─── ・ 。゚☆ : .☽☽☽. : ☆゚• ───
BARANGKALI tanpa diri sadari, batin sudah menghantarkan ratusan asa dan harapan sampai-sampai sang cakrawala muak mendengar lalu memilih tuli. Enggan mendengar, enggan menanggapi. Dulu mungkin-mungkin saja apabila melempar gumpalan kebencian mutlak pada langit dan takdir, mengirim ribuan sumpah serapah, memaki tiada kenal lelah hanya untuk melapangkan dada yang sesak tidak tertahankan. Namun sekarang, meskipun mau, Jessica sudah tidak punya tenaga lagi. Atau hatinya sudah terlalu hampa akan angan-angan semu hingga kemudian mati tenggelam dalam rawa-rawa kemuraman absolut. Jessica menyerah. Jessica memilih menyerah akan kehidupan, menyerah atas asa mewujudkan semua keinginan dalam hati.
Jessica memilih kalah dalam perang ini. Tubuhnya telah babak belur. Hatinya remuk redam tidak bersisa. Kepingannya pun tidak bisa di selamatkan lagi. Jessica sudah hancur lebur dalam permainan takdir.
Kendati demikianlah gadis tersebut berada di sini, usai kabur dari rumah sakit, setelah meninggalkan Alvin yang terlelap damai sembari menahan dingin beberapa puluh menit yang lewat dan menyambangi kediaman Chelsie pukul empat dini hari. Perempuan tersebut nan tentu saja masih mengenakan piama tersebut tidak terkejut sedikitpun, setidaknya setelah mendapat satu telepon dari Angello guna mendapat informasi baru mengenai sang sahabat hingga menjumpai Jessica bertamu dengan masih menggunakan pakaian rumah sakit takkan membuat jantungnya lepas dari tempatnya lantaran terlalu kaget. Juga diam-diam bersyukur akan ketidakhadiran sang ayah di rumah lantaran sedang dinas kerja di luar kota, memudahkannya menghindar dari berbagai pertanyaan yang akan sulit ia jelaskan secara gamblang. Chelsie menyodorkan teh hangat pada Jessica yang sudah menghangatkan diri di atas kasurnya seusai mengganti pakaian dengan miliknya, yang mana, jelas saja diambil tanpa izin.
Entahlah harus di anggap sebagai hal baik atau tidak, namun satu hal pasti, bagaimana keruhnya wajah lawan tidak bisa membuat Chelsie bernapas lega. Ia memberi jarak, duduk di sofa dan menyorot lurus Jessica. "Lo nggak baik-baik aja, Sica."
Gadis itu kontans tertawa sumbang, menyeruput sisa teh melati hangat kemudian meletakkannya di atas nakas sebelum menyahut getir. "Anak mana yang bakalan baik-baik aja setelah tau dia nyaris mati di depan orang tuanya yang bahkan nggak khawatir sama sekali? You better been joking, kalaupun ada, dia adalah manusia termunafik abad ini."
"Kakak lo nelepon gue."
"I know." Jessica menyamankan diri, bersandar pada kepala ranjang dan menunduk sembari memainkan jemarinya. Dia hanya mengirim satu senyuman kecut sebelum kembali fokus pada jari-jari lentiknya. "Kalau enggak, lo nggak bakalan setenang sekarang. Gue make baju rumah sakit, lho, ini, haha," sambungnya dengan kekehan kecil.
Chelsie berkedip lambat. Menyorot lurus pada kumpulan emosi di depan sana, menemui pendar mata yang sudah kehilangan sinarnya, sepenuhnya. Ia menghela napas berat sepelan mungkin, "Tadi gue udah nelepon Jenna dan Rosa, mereka otw ke sini. Gimanapun juga lo nggak enaknya karena tau Jenna abis berantem sama kakaknya dan Rosa stress yang ngadepin papanya. Mereka harus tau ini. Karena lo berharga bagi mereka."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Princess Troublemaker
Roman pour AdolescentsBagi Bina Bangsa, Jessica merupakan perwujudan nyata dari sebuah ketidakwarasan abadi sekaligus sinting dengan akal minim. Tidak mengherankan lagi menemukan gadis berponi berbingkai wajah serupa boneka tersebut melakukan hal "lucu" berbalut kengeria...