Ch.49 Banyak Penyesalan

1.4K 101 33
                                    

UPDATE UPDATE!

BEBEPPP!!! Welcome back yaaa bepp, gimana hari ini? Kalo hari Mimin sih kacauhhhh gilaaaah, kerjaan cuapek banget sumfehhh, kayak gak ada habisnya huhuhhu.

Jadi curhat.

GPP deh, kan selalu ada pendengar, Alias kalian semua wkwkkw.

Anyways, selamat membaca ya bepp, semangat kita semua, menuju last conflict ini, sayang sayang tiga karakter akuuu, Adil, Jepri, Arman.

Selamat membaca yaaa bepp, jangan lupa di vote dan komen, biar akuuuh semakin semangat menulis untuk kalian bebep bebep guehhhh.

See you di hari Minggu cintaku.
Peace, love and gaul hahah.
🫵🏻❤️❤️❤️❤️

CHAPTER 49

ADIL POV

“Boleh gue keluar didalem Dil?.” Bisik Jepri, aku meremas rambutnya, rambut ikalnya yang halus, lehernya begitu basah dan berkeringat, bibirnya tidak pernah berhenti mengecupi pipi, telinga dan leherku, aku mengarahkan wajahnya, membuatnya menatapku, matanya sayu, badannya tidak pernah berhenti bergerak, maju mundur di atas tubuhku, aku mengecup bibirnya, menganggukkan kepalaku, memberikannya izin untuk menuntaskan hasratnya di dalam tubuhku.

Ia tersenyum senang, gerakannya bertambah cepat, aku dan Jepri sedang bercinta, di kamarnya tentunya, sedangkan Kak Arman masih beristirahat di kamar tamu, tubuh kami saling menempel, berkeringat dan basah, dada bidang Jepri yang atletis mengkilap, ia berhenti bergerak, membalikan tubuhku ke samping, ia bergeser ke belakangku, memasukan lagi penis besarnya perlahan dan mulai menggenjot lagi, bak dua sendok yang saling menempel, kakiku ia angkat sebelah, memberikan ruang untuknya menggenjot dengan lebih leluasa, sudah lebih dari lima belas menit kami bercinta, itu belum termasuk foreplay, aku sudah mengerti, bahwa durasi bercinta sepuluh menit saja sudah termasuk tahan lama dan kuat, dan Jepri, hampir dua puluh menit, tanpa henti, bergenti hanya ketika berganti posisi saja.

Tangannya meremas dadaku lembut, bibirnya mencumbu leherku dari belakang, rasanya aku begitu dimanjakan, lembut, tidak kasar, tidak grasak grusuk tapi selalu on point dalam setiap gerakannya, yang mana, membuat setiap apapun yang dilakukannya, tidak sia-sia, tidak menyebabkan aku sakit, malah menghasilkan kenikmatan pada setiap gerakannya.

“Grhhhh, nghhhh! Ghnggggg!, gue keluar Dil!.” Geramnya, ia menggigit telingaku lembut, menekan pinggangnya dalam sekali, hingga pangkal selangkangannya bertabrakan dengan daging pantatku, mataku berkunang kunang, memutar memutih, nikmat sekali rasanya, tubuhnya menempel tak terpisahkan jarak sedikitpun, aku merasakan, benda perkasa Jepri menebal, uratnya seperti bergerak, semprotan demi semprotan terasa masuk didalam lubangku, hangat dan banyak, semakin licin rasanya lubangku, basah dan lengket.

Ada lebih dari delapan semprotan yang tersembur sambil dia diam, setelahnya, semburan semburan kecil ia keluarkan sambil menggenjot pelan dan pendek, begitu terus hingga ia selesai ejakulasi, tubuhnya diam, tangannya mengusap perut dan dadaku lembut, terdengar kekehan renyah darinya saat ia mencabut benda miliknya dari lubangku.

“Makasih Dil!.” Ucapnya, ia turun dari kasur, mengambilkan minum untukku, serta handuk basah yang ia siapkan, sembari aku minum, ia membersihkan bekas permainannya pada tubuhku, membasuh dada, perut dan selangkanganku, terakhir, dengan handuk basah, ia melap bagian belakangku, menyuruhku untuk mengangkat pinggangku, menyimpan handuk itu dibawahku, lalu menyuruhku untuk mengeluarkan cairan kenikmatannya hingga habis.

Aku duduk diatas kasur, menatapnya bolak balik kamar mandi dengan tubuh telanjang, penisnya telah ia cuci bersih, menggantung dan bergerak sesuai dengan gerakan jalannya.

“Sibuk banget.” Ujarku, ia berhenti berjalan, menatapku kemudian tertawa.

“Biar langsung bersih Dil, biar enak tidurannya.” Aku mengangguk, setelah semua selesai, matahari sudah muncul, cahayanya masuk kedalam kamar lewat jendela yang gordennya terbuka, Jepri naik kembali ke atas kasur, menarikku kedalam pelukannya.

“Dil, selama pacaran sama gue, lu seneng nggak? Happy nggak??.” Tanya Jepri tiba-tiba, aku menoleh ke arahnya, kumis dan janggut kasar yang mulai tumbuh, Jepri memang sudah jarang berpenampilan klimis seperti dulu, saat mengejar impiannya menjadi polisi, ia pasti mencukur habis kumis dan jambangnya, membuatnya tampak licin, bersih dan selalu siap, mungkin karena impiannya itu sudah terlewat, ia sudah tidak perduli dengan rambut rambut halus yang tumbuh pada wajahnya.

Aku mengusap pipinya lembut, ia tersenyum lebar, barusan gigi kecil bersihnya, tampan sekali memang dia ini.

“Kenapa nanya gitu?.”

“Nggak ada alasan apa-apa, cuman pengen tahu aja, kalo ternyata lu malah menderita gimana?.” Aku terkekeh mendengar pertanyaan konyolnya.

“Jujur, itu pertanyaan paling konyol yang pernah gue denger Jep, dan jawabannya pun lu udah pasti tahu, Jep, gue bahagia banget, gak pernah sebahagia ini, lu orang baik, memperlakukan gue dengan baik, selalu ada setiap saat, dewasa juga, kadang gue mikir, apa gue bener bener pantes buat dapetin lu? Apa semua ini cuman mimpi tidur siang gue?.” Ia hanya tertawa kecil mendengar ucapanku.

“Kenapa ketawa? Bener kok! Lu itu dari kalangan orang berada, cakep, setengah bule, kontol lu gede, cewek mana yang nggak mau sama lu? Tapi ternyata, yang beruntung dapetin lu malah cowok!.” Ucapku sambil terkekeh, ia mencubit pipiku gemas, mengecup pelan setelahnya.

“Gue serius Dil, jangan pernah bilang lu gak pantes buat gue, semua yang gue punya, apa yang ada di diri gue, nggak terlalu penting kalo dibandingin sama sebuah perasaan, mau secakep, sekaya apapun orang lain, kalo lu cintanya sama pedagang gorengan, hati lu tetep gak bisa dipaksa Dil, dan itu yang kejadian di gue, Im really lucky to have you as my boyfriend Dil, gue cinta sama lu, dan tugas gue? Bikin orang yang gue cinta bahagia, makanya gue nanya, apa lu bahagia selama lu sama gue? Gue gak mau tugas gue selama ini ternyata gagal.” Jawabnya, matanya berbinar menatapku, ada sebuah keseriusan disana, aku menganggukkan kepalaku.

“Gue bahagia Jep, makasih banyak.” Aku mengalungkan tanganku pada lehernya, kami saling memeluk diatas kasur, tapi ia kemudian mendorong tubuhku, menjauhkanku dari tubuhnya, wajahnya merajuk.

“Kenapa lu?.” Tanyaku, karena aksinya itu begitu tiba-tiba.

“Dil, lu bisa wujudin permintaan gue nggak? Satu aja.” Alisku bertaut bingung.

“Apaan dah?.”

“Jangan panggil lu gue lagi kalo kita lagi berdua, gue tahu hubungan kita ini masih tabu, apalagi di Negara ini, jadi kalo urusan publik, kita masih bisa bersikap kayak temen biasa, tapi please, kalo lagi berdua....”

“Mau dipanggil sayang?.” Ucapku memotong ucapannya, ia mengulum senyumnya.

“Kedengeran corny emang Dil, gak apa-apa deh, sebisa lu aja, gak usah sampe ‘harus’ banget, sesuka lu aja deh, tapi panggilan sayang gitu, kok gue dengernya geli ya, padahal tadi gue pengen banget dipanggil sayang sama lu.” Aku tertawa mendengar jawaban Jepri, berubah begitu cepat setelah aku memanggil kata sayang kepadanya.
Ia memeluk tubuhku kembali, lebih erat, ia menciumi leherku lembut, tangannya mengusap perut dan dadaku.
“Yang penting, lu tetep jadi milik gue Dil, gue sayang banget sama lu.” Ujarnya di sela kecupan kecupan kecilnya.
“Gue juga sayang sama lu Jep.”
--
THIRD POV

Kelopak mata terbuka, iris coklat terang terlihat, bola mata kemerahan yang perih, menoleh ke arah seluruh ruangan, terang cahaya lampu menyorot, membuat matanya menyipit silau, jendela kamar yang masih tertutup gorden, setetes air mengalir dari matanya, bukan karena kesedihan, atau duka yang dalam, tapi karena rasa perih dan panas yang terasa di Indra penglihatannya.

Arman, pria itu hendak memegang kepalanya yang berdenyut pusing namun terhenti seketika ketika ia sadar bahwa ternyata, tangannya lah yang lebih terasa nyeri, mata merahnya menatap ke arah tangan, jarum dan selang masih terpasang, seketika ingatannya yang mengabur mulai tertata perlahan, mengingat kembali bahwa semalam, ia bertemu dengan Adil, lalu setelahnya, ia kembali tidak ingat, kabur dan samar-samar terasa, selang tipis dan kecil yang memanjang mengarah pada benda berbentuk tabung pipih  tergantung disamping meja, infusan, itu tabung infusan.

Cairan yang tersisa kurang dari seperempat tabung itu masih menetes secara perlahan, masuk dan mengalir lewat selang kecil yang tersambung pada tangannya. Tenggorokkan Arman terasa panas dan perih, dimana dia? Tempat ini begitu asing baginya, ruangan luas dengan kasur besar, cat yang berwarna monoton dan polos, tidak seperti kamarnya yang maximalist dengan segala poster menempel pada tiap sudut dinding.

Perlahan ia bangun dari tidur terlentangnya, kepalanya berdenyut hebat, perutnya terasa sakit, nyeri, terlebih pada ulu hatinya, menyandarkan tubuhnya pada ujung kasur, terduduk diam, hembusan air conditioner yang dingin menerpa tubuh Arman, membuatnya menarik selimut yang hanya menutupi kakinya, kepala Arman menonleh ketika pintu ruangan terbuka.

“Syukurlah Kak, udah sadar ternyata!.” Adil, dengan suaranya yang tinggi dan riang, senyumnya merekah lebar, Arman sadar, sudah lama ia tidak memperhatikan senyum Adil, senyum yang dulu selalu ia harapkan selalu terpasang di wajah kecil Adil yang polos, melihat itu, secara tidak sadar membuat bibir Arman ikut menyungging, Adil mendekat ke arahnya, naik ke atas kasur yang lembut dan empuk, membuatnya meringis karena tangan yang ia istirahatkan disana ikut bergerak, membuat Arman meringis ngilu.

Arman hendak menyapa Adil namun dari ujung matanya, terlihat seorang pria, seorang pria yang sudah lama ia kenal, musuhnya bisa dibilang, musuhnya yang dulu bersaing untuk mendapatkan Adil, sayang beribu sayang, kelabilan serta ego tingginya, membuat Adil dengan mudah hilang begitu saja dari genggamannya, Jepri, pria yang tidak ada hubungan apa-apa dengan Adil, setidaknya itu yang ia tanamkan dalam dirinya ketika ia melihat mereka berdua atau ketika Jepri sedang bermain di rumahnya, padahal dalam hatinya, Arman tahu, Adil dan Jepri adalah pasangan yang saling mencintai.

“Udah sadar nyet?.” Nada bercanda terdengar keluar dari mulut Jepri, hanya dengus dan kekehan pelan yang bisa Arman lakukan, Jepri berdiri disamping kasur, tangan Jepri meremas bahu Adil, Arman mengangguk.

“T-enggorokk-an hhueh.” Ucap Arman tidak jelas, tenggorokanya sakit dan perih, Adil mengangguk, mengambil gelas berisi air dimeja samping kasur, memberikannya kepada Arman, rasa sakit dan perih semakin Arman rasakan ketika air bersuhu ruang itu mengalir membasahi tenggorokannya, ia meringis dan menyimpan kembali gelas diatas meja.

“Kayaknya yang bikin kakak muntah darah itu dari tenggorokan kakak deh.” Apa? Muntah darah? Begitu fikir Arman, separah itu kah? Ia sadar kemarin malam ia memang sengaja ikut untuk memenuhi undangan kakak tingkatnya untuk party di rumahnya, ia sadar bahwa ia memang hendak minum alkohol, tapi hingga muntah darah? Separah itu kah?

“B-bunda?.” Tanya Arman, itu dia, orang yang paling ia khawatirkan, ia kemarin sudah melakukan hal yang paling bodoh selama hidupnya, minum alkohol? Bukan, berbohong pada ibunya sendiri, tidak pernah ia lakukan sebelumnya, entah apa yang terjadi pada diri Arman, apakah ia merasa kurang keren? Apakah ia masih ingin merasakan masa jaya di SMA ketika ia menjadi orang paling keren disana, dan datang ke masa kuliah yang begitu berbeda? Dengan definisi keren yang juga berbeda? Melakukan apapun agar ia tetap merasa keren dan diterima di circle coolguynya? Meskipun itu harus dengan berbohong kepada orang tuanya?

Ayah dan bundanya bukanlah strict parents yang selalu melarang anaknya untuk melakukan sesuatu, Arman sadar akan hal itu, tapi entah kenapa, akhir akhir ini ia selalu merasa takut jika ia akan mengecewakan orang tuanya, berbohong lah yang menjadi jalannya, idiot!.

“Mas Jepri! Ada tamu nyariin!.” Mereka bertiga menoleh, security beridri didepan pintu kamar yang terbuka, tamu? Siapa?

“Nadhifa kayaknya itu.” Ujar Jepri, mata Adil langsung menatap tajam ke arah Jepri, kapan Jepri memberitahu Nadhifa bahwa Arman ada disini? Apakah Jepri memulai chatting kembali dengannya? Kenapa? Berbagai pertanyaan mencuat dikepala Adil, Jepri menatap kagok ke arah Adil, menggaruk kepalanya sendiri yang tidak gatal, sial, itu yang dia rasakan, harusnya sebelum ia menyuruh Nadhifa untuk datang ke rumahnya, akan lebih baik jika ia memberitahu Adil terlebih dulu.

Sedangkan Arman, tatapannya menjadi kosong, tahu apa yang dia fikirkan? Ia berfikir tentanga Nadhifa, tentang perempuan yang telah membuatnya dulu labil tentang perasaanya, yang berhasil membuat hatinya terbagi menjadi dua, antara Adil dan Nadhifa, perempuan cantik dengan hijab lebarnya, yang berhasil membuatnya memilih untuk melepaskan Adil yang telah berada didalam genggamannya, Arman merasa malu untuk bertemu dengan Nadhifa, pasalnya, satu minggu ini, ia secara sadar, telah berbuat hal yang memalukan, dengan sadar, melakukan flirting dengan seorang wanita dari fakultas yang sama dengannya.

Terang terangan saling menggoda, bercanda, bahkan beberapa kali Arman menawari wanita itu untuk diantarkan pulang bersamanya, meskipun memang selalu penolakan yang ia dapatkan, ia tidak merasa gagal menjadi seorang pria, malu dan merasa bersalah yang ia rasakan begitu kuat, padahal dia belum melakukan apapun dengan wanita itu, seingatnya, semalam menjadi hal terakhir yang dia ingat, ia sudah berniat untuk menyudahi pendekatan pendekatan yang ia lakukan dengan wanita itu malam tadi, tapi ia malah mabuk berat dan tepar yang mana malah menyusahkan Adil dan Jepri, Arman menundukan pandangannya.

“Suruh masuk aja Pak, anterin kesini!.” Titah Arman, security mengangguk kemudian turun kembali ke lantai bawah.

“Kak! Masih lemes kah?.” Tanya Adil, Arman menoleh, melihat mata coklat Adil yang berbinar, hatinya merasa sedikit tenang, ia mengangguk pelan.

“Jep! Kayaknya nanti kalo cairan infus nya habis, harus kita ganti deh.” Jepri mengangguk setuju.

“Gak usah ke rumah sakit Dil, kita panggil dokter aja.” Beginilah untungnya jika hidup penuh dengan privilage, apapun bisa diraih dengan satu panggilan ponsel saja.

“Ar!.” Suara Nadhifa terdengar, kembali mereka bertiga menoleh ke arah suara, gamis modern dengan motif yang cantik berwarna rose gold, indah, anggun dan cocok sekali menempel pada Nadhifa, Adil sadar, Jepri memandang Nadhifa sedikit terlalu lama, ia mencubit tangan Jepri, membuat Jepri mengaduh dan sadar, ia tersenyum kikuk ke arah Adil. Nadhifa mendekat ke arah Arman, Adil menggeser badannya turun, membiarkan Nadhifa duduk disamping kasur.

“Kok di infus gini? Arman kenapa Dil?.” Tanya Nadhifa, nada suaranya terdengar khawatir.

“Ar? Kamu kenapa?.” Lanjut Nadhifa bertanya, tidak menunggu jawaban dari Adil, Arman hanya bisa tersenyum dan menggelengkan kepalanya, Nadhifa diam, tangannya memijat tangan Arman yang dingin.

“Kalian pulang jam berapa?, katanya kamu gak ada di kost Rendi semalem? Kamu kemana Ar?.” Pertanyaan pertanyaan dilemparkan oleh Nadhifa, kesana kemari, ke Adil, ke Jepri, Ke Arman, tapi tidak pernah ia membiarkan mereka menjawab pertanyaannya, selalu saja dipotong kembali dengan pertanyaan lain.

“Nadh, sorry banget kalo Kak Arman udah bikin Lo khawatir, tapi nanti gue jelasin ya, Kak Arman masih butuh istirahat, Jepri lagi manggil dokter buat kesini, mending ikut gue Yuk!, kita kebawah, ini masih pagi, lu pasti belum sarapan kan? Yuk!.” Adil mencarikan suasana, mengajak wanita yang terlihat khawatir itu turun, untungnya Nadhifa mau, Adil berjalan beriringan dengan Nadhifa, mata Adil menoleh kebelakang, melihat ke arah Arman yang menatapnya dengan tatapan pasrah, meninggalkan Arman berdua di temani Jepri, tatapan itu, Adil tahu tatapan itu, tatapan pasrah dan menyesal, entah apa yang telah dilakukan Arman, Adil tidak tahu, tapi yang pasti Adil tahu Arman menyesal, dan itu yang paling penting, Arman menyesal, sisanya, biar Arman sendiri yang nanti menjelaskan kepada Nadhifa.



ArmanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang