•••
Sesuai janjinya, Asher tidak pergi. Pemuda itu tidak pernah benar-benar pergi. Ia hanya menghilang dari pandangan Sena, melangkah menjauh, memberi gadis itu ruang untuk bernapas. Tapi di balik semua itu, ia tetap ada, bersembunyi di sisi berlawanan taman, dalam bayangan yang mampu menyamarkan keberadaannya.
Dari tempatnya berdiri, Asher menatap Sena dalam keheningan yang menyayat. Gadis itu duduk di bangku taman, tak bergerak, seolah-olah waktu dan dunia telah meninggalkannya. Wajahnya terlihat tenang-terlalu tenang. Tapi mata itu, mata yang tidak pernah berbohong, bergetar seperti lautan yang dihantam badai, tak mampu menyembunyikan luka yang terpendam.
Melihatnya seperti itu, Asher merasa hancur. Ia lebih rela melihat Sena menangis, melepaskan segalanya dalam isak yang memekakkan, daripada menahan semuanya sendiri. Ada sesuatu yang begitu kejam dalam diamnya, dalam tangis yang tidak pernah tumpah. Luka yang ditahan hanya membuatnya lebih dalam, lebih menyakitkan.
Langit bahkan mulai menangis dengan kelembutan yang dingin. Tapi Sena masih menahan tangisnya. Tetap di sana, tak bergerak, membiarkan hujan membasahi tubuhnya yang rapuh.
Asher menggenggam erat jemarinya sendiri, mencoba menahan dorongan untuk mendekat, untuk menarik gadis itu dari bangku itu, membawanya ke tempat teduh dan hangat. Tapi ia tahu, ini bukan saatnya. Sena seolah sedang berdamai dengan hujan, mencari kehangatan dari dingin yang ironisnya, mungkin lebih ia percayai daripada manusia.
"Nangis, Sena ..." Asher berbisik pada dirinya sendiri, suaranya nyaris tenggelam dalam gemuruh hujan. "Nangis aja ... jangan ditahan."
Tapi gadis itu tetap diam. Waktu berjalan perlahan, detik berganti dan menit berlalu. Sena tidak menangis. Tidak ada air mata, hanya helaan napas berat yang terdengar penuh kelelahan dan kesakitan.
Asher tidak beranjak, hanya memandangnya dari kejauhan. Keduanya sama-sama basah kuyup, terjebak dalam hujan yang sama, tapi terpisah oleh jarak yang tak terlihat.
Setelah lama berdiam diri menikmati hujan sendiri, akhirnya Sena berdiri. Langkahnya gontai, seolah beban di pundaknya terlalu berat untuk dibawa. Ia menyeret kakinya, berjalan tanpa tujuan, hanya ingin bergerak, hanya ingin menghindari rasa sakit yang menjeratnya.
Asher mengikuti dari belakang, menjaga jaraknya, namun tak pernah membiarkan Sena keluar dari pandangannya. Setiap langkah gadis itu seperti jeritan tanpa suara, matanya terpaku pada punggung rapuh itu-punggung yang seolah berteriak minta direngkuh. Tapi Asher tahu, ia tak bisa mendekat begitu saja.
Langkah Sena terhenti di ujung taman. Di sana, ia memandang deretan toko dan restoran yang bersinar hangat dalam kegelapan hujan. Di balik kaca-kaca itu, kehangatan dan kebahagiaan terpancar dari wajah-wajah yang tak ia kenal, namun membuat dadanya terasa sesak.
Harmoni dan kasih sayang yang terpancar dari sana terasa seperti tamparan bagi Sena, membuatnya diam tak bergerak. Mengejeknya dengan realita yang begitu jauh dengan pemandangan didepan sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐏𝐑𝐎𝐋𝐎𝐆𝐔𝐄
FantasyThe End of The Pain. Dari sekian banyaknya waktu dan masa yang telah Sena lalui. Setelah berulang kali terjebak digaris waktu yang sama. Ia ingat semua dan Sena melakukan usaha terakhirnya. Mungkin memang takdirnya bukan untuk Asher. Sena memilih...