“JESSICA belum mau menurut?” merupakan pertanyaan Eleanor pada putra sulungnya setelah beberapa waktu sampai di sebuah butik ternama ibu kota.
Jemari lentiknya memilah-milah pakaian-pakaian dengan harga setinggi langit tergantung rapi. Masih dibalut setelan kerja sekaligus curi-curi waktu di jam kerja, Eleanor tetap ingin turun tangan dalam mencari pakaian yang sekiranya cocok untuk putri bungsunya dalam acara pembukaan cabang anak perusahaan dengan Angello sebagai penanggung jawab. Tangan wanita tiga anak tersebut mengibas di udara guna memberi kode agar seseorang membawakan pilihan baju yang lain.
Sembari menunggu, Eleanor menatap putranya yang duduk menyilang kaki di sofa. “Kamu nggak marahin dia, 'kan, Jello?”
“I'm not,” jawabnya meragu. Laki-laki jangkung tersebut menggaruk sekilas dahinya dan memandang ibunya penuh putus asa. “Keinginan Sica tetap sama dan aku nggak bisa nurutin, Ma. Nggak bisa.”
“Kita bisa, Jello.”
“Dan biarin Mama harus makan hati tinggal sama tua bangka itu? Enggak! Jello udah cukup nahan-nahan selama ini dan … ” Suaranya tercekat seiring ekspresi frustasi tercetak jelas kala ia menghela napas kasar. “Dan Sica nggak pernah mau ngerti sementara dia tau orang tua itu kelakuannya gimana.”
Eleanor menutup matanya sejenak, mulai merasakan sesak menyelimuti mereka oleh karena itu tangannya terulur guna mengusap kepala Angello. “Jello, kamu harus ngerti kenapa adikmu mau keluarga ini utuh kembali,” katanya lembut agar putranya mau berpikir lebih tenang. “Mama nggak papa kembali ke titik awal, Nak.”
“Ma!” sentaknya, tidak habis pikir memandang jalan pikir sang ibu. Dahinya berkerut tidak suka. “Jessica kayak gitu karena belum tau semuanya. Alasan kenapa semuanya berantakan begini. Alasan kenapa Mama workaholic begini. Alasan … alasan kenapa kita begini. Sica cuma belum tau.”
Eleanor menahan napas sejenak, sesak dalam dada entah mengapa semakin terasa mencekik kerongkongan. Segaris kepahitan pekat melingkari jantung melihat bagaimana muramnya wajah si sulung. Kemudian kepalanya menengadah guna menahan genangan air mata di pelupuk agar tidak terjun bebas sekurang ajar itu. Eleanor telah gagal menjadi orang tua. Dia akui. Dia mengakuinya, sungguh. Melihat ketiga anaknya saling melukai sementara mereka tahu bahwa mereka juga saling membutuhkan membuat Eleanor malu mengakui dirinya sebagai seorang ibu.
Wanita berparas cantik dan bentuk Jessica namun versi dewasanya kini menggenggam erat telapak tangan besar Angello. “Maaf, Jello. Maafin Mama. Seharusnya Mama milih kalian alih-alih mentingin diri Mama sendiri.”
“Enggak, Ma. Mama nggak salahㅡ”
“Kamu yang paling tau kenapa kalian bertiga saling menjauh begini. Saling menjaga jarak begini.” Eleanor menyambar cepat dengan napas berat, sepenuhnya memandang serius tepat ke iris putra sulungnya. Ia mengulas senyum pahit, “Karena Mama terlalu bodoh untuk menilai situasi dulu dan mengorbankan kalian yang masih kecil. Mama gagal, Jello. Mama bersalah. Kamu tau itu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
The Princess Troublemaker
Teen FictionBagi Bina Bangsa, Jessica merupakan perwujudan nyata dari sebuah ketidakwarasan abadi sekaligus sinting dengan akal minim. Tidak mengherankan lagi menemukan gadis berponi berbingkai wajah serupa boneka tersebut melakukan hal "lucu" berbalut kengeria...