≫ ──── ≪•◦ ❈ ◦•≫ ──── ≪
ALUNAN melodi dari lagu one last time yang dipopulerkan oleh Ariana Grande menjadi latar suara. Mengisi kekosongan senyap dalam mobil sementara mesin terus melaju mengikuti rute jalan. Jalanan yang tak pernah sepi, jalajan yang tak pernah lengang, jalanan yang tak pernah ditinggalkan. Barangkali jalan ini menjadi penghubung dari rumah ke tempat-tempat tujuan para penduduk. Bisa jadi untuk bekerja, melanjutkan pendidikan atau sekedar jalan-jalan semata. Intinya, jalan raya tidak pernah kehilangan pelanggan.
Untuk setiap sekon yang harus rela terbuang dalam antrian menuju tempat ternyaman mereka. Jessica enggan menyebut rumahnya sebagai tempat berpulang. Yeah, definisi rumah itu memangnya apa? Hanya sebatas batu bata yang disatukan dengan semen mengikuti desain yang diinginkan lalu ditinggalkan tanpa tersapa lagi? Begitu? Bagi Jessica sih begitu adanya.
Kosong dan rapuh meski terlihat kokoh.
Tatkala berhasil mencapai rumah tepat pukul lima sore Jessica memandang malas pada mobil putih di teras. Manik bulatnya berotasi jengah dan langkahnya masuk ke dalam seolah tengah diseret. Gadis berwajah boneka tersebut enggan mengakui bahwa ada presensi lain di ruang tamu ketika si empu memasuki rumah.
“Jessica, kemari. Papa ingin bicara.”
Jessica berdecak pelan dan tetap berjalan melewati ruang tamu. “Sibuk. Nggak ada waktu buat ngomong sama orang yang lebih sibuk.”
Albert menghela napas berat, menurunkan posisi koran dari hadapan dan menatap si bungsu lekat-lekat; seolah tak ingin dibantah bagaimana pun juga. “Jessica, duduk di sini. Papa mau bicara.”
Gadis bermata bulat tersebut mengerang tertahan, menghentikan derap kaki dan menatap nyalang pada sang kepala keluarga. “Didn't you hear me?! I have no time to talk to you. I'm bussyㅡi mean, yeaah, i don't wanna see you anymore!” seru Jessica jengah. “Papa ngapain pulang, sih?! Bikin emosi aja!” tambahnya tanpa berniat bersikap sopan sedikitpun.
“Kamu bikin ulah apalagi di sekolah?” tembak Albert seraya melepaskan kacamata bacanya.
Sang lawan bicara terkekeh sumbang. “Ouh, ternyata masih peduli. Kirain udah lupa masih punya anak di sini. Haha, lucu Papa tuh kadang-kadang.”
Pria tersebut menyorot sukar di mengerti pada putrinya, kepalanya menggeleng pelan. “Begitu cara kamu bicara dengan orang tua, Sica?”
“I'm done. Aku nggak punya waktu buat ngeladenin Papa yang syukurlah masih tau jalan pulang,” balas Jessica tak acuh sembari menaiki tangga. Raganya terpoles tenang sementara batinnya memberontak bersama gemuruh amarah yang siap meledak kapan saja.
Albert berdiri menatap tak percaya pada punggung mungil putrinya. “Papa pulang nyempatin waktu buat kamu, Jessica! Buat nanyain keadaan kamu, buat nanya kenapa kamu bercanda kelewatan begitu di sekolah. Papa dapet laporan ini dan itu dari kepala sekolah atas semua ulah kamu. Kamu nggak ngehargain usaha Papa, Jessica?!” teriaknya lantang.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Princess Troublemaker
Novela JuvenilBagi Bina Bangsa, Jessica merupakan perwujudan nyata dari sebuah ketidakwarasan abadi sekaligus sinting dengan akal minim. Tidak mengherankan lagi menemukan gadis berponi berbingkai wajah serupa boneka tersebut melakukan hal "lucu" berbalut kengeria...