam. Dan itu yang paling penting."
Asher menarik napas dalam, mengisi paru-parunya dengan oksigen, lalu kembali berucap. "Kenapa harus malu memiliki luka? Bukankah seharusnya kita bangga?"
"Itu yang lo bilang waktu itu." Tambahnya.
Sena menatapnya, kilatan kenangan membangkitkan ingatan dari malam itu di apartemen. Malam ketika Asher, dengan suara penuh luka, bertanya apakah ia tampak seperti monster karena punggungnya yang penuh bekas luka. Kala itu, Sena hanya berkata bahwa luka-luka itu bukan aib, melainkan simbol keberanian.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐏𝐑𝐎𝐋𝐎𝐆𝐔𝐄
FantasyThe End of The Pain. Dari sekian banyaknya waktu dan masa yang telah Sena lalui. Setelah berulang kali terjebak digaris waktu yang sama. Ia ingat semua dan Sena melakukan usaha terakhirnya. Mungkin memang takdirnya bukan untuk Asher. Sena memilih...