─── ・ 。゚☆ : .☽☽☽. : ☆゚• ───
GELEGAK amarah. Urat saraf yang menonjol. Wajah memerah penuh resah. Ekspresi keruh terang-terangan menyatakan isi hati. Layar demi layar di depan mata nan menampilkan rekaman CCTV beberapa lokasi tidak berhasil membuatnya puas. Demian makin murka. Dalam satu kali gerakan, dia menghempas kasar benda-benda berteknologi canggih tersebut. "KALIAN SEMUA TIDAK BECUS! UANG YANG SAYA KELUARKAN SELAMA INI UNTUK KALIAN TERNYATA SIA-SIA! SAYA INGIN CUCU SAYA DI TEMUKAN TAPI KALIAN SEMUA TIDAK MAMPU MELAKUKAN ITU! APANYA YANG SULIT MENCARI SEORANG ANAK PEREMPUAN YANG MASIH SMA?! KELUAR KALIAN DARI RUMAH SAYA! DASAR TIKUS-TIKUS KOTOR! JANGAN PIKIR UNTUK KEMBALI MENGINJAKKAN KAKI DI SINI SEBELUM CUCU SAYA DI TEMUKAN ATAU KALIAN AKAN TAU APA AKIBAT GAGAL MENJALANKAN TUGAS DARI SEORANG DEMIAN! CAMKAN ITU!"
Satu minggu berlalu sejak menghilangnya Jessica. Entah sesakit apa hati anak malang tersebut sampai-sampai memilih untuk pergi. Demian gagal menjadi rumah bagi cucunya. Demian gagal menjadi zona aman bagi kesayangannya. Demian gagal menjadi seorang kakek yang dapat di andalkan. Demian menyesal telah menganggap enteng keberadaan lintah darat tersebut sehingga terlambat mencegah akibat yang sudah terjadi kini. Pria di penghujung kepala tujuh tersebut mengambil gelas dan melemparkannya nyaris mengenai putra sulungnya. Semua orang di sana menahan napas. Mansion megah tersebut tak pernah lagi sepi semenjak kabar kaburnya Jessica dari rumah sampai ke telinga masing-masing anggota keluarga Atriyadinata. Sebagian dari mereka bertanya-tanya dengan perasaan kaget. Sebagian lagi senang dan ingin mengambil kesempatan pada celah yang ada. Sebagiannya lagi di rundung perasaan menyesal, kekhawatiran dan gundah bukan kepalang.
Semuanya bercampur aduk.
Namun kesunyian yang mencekam benar-benar mencekik leher mereka satu persatu."Ini hasilnya," Demian berkata berat sembari menahan diri semaksimal mungkin untuk tidak mengambil senapan yang tergantung pada dinding dan melesatkan peluru ke dalam otak anaknya. "dulu selalu saya katakan, Albert. Berkali-kali saya peringatkan kamu. Puluhan, ratusan, ribuan kali. Tapi kamu tetap bebal dan terus menemui manusia sampah itu yang bahkan buat mengingat orang itu saja saya jijik." Sudah tak dapat di hitung dengan jari-jari tangan lagi untuk berapa benda yang Demian banting karena amarahnya nan menggebu-gebu. Entah sudah melayangkan berapa ratus kutukan pada putranya yang tidak kompeten itu. Demian menatap nyalang anaknya. "Bahkan wanita itu katanya sedang hamil anak kamu. Luar biasa Albert. Kamu memang selalu berhasil mengecewakan saya. Ibu kamu mungkin sedang menangis darah di kuburannya sekarang karena melihat tindakan senewen kamu ini. Cucunya hilang setelah mengamuk. Istri saya tidak akan bisa tenang di alam sana karena ulah sinting kamu. Dasar anak sialan!"
Albert menunduk dalam-dalam, ekspresi kusut itu mengatakan seberapa kalutnya ia mencari sang anak kemana-mana. Lingkar hitam di bawah mata. Gurat wajah lelah. Kumis yang belum di cukur. Albert terlihat seperti mayat hidup akibat berhari-hari tidak tidur dengan layak. Dia memejamkan matanya sejenak, membiarkan darah merembes dari goresan pecahan gelas di pipinya. "Maaf, Pa. Saya salah. Saya menyesal."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Princess Troublemaker
Teen FictionBagi Bina Bangsa, Jessica merupakan perwujudan nyata dari sebuah ketidakwarasan abadi sekaligus sinting dengan akal minim. Tidak mengherankan lagi menemukan gadis berponi berbingkai wajah serupa boneka tersebut melakukan hal "lucu" berbalut kengeria...