🌻H A P P Y R E A D I N G🌻
PERNAH mendengar tentang menit-menit terakhir kehidupan? Seperti, ketika detak jantungmu berdenyut gila-gilaan, wajah pucat perlahan berubah ungu kebiru-biruan dengan oksigen yang tidak seberapa mengisi paru-paru? Sejenis itu. Intinya, kalian terasa sekarat; terasa akan mati kurang dari beberapa sekon. Jessica jelas sedang mengalaminya sekarang. Tatkala menertawai Alvin dengan segala tingkah laku malu-malunya tiap kali ia goda. Telapak kaki nan seharusnya bergerak maju mengejar justru salah mencari pijakan dan jatuh ke dalam air tanpa bisa mencari pegangan.
Jessica tidak bisa berenang.
Fakta memalukan yang dia sendiri tidak ingin semua orang tahu. Hanya saja malas menanggapi tatkala orang-orang bertanya, "Kenapa bisa?" sebab Jessica sendiri tidak tahu mengapa ia takut airㅡmeski tidak mencapai titik di mana ia akan histeris, setidaknya dia betul-betul enggan memerangi ketakutan abstraknya itu. Dan sialnya, Jessica menyesal menolak mentah-mentah bujukan Demian agar dia mau belajar berenang. Sungguh sial. Kaki keramnya jelas tidak membantu sama sekali sementara mulut telah terisi penuh oleh air danau.
Jessica pasrah. Pasrah sewaktu tubuhnya semakin masuk jauh lebih dalam ke dasar danau. Dadanya sesak luar biasa tatkala sekelebat bayangan menyusup masuk ke dalam benak. Ia tidak menyangka akan mati seperti ini. Dia bahkan belum memenuhi permintaan Rosa untuk menonton gadis itu bernyanyi di festival musik besar akhir bulan nanti. Pun terpaksa mengingkari janji pada Jenna agar menemaninya pergi ke psikolog tiga hari lagi. Terakhir, meski terdengar memuakkan, Jessica akan rindu sesi belajar bersama Chelsie. Dengan segenap jiwa, Jessica berharap Demian tidak terlalu terpukul akan kepergiannya dan langsung menyusulnya ke tanah. Reuni seperti itu tidak berkesan sama sekali, sungguh.
Terakhir, untuk Alvin. Jessica berdoa setinggi langit agar laki-laki tampan itu takkan menyalahkan dirinya sendiri. Jessica berharap laki-laki manis itu berbahagia sampai akhir hayat.
Namun dari sekian banyak kenangan manis dan hangat yang menelusup bagai penawar hati. Mengapa ada satu yang Jessica sendiri tidak yakin ia pernah mengalami hal itu?
"PAPA! PAPA! TOLONGIN, SICA!"
Dalam potongan lampau, Jessica melihat dirinya mengenakan gaun putih bercorak floral bergetar hebat di dalam air, ketakutan ikut merambat mendekap badan erat-erat, tangannya dengan panik memukul-mukul permukaan air sebagai bentuk perwujudan nyata, bahwa Jessica kecil jatuh ke dalam air kala dengan polosnya takjub akan bunga teratai pada permukaan danau milik keluarga.
"PAPA! SICA NGGAK BERENANG! PAPA, SICA TAKUT! SICA JANJI NGGAK AKAN NAKAL LAGI! PAPA, TOLONGIN SICA! SICA JANJI NGGAK AKAN GANGGU PAPA LAGI!"
Kendati tahu benar bahwa Jessica kecil benar-benar dalam bahaya dan air danau bisa merenggut nyawa putrinya kapan saja. Dari kursi rotan di tepian danau, Albert justru hanya menatap dingin tanpa ekspresi. Sorot tanpa emosi itu menjadi pukulan telak bagi Jessica kecil, sehingga dia sempurna tenggelam bersama sebongkah luka merajam dada. Mendekap luka besar tanpa sempat mendengar alasan, "Mengapa papa tidak menyelamatkannya?"
Ah, jadi ini yang orang-orang bilang bahwa kenangan-kenangan membekas sepanjang hidup akan berputar bagai kaset rusak menjelang kematian?
Sial.
Muram. Luka. Pedih. Tersayat. Amarah. Dendam.
Harus dengan kata apa Jessica mendeskripsikan perasaannya kini? Haruskah dengan menghancurkan seisi rumah sakit sebagai bentuk ekspresi? Haruskah dengan menyayat nadinya? Atau, haruskah dengan mencuri senapan berburu Demian dan menembak dirinya sendiri di area publik? Harus dengan apa agar seluruh orang di dunia ini tahu bahwa Jessica pernah nyaris mati di hadapan ayahnya yang tidak bergeming sedikitpun dan hanya menyaksikan putri satu-satunya tenggelam perlahan-lahan bersama rasa putus asa? Harus dengan apa?! Jessica ingin orang-orang di bumi sialan ini tahu betapa sakit dan terlukanya ia sekarang sampai-sampai takkan pernah ada kata yang tepat untuk menggambarkan perasaannya kini.
Apabila bisa, Jessica ingin mengeluarkan semua rasa sakit dalam dada agar orang-orang tahu seberapa menderitanya ia saat ini tatkala matanya terbuka dan di hadapkan dengan langit-langit putih gading nan familiar.
Ya, mungkin membakar rumah sakit ini bukan menjadi pilihan buruk, bukan?
"Sica. Ya Tuhan, syukurlah cucuku kembali membuka matanya. Alga, berikan sumbangan besar pada panti-panti sosial di bawah naungan kita. Segera!"
Iris bulatnya menatap ekspresi Demian yang mengucap syukur berkali-kali, mata yang selalu tegas dan tajam itu kini berlinang air mata penuh kelegaan. Ekspresinya berbeda dari ingatan ketika sang kakek berteriak kesetanan melihat cucu perempuan satu-satunya tenggelam. Demian sendiri yang melompat masuk ke dalam danau dan menarik tubuh Jessica kecil dari dasar air dengan tangan gemetar.
Yang sekarang puan tersebut lihat ialah sorot mata khawatir dan senang, diiringi usapan hangat pada rambutnya. "Dearest, bilang sama Kakek. Apa masih ada yang sakit? Maaf, Nak. Kakek bukan dokter, tapi Kakek akan sembuhin sakitnyaㅡSica, tunggu. Berbaring saja, jangan bangun dulu. Kamu masih sakit."
Jessica memekakkan telinga. Dia tetap berusaha bangkit walau badannya bergetar. Entah karena sakit sekujut tubuh atau amarah yang menguasai tubuh. Sesuai dugaan. Tidak hanya ada Demian di sana. Jelas-jelas seluruh anggota akan berkumpul saat malang menimpa dirinya. Menunggu waktu kehancuran memakannya bulat-bulat agar sampanye mahal yang mereka simpan selama ini bisa di santap dengan perasaan puas akan kemenangan. Jessica terkekeh sinis namun maniknya mengeluarkan air mata.
"Sica, jangan memaksakan diri." Eleanor menahan tangannya, mata sembab dan alas kaki yang tidak seiras sudah menjadi jawaban bagi Jessica seberapa besar kekhawatiran sang ibu. "Apapun kebutuhan Sica, Mama bantu ambilin. Tidur dulu, ya, Sayang. Kamu baru siuman, Nak."
"Mama kamu benar, Sica. Jangan dipaksakan, lebih baik kamu perbanyak istirahat"
Suara ini. Suara ini membuat dadanya bergemuruh hebat, tangannya terkepal lewat sisa-sisa tenaga yang ada. Maniknya naik guna menatap tajam Albert nan berada di samping Eleanor. Menjijikan. Jessica tidak tahan, ia benar-benar ingin muntah saat perutnya bergejolak perih. Tangisan Jessica akhirnya pecah, mengisi ruangan bagai alunan melodi duka cita. Ia memekik dalam tangisnya, seakan-akan tidak ada hari esok untuk menyuarakan sebetapa sakit lukanya yang sudah membusuk ini. Raungannya makin menjadi-jadi saat tangan itu ikut mencoba menenangkannya.
Jessica histeris. Ia berteriak-teriak bagai orang kesetanan. Mencabut selang infus. Melempar bantal. Membuang selimut.
"KENAPA?! KENAPA?! KENAPA?! SICA NGGAK NGERTI!"
"Apanya, Nak? Apa yang Sica nggak ngerti?"
Saat itu juga Jessica menarik kerah kemeja Albert, menyorot nyalang pada air muka keruh keheranan milik pria itu. "KENAPA DULU PAPA NGGAK NOLONGIN SICA YANG HAMPIR TENGGELAM?! KENAPA PAPA CUMA DIEM AJA?! KENAPA?! SICA ADA SALAH APA SAMA PAPA?! SICA ADA SALAH APA, HAH?! KENAPA PAPA TEGA BIARIN SICA TENGGELAM?! KENAPA, PA?! KENAPAAA?! KENAPA PAPA CUMA DIEM AJA?!"
Seisi ruangan terdiam, membeku dalam diam, berusaha mencerna kalimat Jessica yang baru saja terlontar. Hal itu jelas mengirim teror absulot untuk semua manusia di dalam ruangan tersebut. Hanya suara isak tangis Jessica yang menjadi latar suasana berantakan tersebut. Yang serupa rengekan kekecewaan atas peristiwa yang dulu pernah menimpanya. Atas luka besar yang kini sampai ia mati takkan pernah bisa Jessica lupakan.
Tangan-tangan pucat dan lemah itu memukul lemah tubuh manusia di depannya yang enggan ia sebut namanya lagi.
"Sica udah mati, Pa. Udah mati. Sica udah mati, Papa. Papa bunuh Sica waktu itu. Papa bunuh Sica!"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Princess Troublemaker
Novela JuvenilBagi Bina Bangsa, Jessica merupakan perwujudan nyata dari sebuah ketidakwarasan abadi sekaligus sinting dengan akal minim. Tidak mengherankan lagi menemukan gadis berponi berbingkai wajah serupa boneka tersebut melakukan hal "lucu" berbalut kengeria...