•••
Dress itu cantik, tampak memukau, menonjolkan keindahan tubuhnya dengan anggun. Menekankan lekuk tubuh Sena dengan lembut, warna pastel yang selaras dengan kulitnya. Namun, bagian punggungnya yang terbuka membuat Sena merasa terjebak.
Terbuka, tak terlindungi, dan... terluka. Ia tak sanggup menatap punggungnya sendiri bayangan bekas luka yang begitu nyata di kulitnya seakan mencemooh dirinya, membuat setiap pujian yang akan ia dengar hari ini hanya menjadi ironi yang menyakitkan.
"Makasih, Mah," Ujarnya dengan suara yang hampir tertahan. "Tapi ... aku rasa ini kurang cocok."
Ia melepaskan dress itu dengan hati-hati, menyerahkannya kembali kepada Sella. Ibunya mengerutkan kening, terlihat sedikit terkejut namun berusaha mempertahankan senyum.
"Kamu serius? Kenapa?" Mata Sella berkilat lembut. "Padahal kelihatan cantik sekali kalau pakai ini."
Sena mengalihkan pandangan, tak ingin melihat ekspresi kecewa yang mulai terpancar di wajah itu.
Dalam hati, Sena merasa bersalah. Namun, ia tak sanggup membuka diri. Bagaimana mungkin ia bisa menjelaskan, menceritakan pada ibunya bahwa punggungnya penuh dengan bekas luka lama yang tak pernah sembuh sepenuhnya?
Sambil menunduk, ia meremas jemarinya sendiri, mencari alasan yang tidak akan melukai hati ibunya, meskipun hatinya sendiri terasa teriris.
"Mungkin ... mungkin aku lebih nyaman pakai yang lain," Katanya pelan, hampir tak terdengar. "Yang ... yang lebih tertutup di belakang."
Di pojok ruangan, Sean, mengepal tanganya menahan amarah. Ia marah pada dirinya sendiri. Pemuda itu berdiri terdiam, hatinya kesakitan saat melihat setiap gerak-gerik kakaknya.
Ia menyalahkan dirinya karena hal ini. Ia hanya lelaki bodoh yang tak bisa melindungi kakaknya. Ia merasa gagal. Sean tahu betul seberapa sakit luka yang disembunyikan Sena selama ini.
Matanya memerah, ia tahu alasan sebenarnya Sena selalu memilih pakaian yang menutupi punggung. Dengan berat hati, Sean memilih untuk tak ikut campur. Dia memalingkan wajah, berpura-pura mengalihkan perhatiannya pada hal lain, berharap bisa menghindari perasaan sesak yang perlahan menghimpit dadanya.
Sella, di sisi lain, terlihat semakin bingung.
"Kenapa? Dress ini indah sekali dan-" Berhenti sejenak, lalu tatapannya melunak. "Apa kamu gak suka modelnya?"Gadis jelita itu diam sejenak, menjaga mimik wajahnya lalu berbisik. "Bukan begitu ... hanya saja ... aku merasa kurang percaya diri." Jawab Sena akhirnya, dengan suara yang nyaris berbisik. Kata-kata itu terucap penuh kehati-hatian, menjaga agar perasaannya tak sepenuhnya terlihat. Ia tak ingin menunjukkan betapa rapuh dirinya.
"Kenapa? Kenapa gak percaya diri? Kamu itu cantik, Sena ... Cantik sekali."
Sena tersenyum lemah, tapi di balik senyum itu, matanya menyiratkan kesedihan yang sulit ia sembunyikan. Ingin sekali ia berterus terang, ingin sekali mengungkapkan segala rasa sakit yang telah ia simpan sejak lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐏𝐑𝐎𝐋𝐎𝐆𝐔𝐄
FantasyThe End of The Pain. Dari sekian banyaknya waktu dan masa yang telah Sena lalui. Setelah berulang kali terjebak digaris waktu yang sama. Ia ingat semua dan Sena melakukan usaha terakhirnya. Mungkin memang takdirnya bukan untuk Asher. Sena memilih...