•••
Sena duduk menghadap jendela restoran. Rambut panjangnya yang tergerai membingkai wajahnya yang tampak lelah. Di depan Sena, sebuah meja bundar didekorasi dengan lilin kecil yang menyala pelan, memancarkan sinar temaram yang romantis.
Sepiring makanan lezat yang sudah dipesan sebelumnya tersaji di meja, namun belum disentuh sama sekali. Waktu sudah berjalan jauh melebihi batas kesepakatan. Sudah lebih dari setengah jam sejak waktu yang disepakati untuk makan malam bersama Leon, namun pemuda itu tak kunjung muncul.
Suasana restoran terasa kontras dengan perasaan Sena. Pasangan-pasangan di sekelilingnya tampak bahagia, berbagi senyum, tawa, dan cerita.
Suara denting gelas beradu dengan pelan di udara, sementara para pelayan berjalan dengan tenang di antara meja-meja, melayani setiap tamu dengan profesional. Sena, di sisi lain, hanya duduk terdiam, matanya terus mengawasi pintu masuk restoran, berharap sosok yang ia nanti akan segera datang.
Di luar, langit malam perlahan berubah kelabu, awan-awan tebal menggantung berat di angkasa, dan tak lama kemudian, hujan mulai turun.
Tetes-tetes air berjatuhan di jendela kaca restoran, menciptakan pola abstrak yang samar-samar tampak seperti perasaan Sena sendiri-bingung, tak menentu, dan penuh harapan yang memudar.
Ia meraih ponselnya dari atas meja dan membuka layar untuk yang kesekian kalinya, berharap ada pesan atau panggilan dari Leon.
"Fyuhhh ..." Gadis itu hanya bisa menghela nafas, kehabisan tenaganya.
Dia menunduk, menggigit bibir bawahnya, menahan perasaan kecewa yang semakin dalam. Sena sangat tahu seberapa sensitifnya ia sekarang. Selepas sore tadi, emosinya lebih mudah terguncang.
Di tengah keheningannya yang penuh rasa cemas, tiba-tiba ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk, dan nama Leon muncul di layar. Harapan Sena sejenak terangkat, tetapi dengan cepat memudar ketika ia membaca isi pesan itu.
'Maaf, aku ga bisa dateng malam ini. Ada urusan penting. Kamu pulang aja, sekali lagi maaf.'
Sena menatap pesan itu dengan perasaan hampa. Matanya berkaca-kaca, tapi ia tidak menangis. Ia sedih bukan karena pesan Leon, pesan dari Leon hanya memicu kekecewaan yang sepanjang hari ini sudah menumpuk dan menggunung.
Ponselnya diletakkan kembali di atas meja, dan ia meremas tangannya di pangkuan, mencoba menahan perasaan kecewa yang terus bertambah.
Di sekelilingnya, suara riuh restoran terasa semakin jauh. Sena menatap pasangan-pasangan yang asyik bercengkerama, beberapa di antaranya saling berpegangan tangan, tertawa, dan berbagi cerita tanpa sedikit pun memedulikan hujan di luar.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐏𝐑𝐎𝐋𝐎𝐆𝐔𝐄
FantasyThe End of The Pain. Dari sekian banyaknya waktu dan masa yang telah Sena lalui. Setelah berulang kali terjebak digaris waktu yang sama. Ia ingat semua dan Sena melakukan usaha terakhirnya. Mungkin memang takdirnya bukan untuk Asher. Sena memilih...