─── ・ 。゚☆: .☽ . :☆゚. ───
APA dunia akan selalu selucu ini? Apa alam semesta akan terus-menerus meniupkan hujan badai disertai petir hanya untuk sebuah seleksi alam konyol itu? Jika demikian kenyataannya, apakah boleh Jessica memilih mengundurkan diri? Tolonglah! Dia tahu, sangat tahu bahwa penderitaannya bukanlah hal yang paling menyedihkan di dunia ini. Bukan merupakan cerita paling menyakitkan berbumbu kepedihan tiada tara yang mampu menyayat hati. Akan tetapi baginya, bagi seorang gadis yang ditinggalkan sendirian dalam kotak gelap gulita, takdir ini cukup membuat kewarasannya terguncang.
Seolah menunggu waktu untuk sepenuhnya tenggelam dalam kubangan depresi. Lalu menunggu sekon demi sekon untuk mati.
Sebab, sampai kapan ia harus melihat orang tuanya bertengkar begini? Harus menunggu sampai kapan?
Jessica betulan penat.
“Kamu pikir kamu aja yang menderita di sini?! Aku juga!”
Teriakan sang ayah terdengar sampai keluar rumah. Pukul enam sore lewat seperempat jam. Langit sepenuhnya mulai menggelap ditemani hening yang perlahan-lahan merangkak melingkupi sebagian dunia. Dan mereka nyatanya ingin membuat kegaduhan itu didengar semesta. Wajah merah Albert barangkali sering Jessica lihat akhir-akhir ini dan gadis itu betulan sudah muak tujung tingkat.
Eleanor tertawa sumbang, menyugar rambut panjangnya yang tebal sembari menyorot remeh sang suami. “Menderita kata kamu? Menderita?! Omong kosong apa itu, Albert?! Bukannya kamu yang lebih dulu menghancurkan keluarga kita dan menuangkan penderitaan untuk semua orang? Jangan pura-pura lupa dan bodoh kamu.”
“Elea, tolong mengerti. Aku juga nggak mau semuanya jadi begini.” Suaranya terdengar putus asa dan getir di satu waktu. Seakan-akan baru aja menelan pil pahit kehidupan dan menahan pedih yang tak tertahankan lagi.
“Mengerti kata kamu? Mengerti apalagi? Apalagi yang harus aku mengerti, Albert?! Aku cukup bungkam bertahun-tahun karna perempuan jalangㅡ”
Eleanor menggantung kalimatnya seiring tirai mata menutup tatkala Albert tiba-tiba menaikkan tangan akibat kemarahan. Namun di detik-detik berikutnya wanita itu tidak merasakan apapun dan justru menemukan Jessica berdiri tegak di depan sambil mencengkeram kuat lengan suaminya. Wanita tersebut melebarkan matanya, terkejut luar biasa dengan kehadiran putri bungsunya. Albert pun sama terkejutnya.
Jessica mencengkeram lebih kuat tangan sang ayah sampai-sampai sang kepala keluarga itu meringis kesakitan. Si gadis tidak mau repot-repot peduli. Rahangnya mengeras bersama tatapan tajam seakan mau membelah dua ayahnya. “Kalau mau pukul, pukul aku! Dasar tua bangka nggak tau diri!” sentaknya. Dihempaskan kasar lengan Albert dan tanpa basa-basi Jessica menghadiahi ayahnya satu bogem mentah telak pada tulang pipi. Eleanor memekik kaget namun Jessica enggan memberikan atensi lebih selain menyorot murka sang ayah. “Makin ke sini makin ringan tangan, ya. Jadi, jangan salahin semua perbuatan kasar aku kalau Anda sendiri nggak pernah mandang bulu buat mukul orang, terutama istrinya! Biadab! Bilang sekarang juga siapa pelakor sialan itu?! Gue matiin dia sekarang! BILANG!”
KAMU SEDANG MEMBACA
The Princess Troublemaker
Novela JuvenilBagi Bina Bangsa, Jessica merupakan perwujudan nyata dari sebuah ketidakwarasan abadi sekaligus sinting dengan akal minim. Tidak mengherankan lagi menemukan gadis berponi berbingkai wajah serupa boneka tersebut melakukan hal "lucu" berbalut kengeria...