─── ・ 。゚☆ : .☽☽☽. : ☆゚• ───
APABILA bundaran oranye tersebut dapat berbicara, barangkali serangkaian kalimat makian sudah terlontar kepada manusia kelinci yang masih bebal melantunkan bola basket nan kusam itu menuju ring walau telah terpeleset berulang kali. Alvin tetap bersikukuh melanjutkan permainan seorang diri di markas kumuh ini. Tempat terakhir ia benar-benar bertemu Jessica. Tempat yang menjadi saksi bisu akan seberapa besar perasaannya untuk gadis nakal tersebut. Oleh sebab itu ujung-ujungnya Alvin melarang keras yang lain datang ke tempat ini. Alasannya karena takut kenangannya dengan Jessica pudar begitu saja. Jelas, awal-awalnya muncul pertentangan akan tetapi jikalau Alvin sudah berkehendak. Siapa yang berani menantang memangnya? Cari mati namanya.
Yah, setidaknya sampai Jessica kembali.
Iya, begitu.
Namun, kapan gadisnya akan kembali?
Apa setelah mereka lulus SMA?
Ah, sial! Perasaannya semakin memburuk bahkan hanya dengan memikirkannya saja. Alvin tentu saja tidak tahu apa-apa. Dia ini merupakan orang luar. Bukan keluarga. Bukan sahabat. Bukan siapa-siapa. Kedekatan mereka yang ada murni terjalin lantaran Alvin selalu nekat mengganggu Jessica si pemilik sumbu emosi pendek itu. Bukan karena suatu hal penting atau berarti. Bola oranye itu di lempar kasar menuju dinding sebelum pemuda kelinci tersebut menjatuhkan diri ke atas sofa bersama sekelumit kalut nan menyerang dada. Napasnya terengah-engah. Peluh memenuhi wajahnya yang memerah akibat panas menjalar di tiap inci tubuh. Hatinya berkecamuk hebat. Debaran di jantung seolah menjadi sinyal bahwa dia sedang tidak baik-baik saja sekarang.
Bahwa saat ini ia sangat-sangat merindukan Jessicanya.
Decakan mengudara keras. Alvin baru saja ingin menggapai sebotol air dingin di meja namun suara dentuman kuat dari pintu yang baru saja di buka membuat ia mengalihkan perhatian. Di sana berdiri Thomas dan Daniel dengan napas terengah-engah persis seperti saat mereka kabur dari kejaran polisi yang menyergap lokasi tauran antara siswa. Dahinya mengkerut tidak suka. Irisnya menyorot tajam pula tanpa minat pada keadaan kacau dua temannya tersebut.
"Gue udah bilangkan? Jangan ke sini apa pun yang terjadi. Budeg lo berdua?" tanyanya ketus dan menenggak air dingin agar kerongkongannya tidak lagi kering. Ia kemudian melanjutkan sinia. "Pergi. Gue mau sendiri."
Kalimat ketus itu alih-alih membuat Daniel takut, ia justru di buat jengkel. Pemuda berotot besar itu mulai mendekat dan memukul tengkuk lawan dengan perasaan menggebu-gebu. "Hidup di zaman apa lo sampe nggak punya kemampuan angkat telepon, hah?!" bentaknya luar biasa gondok. Sementara di pintu, Thomas jatuh terduduk sembari mengatur napas. Daniel kembali bersuara. "Mana hape pemberian cewek lo itu? Gue udah nelepon lo berkali-kali. Thomas juga. Gerald juga. Chat juga nggak lo bales. Terpaksa gue sama Thomas gedebag-gedebug nyamperin lo ke sini, bajingan!"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Princess Troublemaker
Teen FictionBagi Bina Bangsa, Jessica merupakan perwujudan nyata dari sebuah ketidakwarasan abadi sekaligus sinting dengan akal minim. Tidak mengherankan lagi menemukan gadis berponi berbingkai wajah serupa boneka tersebut melakukan hal "lucu" berbalut kengeria...